we're not like we used to be
“YES!!! Jadi.” Gumam Naya gembira, ia sangat senang akhirnya lukisan yang ia lukis di atas piringan putih itu selesai. Sudah sejak tiga hari yang lalu Naya membuat lukisan itu ia masih sangat berhati-hati karena ini pertama kalinya Naya melukis diatas media yang baru tidak seperti biasanya di atas canvas atau kertas. Sejak dulu Naya memang senang melukis jika sedang luang kadang bahkan memang sengaja meluangkan waktu apalagi jika sedang menunggu Juna dan Zidan bermain bola untuk membunuh waktu Naya selalu menyiapkan kertas dan segala perlengkapan lukis sederhananya. Seperti halnya sore ini dipingir tribun lapangan sebak bola Naya menemani kedua sahabatnya itu sembari melukis. sudah menjadi hal biasa untuknya melukis dipinggiran lapangan sepak bola, karena Juna sahabatnya selalu konsisten berlatih sepak bola dia bilang cita-citanya ingin bergabung dengan PSS sleman syukur-syukur kelak akan lolos seleksi timnas indonesia, tak hanya Naya Zidanpun sebagai sahabatnya itu ikut mendukung Juna dengan menemaninya bermain bola diluar jam latihan yang sudah dijadwalkan Zidan selalu berusaha menyempatkan waktunya untuk menemani Juna.
“Juna, Zidan liat deh udah jadi.” Pamernya sembari mengangkat piringan putih yang sudah ia gambari itu pada kedua sahabatnya itu, Zidanpun segera berlari ke arah Naya dan menatap takjub lukisan buatan Naya. Ia melukis hamparan rumput dengan gawang diujungnya dan lukisan itu terlihat sangat nyata.
“bagus Ay, sumpah karya kamu keren,” sanjung Zidan penuh antusias ia masih menggeleng-ngelengkan kepala takjub melihat lukisan milik Naya yang sangat indah.
“serius Dan?” tanya Naya meyakinkan.
“Asli bagus, “ jawabnya sembari mengacungkan kedua ibu jarinya.
kemudian Juna datang setelah beberapa saat dan mengambil piringan putih itu, ia melihat dengan sangat serius lukisan didalamnya. “hahah…. gambar lapangan kamu Nay?” tanyanya sembari tertawa, pertanyaan yang keluar dari mulut Juna itu terdengar seperti sebuah ejekan ditelinga Naya.
“iya emang lapangan, kenapa?”kali ini Naya balik bertanya pada Juna.
“gausah ngegas kenapa, biasa aja.” timpalnya ketika Naya bertanya dengan intonasi nada meninggi.
Juna masih memegang lukisan itu ia memandang lukisan Naya kemudian bergantian memandang lapangan didepanya begitu terus untuk beberapa kali. “ini gawangnya masa kayak gini, beda sama yang asli. Kurang kekanan juga terlalu deket sama pohon kelapanya padahal aslinya lebih jauh,” Kritiknya iseng sebenarnya ia tidak benar-benar ingin menjelekan lukisan milik Naya hanya saja ia sengaja ingin membuat Naya kesal.
“udahlah Jun, Aya kan masih tahap belajar,” ucap Zidan menengahi. Sepertinya memang sudah tugas Zidan untuk melerai tiap keduanya terlibat cekcok.
Tapi Juna tak menghiraukanya “nih lagi rumputnya kaya setaun belum dipangkas,” celoteh Juna ia belum puas karena belum melihat ekspresi geram diwajah Naya.
“Ya emang beda, mana bisa aku bikin yang plek sama aslinya emang fotokopi, ” tegas Naya.
“ckck… kaya gambaran anak SD, kamu juga Nay ngapain coba masih gambar kaya gini padahal udah SMA?” tukas Juna.
“Ihh… kok ngejek, Biarin dong kamu juga udah SMA masih main bola ga ada bedanya sama anak SD yang juga main bola,” balas Naya kesal,
“Loh Cristian Ronaldo udah ga SD tapi main bola,”
“Dia kerja dari main bola dapet uang, emang kamu Cuma dapet keringet abis itu bilang ‘Nay kaki aku pegel nih,’ terus malemnya badanya bau koyo.” Ucap naya mengejek.
“yakan kalo aku main bola jatuhnya ini olahraga permainan, tapi liat aja besok aku bakal dapet uang juga dari main bola, bakalan jadi pemain kebanggaan kamu Nay, mulai sekarang kamu harus bangga punya aku." Balas Juna tak mau kalah, Naya pun mendengus kesal.
“gausah diladenin si Juna Ay, yang ada kamunya capek.” Zidan mengelus pundak Naya yang benar-benar dibuat kesal oleh Juna. dan sebisa mungkin berusaha keras menahan amarahnya.
“iyaa yang waras emang yang harusnya ngalah,”Naya memeletkan lidahnya ke arah Juna.
“yaampun…!!! ada orang gila yang gamau ngalah disini?” sahutnya seolah kaget.
Naya mendelik ke Juna. “iya kamu orang gilanya!” ucapnya memperjelas.
“WAHH… takut, lari ada orang gila disini.” Juna masih saja bercanda.
Tapi kali ini Naya tidak menanggapinya ia sibuk merapikan alat lukisanya dan Zidan juga ikut membantu Naya merapikan alat-alatnya Naya berniat pergi dari sini sore ini ia kesal dengan Juna yang mengolok-olok lukisanya meski Naya sadar Juna hanya jail seperti biasanya hanya saja kali ini Juna sedikit keterlaluan karena tidak menghargai karya pertama miliknya. dan kini Juna justru berjalan ke arah gawang masih dengan lukisan milik Naya ditanganya, sedetik kemudian Naya yang menyadari akan hal itupun langsung berteriak geram. “ JUNA!!!! Mau dibawa kemana lukisanya, kembaliin!!!”
“bentar mau aku liat detailnya sama gawang siapa tau ada sedikit kemiripan.” Jawabnya ngeles, padahal itu hanya alibi untuk lanjut menajaili Naya.
“kembaliki nggak!” ucap Naya kesal,
“Pinjem bentar.” Jawab Juna keukuh.
Zidan masih tak habis fikir melihat tingkah Juna yang memang kekanak-kanakan, ia memang tidak puas jika belum melihat Naya kesal yang benar-benar kesal. Dengan geram Naya menghampiri Juna dan siap merebut piringan itu dari Juna tapi dengan lincahnya Juna mengindari tangan Naya ia menjinjitkan kakinya, tanganya mengangkat tinggi piringan itu membuat Naya sedikit kesulitan meraihnya karena jelas Juna lebih tinggi dari Naya, tak menyerah Naya masih berusaha meraih piringan itu dari tangan Juna ia menarik paksa turun lengan Juna untuk beberapa kali, dan sekuat tenaga Juna menahan tarikan itu tapi naasnya piringan itu justru terlepas dari tangan Juna dan jatuh begitu saja ke tanah . PRAAANGGG!!!…… suara itu terdengar sangat menyakitkan, rasanya Naya tak ingin mempercayai apa yang baru saja terlihat oleh mata kepalanya sendiri tapi jelas itu mustahil, mereka dibuat tercengang kini Juna hanya berdiri mematung dengan Rasa bersalah ia tidak tau apa yang seharusnya ia lakukan saat ini, untuk melihat wajah Naya saja ia tak berani membayangkan betapa hancurnya perasaan Naya sudah cukup membuat Juna sangat merasa bersalah. Zidanpun prihatin melihatnya ia ikut mematung tak menyangka lukisan indah itu pecah menjadi beberapa kepingan Naya benar-benar naik pintam. Karena kesal Naya langsung berlari pergi meningkalkan lapangan ia ingin menangis Naya benar-benar kesal bagaimana tidak lukisan pertamanya rusak begitu saja, dan Zidanpun segera menyusul Naya yang berlari pergi.
Tidak hanya sekali dua kali Juna membuat Naya menangis sifat jailnya itu memang sudah melekat pada dirinya ia tak akan pernah puas menggoda Naya jika tidak berhasil membuat Naya marah atau menangis seperti saat ini, dan setiap berhasil membuat Naya menangis ataupun jengkel Juna kemudian akan menghampiri Naya dan mengajukan permintaan maaf, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan maaf dari Naya katanya ia menyesal melakukan hal itu bahkan sampai rela melakukan banyak cara untuk mendapatkan maaf dari Naya entah menari seperti orang gila di depan Naya atau berdiri mematung didepan rumahnya, dan sekejam apapun Juna mengerjainya Naya selalu dengan lapang d**a memaafkan kesalahan Juna ia tidak bisa berlama-lama marah kepada Juna padahal dikemuadian hari Juna pasti akan mengulanginya lagi, begitu seterusnya.