20. Flashback IV (end)

1153 Words
Davin menarik napasnya pelan. Perasaannya sangat ragu. Dia sama sekali tidak ingin melakukan hal ini. Max, dia sahabatnya, dia sudah dianggap Davin sebagai saudaranya juga. Davin benar-benar dilema. Davin menghembuskan napasnya kencang. Dia membulatkan tekadnya sebelum mulai melangkah masuk ke dalam rumah Max. "Maafkan aku, Max, aku terpaksa ..." gumam Davin ketika sudah memasuki ruang tamu rumah sahabatnya itu. Suara sepatu pantofel milik Davin menggema di ruangan yang luas itu. Davin mempercepat langkahnya, dia ingin segera menuntaskan rasa sesak ini. "Maafkan aku Max." gumam Davin sekali lagi. Langkah Davin berhenti, dia melihat Max yang sedang duduk di sofa panjang dan membelakangi dirinya. Entah sudah keberapa kali Davin menarik-hembuskan napasnya. "I'm sorry Max, I'm really sorry." Setelah menggumamkan kata-kata itu, Davin dengan keraguannya mendekati Max. Max yang sadar akan kehadiran seseorang, lantas membalikkan tubuhnya. "Dav!" sapa Max dengan senyuman khasnya. "Tumben banget kamu dateng malem-malem gini. Ada apa nih?" Max dengan tak menaruh curiga sedikitpun bertanya seperti biasanya. Davin meneguk ludah, tangannya bergemetar sekarang. "Tidak ada." dengan keringat dingin yang mengalir deras, Davin berusaha menjawab dengan suaranya yang gemetar. Max mengangkat sebelah alisnya, "Ada apa Dav? Kamu keliatan nggak baik, ada apa?" tanya Max berkali-kali. Davin lagi-lagi menghembuskan napasnya. Dia lalu merogoh saku dalam jaketnya. Davin memilih tidak langsung mengeluarkan revolver nya, jari-jemari Davin menggenggam alat tembak itu. "Max, kalau kamu meninggal, kamu mau gara-gara apa?" tanya Davin melepaskan genggamannya pada revolver itu. Dahi Max mengernyit, merasa tiba-tiba akan pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabatnya itu. "Hemm, aku nggak tahu." jawab Max. Davin merenggut, dia tidak menginginkan jawaban yang seperti itu. Davin dengan jantung yang berdegup kencang mencoba bertanya sekali lagi. Max menjawab dengan kernyitan yang terlihat jelas sekali di keningnya. "Aku beneran nggak tahu. Lagipula, takdir siapa yang tahu 'kan Dav, barangkali aku malah mati karena orang-orang terdekat aku." Mendengar jawaban Max, Davin bertambah risau. Dia benar-benar tak ingin melakukan ini. Tapi sekali lagi, dia terpaksa. Dia takut, dia tidak ingin mati dalam waktu dekat. Hanya itu, tapi Ladam malah menyuruhnya melakukan hal sialan seperti ini. "Max." panggil Davin. Max bergumam, sebelum senyuman tulusnya nampak di wajahnya tampannya itu. "Ada apa? Keliatannya kamu lagi kesusahan Dav." sahut Max. "Maafkan aku Max, aku benar-benar minta maaf." ujar Davin dengan mata terpejam rapat. Max mengernyit, "Kenapa?" Dorr Tubuh Max menegang. Air mata Davin sudah terurai banyak di pipinya. Wajah Max perlahan memucat. Sedetik setelah Max bertanya, Davin dengan segera mengambil revolvernya lalu dengan tangan yang sedikit bergemetar Davin menarik pelatuk alat tembaknya itu. Max meneguk ludah, "A-ada apa, Dav?" tanya Max dengan susah payah. Nyawanya kini sedang diujung tanduk. Davin menunduk dalam, menangis tanpa suara. "Maafkan aku Max. A-aku, aku terpaksa. Maafkan aku ...." gumam Davin menatap mata sahabatnya itu. "It's ok. Kamu saudaraku y-yang pa-paling aku sayangi." ucap Max terbata-bata. Davin masih tetap menangis tanpa suaranya, "No Max! Tolong benci aku, ucapkan kamu benci aku Max!" Max tersenyum lebar, lengannya senantiasa memegang d**a kirinya yang tertembak. Davin memang menembak tepat di jantungnya, membuat Max berusaha sekali untuk berbincang sebentar dengan sahabatnya itu. "Aku, Max, sangat membencimu Dav ...." Mata Davin menyendu, dia melihat bagaimana lengan Max perlahan meluruh. Mata berwarna hijau itupun menutup dengan pelan. Davin mengeraskan rahangnya, dia melihat sendiri bagaimana sahabatnya mati dengan perlahan. "Maafkan aku Max ...." gumam Davin sekali lagi sebelum dia meninggalkan mayat Max yang kini sudah terlihat kaku. --- Davin menghembuskan napas pelan. Dia kini berada di depan kediaman milik Sir Lan. Kali ini, perasaan Davin lebih ragu daripada tadi. Tapi mau bagaimana lagi, Davin sudah dilanda perasaan takut akan bayang-bayang kematiannya. Dan sekali lagi, Davin tidak menginginkan hal itu sama sekali. Davin terlihat mengepalkan jari-jemarinya. Dia mulai melangkah masuk ke dalam rumah Sir Lan. Davin masuk tanpa sungkan. Dia juga tidak mengetuk pintu itu terlebih dahulu. Davin kini berada di depan kamar milik Sir Lan. Sekali lagi, tanpa mengetuk ataupun meminta izin, Davin segera masuk ke dalam kamar yang luas dan rapih itu. "Dav!" panggil Sir Lan ketika melihat Davin berada di dalam kamarnya. Davin melangkah cepat, posisinya kini berada tepat di belakang tubuh Sir Lan. Orang tua itu kini sedang duduk di bangku komputernya. Sir Lan juga terlihat sedang fokus dengan komputer berwarna hitam itu. "Ada apa Dav?" tanya Sir Lan tanpa menengok ke belakang--ke arah Davin. "Tidak ada." Davin menjawab dengan suara gemetar. Sir Lan menengok sekilas pada Davin, lalu kembali fokus pada komputernya. "Ada apa Dav?" tanya Sir Lan sekali lagi, kali ini dengan nada lembutnya. "Maafkan aku ...." "Hemm, minta maaf karena apa?" "Tolong maafkan aku ...." Kening Sir Lan mengkerut, dia memilih beranjak lalu menarik lengan Davin agar duduk di sofa panjang kamarnya itu. "Ada apa?" Sir Lan lagi-lagi bertanya pertanyaan yang sama. "A-aku, aku terpaksa. Maafkan aku, tolong benci aku Sir." ucap Davin bergumam. "Ya, aku membencimu. Aku memaafkan mu, jadi tenang saja, ok?" Sir Lan berujar dengan tangan yang mengusap lembut rambut Davin. Davin meneguk ludah gugup, tangannya mulai merogoh saku dalam jaketnya. Davin melihat Sir Lan mengangkat kedua alisnya. Melihat pandangan mata Sir Lan yang penuh memancarkan kasih sayang, Davin sontak membuang muka. "Hei, ada apa?" Tanpa menjawab dan tanpa sepengatahuan orang tua di depannya itu, Davin meletakkan moncong revolvernya tepat di bagian jantung Sir Lan. Dorr Bunyi tembakan menggema. Davin memejamkan matanya erat. Dia merasakan tangan kasar milik Sir Lan membelai lembut sisi wajahnya. "Aku tidak tahu mengapa kau melakukan ini .... Tapi, jika perbuatan ini membuatmu selamat dan bahagia, maka aku izinkan. Davin anakku, Ayah akan selalu menyayangimu Nak. Jangan benci Ayah, urus jenazah Ayah dengan layak, ya ...." Setelah itu, tidak terdengar suara apapun lagi. Air mata Davin lagi-lagi keluar tanpa sepertujuannya. Bukan hanya air mata, isakan Davin juga kini terdengar keras dan memilukan. Davin segera merengkuh tubuh ayahnya yang sudah menutup mata. Dia menangis dengan kencang. Dia menyesal, dia ingin dibenci oleh kedua orang tersayangnya itu. Perasaannya kini terasa sangat sakit. Dia meremas baju bagian jantungnya dengan perasaan kalut. Dia ingin menghilang saja dari dunia. Dia menyesal. "Maafkan aku Ayah, maafkan aku ...." gumam Davin lirih berkali-kali. Prok-prok-prok Suara tepukan tangan menggema di dalam ruangan luas itu. Davin enggan melihat siapa yang bertepuk tangan. Davin malah semakin mengeratkan rengkuhannya pada tubuh sang ayah. "Bagus Dav, kau memang pintar." ucap seseorang yang tadi bertepuk tangan. "Sekarang, mari kita keluar dari negara memuakkan ini. Dan mari kita memulai peradaban baru di wilayah ku, Dav!" Davin dengan enggan melepaskan tubuh sang ayah, dia mulai melangkah ke arah Ladam, robot b******k yang sayangnya ia ciptakan. --- Tanggal 16 Mei 2922 Hot news! 2 (dua) anggota The Trio Jenius ditemukan tewas di kediamannya masing-masing. Dengan satu luka tembak tepat di jantung mereka. Mereka juga diduga sebagai korban pembunuhan. Tetapi anehnya, Davin, salah satu anggota The Trio Jenius dinyatakan menghilang bersama robot ciptaan mereka, yaitu Ladam. Para polisi maupun pemerintah sedang kebingungan dan mencari Davin disegala wilayah. Tetapi, mereka sama sekali tidak menemukan sedikitpun jejak Davin dan Ladam. Siapa pembunuh 2 (dua) anggota The Trio Jenius dan kemana perginya Davin dan Ladam???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD