24. Agras Mulai Belajar Sihir

1549 Words
Dua minggu bukan waktu yang singkat bagi Agras, selama itu ia di Lumiren tak melakukan apapun selain hanya diam dan melakukan kegiatan yang tak ada manfaatnya, padahal ia sangat ingin sekali belajar sihir, tapi ketika meminta Laika mengajarinya perempuan itu mengatakan bahwa masih ada kesibukan lain yang tak bisa ditinggalkan. Agras tak mungkin memaksakan hal itu, apalagi ia tahu bahwa tinggal di kota itu bukanlah sesuatu yang ia inginkan, ia tak pernah meminta berada di sana meskipun kata mereka termasuk Destron mengatakan bahwa itu keharusan yang ada karena untuk menjaga dirinya, padahal ia tahu itu bohong. Para orang-orang fanatik itu melakukannya hanya karena tak ingin sesuatu terjadi pada reinkarnasi sang pahlawan, lebih tepatnya pahlawan yang yang telah memilih dirinya sebagai wadah. Mengatakan wadah seolah dirinya ini kepompong, yang suatu saat akan ditinggalkan ketika sudah tak ada gunanya lagi entah tumbuh indah menjadi kupu-kupu atau malah tetap berada di posisi semula dengan isian yang mati, tak ada yang tahu itu. Namun, jika benar dirinya wadah layaknya kepompong maka suatu saat raga ini pasti akan mati, apa ia akan dicampakkan ketika sudah tak digunakan lagi. Sial. Ia merasa seperti dimanfaatkan oleh keadaan, ia juga merasa dipermainkan oleh si dewa aneh yang muncul semaunya dan pergi semaunya itu, apalagi si dewa mengatakan bahwa jiwa reinkarnasi itu ada campur tangan entitas lain, seperti apa sebenarnya pergulatan tentang siapa yang boleh memiliki tubuh dan raga ini. Si dewa tak bisa ikut campur dalam urusan reinkarnasi ini, tapi ia siap melindungi dirinya jika dalam keadaan terdesak, mungkin bisa juga dalam keadaan sekarat. Kata si dewa jika sampai dirinya ikut campur akan terjadi sebuah benturan dimensi ruang dan waktu, dimana akan terjadi sebuah hal yang saling terkait. Agras mengerti maksud dari si dewa itu. Dunia si dewa dengan tempat yang saat ini ia tinggali memang berbeda, kemungkinan besar mereka juga berada dalam singularitas yang berbeda di mana ruang dan waktu tidak saling berjalan bersamaan. Itu jelas sekali, membayangkan apa yang terjadi pada bumi tempatnya tinggal dengan dunia yang kini ia tinggali saja berbeda. Dunia tempatnya kini berada seperti sebuah paralel, yang mana waktunya berjalan sekitar ratusan tahun lalu saat dua benua besar Laurasia dan Gondwana berada, yang menjadi cikal bakal benua-benua lain seperti Eropa, Amerika, Asia dan sebagainya, meskipun jika dilihat lagi dalam dua benua itu belum adanya manusia atau makhluk sejenis primata. Jika memang ini adalah sebuah dunia paralel dengan singularitas tak sama, maka dua dunia ini saling berdekatan tapi tak saling menemukan. Agras pernah membaca sekilas dulu tentang dunia seperti itu, di sosial media juga sering sekali muncul seolah sebagai sesuatu misteri alam semesta, meskipun banyak yang mengatakan bahwa dunia-dunia di luar batas manusia hanyalah sebuah hipotesa atau kemungkinan saja. Si dewa mengatakan hal itu kemungkinan besar ada maksudnya, jika kedua dunia saling terkait maka hal yang paling buruk terjadi adanya tabrakan ataupun benturan. Jika sampai hal itu terjadi maka akan tercipta sebuah pintu dimensi yang memungkinan dua dunia saling bertemu, hal itu tak boleh terjadi karena akan merusak singularitas semesta. Berat pikiran Agras membayangkan hal itu, seolah diotaknya berputar titik koordinat alam semesta, ia mempelajari hal itu di sekolah mengenah atas, ia suka sekali ilmu kebumian dan juga angkasa, apalagi kalau sudah membahas tentang teori pembentukan alam semesta. Ia akan diam sambil mendengarkan guru yang menjelaskan, tanpa mengalihkan satu pandangannya pun kearah lain. Maka dari itu ia bisa paham, ada hal-hal yang membuatnya menghela napas lega karena dulu pernah mempelajarinya, tapi jika sudah terkait ilmu hitung ia akan menyerah dan memilih untuk tidur, karena ratusan kali diulang pun ia tak akan pernah paham, rentetan angka itu menyakitkan kepalanya sangat sakit. “Kau ada di dalam?” tanya seseorang menggedor pintu toilet di mana Agras saat ini berada. Pantas saja ide dan pikiran liarnya menyeruak keluar semua. “Siapa?” tanya balik Agras dari dalam toilet. “Laika. Aku mencarimu sejak tadi dan sudah berada di depan toilet setengah jam,” kata Laika. “Aku akan segera keluar,” ujar Agras. Kemudian ia pun memberaskan dirinya dan keluar dari toilet itu, bergitu berada di luar ia melihat Laika yang berdiri di depan pintu pintu. Wajah Agras sejajar dengan b*******a Laika  yang membuatnya menelan ludah sendiri padahal kerongkongnya terasa begitu kering, ah itu bukan nafsu hanya rasa terkejut saja. “Ada apa?” “Kau bilang ingin belajar sihir bukan? Mari kita mulai hari ini,” ucap Laika yang membuat Agras sedikit bingung. “Kau tak bercanda, kan?” tanya Agras memastikan. Laika menggeleng, kemudian perempuan itu menarik paksa tangan Agras, ia tak keberatan dan hanya mengikuti kemana Laika membawanya. Tak berapa lama mereka pun sampai di sebuah ruangan, dari luar pintu kayunya terukir indah dengan ornamen yang cantik dan indah, mirip pintu perpustakaan gereja. Laika membuka pintu itu dan rapalan mantra langsung saja berfungsi, membuka jendela-jendela ruangan membuat cahaya masuk membuyarkan keseluruh penjuru tempat. Agras akhrinya bisa melihat bahwa tempat itu memang sebuah perpustakaan. “Kau mengajariku sihir apa membaca buku? Aku sudah bisa membaca dan mengerti semuanya,” ujar Agras, ia tak lagi terkejut maupun bingung dengan hal itu. “Duduklah.” Laika mendudukan Agras di sebuah kursi, setelah itu Laika berlalu pergi menuju rak-rak buku yang ada di sana, mencari buku yang akan ia berikan pada Agras. Agras menunggus sambil memaikan jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu di depannya. “Aku sedang menunggu dengan bosan.” Agras merungut sambil berucap lirih yang sebenarnya Laika bisa mendengarnya karena jarak mereka tak begitu jauh hanya beberapa meter saja. Tak lama Laika berjalan menuju kearah Agras dan membawa sebuah buku bersampul berwarna biru, tidak terbuat dari kulit binatang tapi cukup tebal. Sebuah buku dongeng baru, Agras akan kembali dihujani dengan cerita anak-anak lagi seperti yang sering ia baca dulu ketika berada di gereja, ia pikir itu tak apa daripada ia terus merasakan bosan dan tak tahu harus melakukan apa, setidaknya ada hal yang ia kerjaka lagi. “Buku dongeng lagi,” ujar Agras. “Bukan, ini namanya Magivlo,” kata Laika. “Apa inis sejenis buku sihir?” tanya Agras. “Kau memang tahu banyak ternyata,” ucap Laika. “Di dalam sini semuanya adalah buku sihir Magivlo atau lebih tepatnya panduan belajar untuk para penyihir pemula untuk menggunakan sihir mereka nantinya.” Agras mengangguk paham, entah mengapa yang terlintas dalam benaknya malah buku Grimiore, buku-buku sihir yang ada di anime ataupun komik yang sering ia baca. Buku yang menyimpan sihir luar biasa bagi pemakainya. Laika membuka buku itu, ia kemudian menjelaskan pada Agras bahwa buku itu berisi banyak sekali mantra dan rapalan sihir, bagi seorang penyihir pengucapan mantra adalah hal yang harus mereka kuasai sebelum mampu mengeluarkan sihir. “Apa jika tak mengucapkan mantra sihir tak akan keluar?” tanya Agras lagi. “Sederhananya mantra itu adalah kayu bakar dan sihir adalah api, kontrasi adalah angin. Ketiganya harus ada agar menjadi kobaran dan api besar,” ujar Laika menjelaskan pada Agras. “Pertama kali saat aku berada di gereja dan membaca buku mantra dalam bahasa Lontren, aku bisa mengeluarkan api dan air bersamaan,” kata Agras mengingat apa yang pernah ia lakukan dulu ketika pertama kali menemukan buku mantra di ruang rahasia di dalam perpustakaan. “Itu sihir alami, bawaan dari keturunanmu, jika bukan ibu atau ayahmu atau dari keduanya sihir itu, lalu turun pada dirimu. Sekarang kau coba, konsentrasi dulu ingat konsep api.” Laika mengatakan itu sambil memberikan buku Magivlo untuk pemula pada Agras. Agras melihat tulisan pada buku itu, memang mirip sekali dengan buku yang ia temukan di perpustakaan gereja, isi di dalamnya juga seperti sajak-sajak bahkan beberapa mirip kidung pujian pada Tuhan. “Wahai yang menciptakan alam semesta, pencipta langit dan tanah serta pada keduanya, segalanya lahir dari air, maka lahirkanlah air dari tubuhku.” Agras membaca mantra itu dan perlahan percikan air sedikit demi sedikit keluar dari tangannya, ia tersenyum melihat itu lalu menunjukkan pada Laika. “Lihat Laika aku berhasil.” Setelah mengatakan itu entah mengapa tiba-tiba percikan air kecil itu tiba-tiba keluar begitu deras dari tangannya dan cukup banyak, saking banyaknya membuat tekanannya sangat kuat seperti air mancur hingga menjebol langit-langit atap yang kini bolong. Agras terpental, kaget dan tak percaya. Laika mencoba membantunya kembali berdiri, sampai keduanya bersamaan mendongak melihat lubang yang dibuat sihir Agras. “Hebat sekali.” Laika bertepuk tangan melihat itu. “Pertama kali percobaan kau sudah menghancurkan atap kastil, besok kau bisa menghancurka seluruh kastil.” “Kau bercanda, kan? Pasti itu sihirmu, kau pasti membantuku.” Agras masih tak percaya dengan apa yang terjadi padanya. “Benar ternyata, kau memiliki potensi hebat untuk menjadi seorang reinkarnasi pahlawan, sihirmu luar biasa,” kata Laika ketika sadar bahwa reinkarnasi sang pahlawan memanglah begitu hebat. “Karena potensimu sudah luar biasa, kau harus belajar mengontrol sihirmu agar kau bisa menggunakannya dan kau tak butuh buku sihir pemula.” Laika begitu saja menyingkirkan buku sihir yang awalnya di atas meja menjadi di lantai. Laika sadar bahwa Agras tak membutuhkan buku sihir seperti itu. Mulai hari itu Laika mengajari Agras banyak sihir termasuk bagimana untuk mengontrol sihirnya, memfokuskannya dan kemudian menggunakannya untuk menjadi serangan. Namun, Agras tak begitu suka menggunakan mantra baginya itu terlalu rumit dan lama, ia juga bukan pengingat yang pandai. Kini ia mencari cara bagaimana ia bisa menggunakan sihri tanpa harus mengucapkan mantra, agar semua serangannya menjadi cepat. Agras mengatakan hal itu pada Laika, tapi Laika mengatkan bahwa hal itu sangat tidak mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD