16. Terbangun di Lumiren

1054 Words
Agras sudah terbangun beberapa waktu lalu, tapi ia hanya diam di atas tempat tidur sambil terus memutar matanya melihat sekeliling ruangan itu. Di dalam pikirannya ia bingung dan tak tahu harus melakukan apa, rasa bingungnya yang awal tadi juga terjadi karena ia terkejut dengan peristiwa yang menimpanya. Dalam sekejap seolah ia benar-benar hidup di negeri dongeng penuh dengan fantasi, hari-hari tenangnya yang indah menjadi suram dan mencekam hingga rasanya ia tak tahan dengan semua itu. Bukannya ia bahagia melihat yang terjadi tapi ia malah ketakutan, seolah ia merasakan mejadi pemeran utama yang mulai memasuki babak baru hidupnya hingga berlanjut ke season dua. Si dewa memang mengatakan bahwa akan ada perubahan besar dalam hidupnya, ia akan memiliki kekuatan yang tak ia dapatkan sebelumnya, tapi sampai saat ini ia belum mendapatkan kekuatan itu malah ia menemukan satu kesimpulan bahwa perubahan besar hidupnya bukan kearah yang lebih baik. Ia membuat para uskup tersakiti olehnya, ia menjadi penghalang mereka, padahal mereka yang membawanya pergi berlibur. Berlibur. Kata yang seharusnya ia pertanyakan, karena banyak hal yang tak masuk akal menurutnya, bagaimana mungkin ia bisa berlibur seorang diri yang satupun tak ada anak ikut. Dalam artian khusus pun harusnya ia menyadari, apalagi tingkah uskup Olsho begitu aneh sejak ia mengatakan bahwa ia bermimpi setelah menemukan buku di ruangan rahasa dalam perpustakaan. Jika saja ia bisa mengatakan apa yang ada dalam otaknya, mungkin banyak sekali pertanyaan yang begitu tebal hingga bisa menjadi sebuah cerita pendek dengan ribuan kata. Tapi saat ini kebingungannya hanya bisa ia simpan dalam hal kediaman. Harusnya saat ini ia berpikir apa yang terjadi padanya, di mana ia, dan bagaimana keadaan para uskup, tapi tidak bisa ia sudah terlalu banyak berpikir. Agras masih shock dengan semua itu, tiba-tiba diajak liburan, tertangkap penyihir, lalu pingsan karena terjatuh dari langit, untung saja tubuhnya tak sampai patah tulang semuanya masih sehat tak kekurangan apapun, ia hanya sedikit cedera, pusing dan bingung itu pasti. Semua bayangan itu berputar di kepalanya seolah sebuah film yang dapat direka ulang, terekam jelas, sayangnya ia tak ingin mengulang adegan itu terus menurus. Lalu setelah ini apa kehidupannya jauh menyeramkan lagi? Apa ia akan bertemu monster, iblis-iblis menakutkan dan bertemu naga? Jika benar ia rasanya ingin mati saja. Seharusnya sekarang wajah dan bibirnya pucat karena memikirkan hal itu, ia tak ingin melihat rautnya, ia benar-benar bingung. Sesekali ia mengutuk si dewa karena memberikan hidup begitu menakutkan baginya, ia pikir kehidupan barunya akan setenang dua tahun lalu tapi ternyata tidak, bahkan jauh lebih buruk dari sebelumnya yang tak bisa ia bayangkan. Agras rasanya ingin kembali bertemu dengan si dewa dan memintanya untuk mengembalikan kehidupannya seperti sebelumnya, karena ia seolah bisa tahu apa yang akan terjadi beberapa waktu kedepan, bukan ramalan tapi ia bisa menebak dan pasti tak ada benarnya, tak mungkin salah. Meskipun tebakan itu seperti asumi dari film ataupun animasi yang pernah ia tonton, begitu juga komik dan buku yang sering ia baca, semua menggambarkan begitu. Kemudian ia mencoba menenangkan dirinya. Tidak bisa. Tidak berhasil. Tidak mungkin. Entah mengapa ia menjadi seperti orang depresi yang kecanduan obat-obatan, obatnya habis dan ia tak bisa bangkit sedikit pun, yang bisa ia lakukan hanya diam-bingung-hampir gila. Semua itu menggambarkan dirinya sampai sekarang. Saat Agras sedang sibuk dengan pikirannya saat ini, seseorang membuka pintu ruangannya itu dan melihat Agras yang sedang termenung. Orang itu yang tak lain adalah Laika, setelah keluar dari ruangan Destron ia memastikan keadaan Agras yang saat ini berada di dalam ruangan herbalis. Laika melihat keadaan Agras yang cukup aneh, ia berjalan masuk kedalam untuk mendekati Agras dan memastikan bahwa keadaan anak itu baik-baik saja. Laika berpikir kemungkinan ia trauma. “Kau sudah sadar,” ujar Laika. Agras merespon dengan menatap kedatangan Laika, tapi tak mengatakan apapun, tapi Laika tahu seolah Agras bertanya banyak hal. “Kami menolong kau dan teman-temanmu saat diserang penyihir hitam.” Diserang? Menolong? Agras teringat kalau setelah para uskup kalah dan hampir terjatuh entah bagaimana tiba-tiba penyihir mengerikan yang melayang di udara itu hancur begitu saja, setelah itu ia jatuh dari langit dan tak ingat apapun, saat terbangung ia sudah berada di dalam ruangan itu. “Apa yang terjadi pada para uskup?” tanya Agras kemudian. “Orang-orang yang bersamamu itu? Salah satu dari mereka sedang beristirahat sedangkan dua lainnya berada di ruang herbalis, beristirahat sampai kau sembuh,” ucap Laika mencoba menenangkan Agras. “Aku hanya ingin berlibur, kenapa sampai terjadi hal seperti ini,” keluh Agras berbicara sendiri. Berlibur? Laika menggaris bawahi satu kata itu, apa maksud dari berlibur? Apa saat datang ketempat ini Agras berpikir bahwa itu sebuah liburan? Apa mereka tak mengatakan jika ia reinkarnasi pahlawan selanjutnya? semua pertanyaan itu timbul setelah mendengarkan apa yang Agras katakan, meskipun seharusnya ia tak heran mengetahui bahwa anak sekecil itu harus menerima kenyataan bahwa ia reinkarnasi sang pahlawan. “Mungkin ini bagian dari liburan. Siapa namamu? Aku Laika, pelayan di sini,” tanya Laika pada Agras, kini ia duduk di ujung tempat tidur tak jauh dari Agras duduk. “Aku Agras dari kota Tron,” ucap Agras memperkenal dirinya, entah mengapa ia seolah bisa lunak dengan Laika. Ia melemaskan tubuhnya dan tak memikirkan lagi apa yang terjadi. “Ah Agras, selamat datang di kota Lumiren dan anggap saja aku pemandumu,” kata Laika. Agras mengangguk, seolah ia tersihir dengan semua yang dikatakan Laika. Perasaan takut, bingung, bimbangnya hilang entah kemana yang tak ia tahu. Ia kini menatap Laika, perempuan cantik yang mungkin saat ini berusia 25 tahunan. Perempuan cantik berambut pendek sepundak, bibir merah kecoklatan ( mungkin lipstik), dan sesuatu benda yang menggantung nampak indah sekali di dadanya. Menggoda, jika seandainya ia menjadi Richard mungkin bisa memikirkan hal yang lainnya, sesuatu yang jorok dan kotor yang sebenarnya normal bagi seorang pria seperti dirinya, Emili tidak memiliki benda sepadat dan sebesar itu, bentuk kecil  tapi menggemaskan. Ada waktu-waktu tertentu saat ia menyentuh karena menggodanya, Emili bisa saja marah tapi ia tahu harus melakukan apa. “Sekarang kau harus kembali istirahat karena ini masih begitu malam, obat yang mengalir ditubuhmu besok pasti akan membuatmu sembuh,” sambung Laika. Agras mengangguk perlahan. Laika berjalan keluar daru ruangan itu, menutup pintu tanpa menguncinya. Begitu berada di lorong, ia sedikit meludah membuang sisa-sisa batang pohon Juan yang sudah ditempeli rapalan mantra Lotren. Itu salah satu bentu sihir rapalan yang gunanya untuk menarik perhatian orang, agar semua kata-kata yang penggunanya keluarnya menjadi sebuah daya tarik dan itu berhasil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD