4. Harga Diri

1255 Words
"Barat, pulang." Begitu bunyinya, kalimat pertama yang bertamu di gendang telinga Barat saat telepon itu tersambung. Agaknya ingin dia tolak, tetapi tak enak, itu telepon dari ibu. "Nanti Barat pulang, Bu. Sekarang lagi kerja." "Kerja apa yang mengharuskan kamu nggak pulang-pulang, hm?" Barat menatap sesosok perempuan kesayangan Alam Semesta dari dalam mobil, gadis itu sedang sibuk survei toko untuk bisnis perdagangannya. Katanya nanti bila cocok, toko itu akan jadi opsi C bilamana produknya kehabisan dari toko A dan B. Konon, jualan seperti itu agak sulit karena mematok dari barang yang sudah jadi, sependengaran Barat, Nirwana ingin membuat produknya sendiri, cukup dia mencari bahannya saja nanti, tetapi masih dilema katanya. "Oh ... atau jangan-jangan kamu bohongin Ibu, ya? Kamu kerja di tempat papa, kan? Ngaku!" Fokus Barat kembali pada seseorang di seberang telepon sana. "Nggak, Bu. Barat kerja di tempat orang lain, cuma memang harus menetap di sini sampai tugasnya selesai. Ibu doain aja supaya--" "Nikah sama Neng Ayuminya kapan kalau gitu?" Ibu terdengar menggerutu. "Umur kamu udah mau tiga puluh tahun, lho. Nanti nggak ada yang mau kalau bukan Neng Ayumi." Ah ... sudah dulu. Nirwana kelihatan sedang berjalan menuju mobilnya. Barat pun gegas pamitan kepada ibu, yang mana sedang aktif mengomel di seberang sana. "Maaf, Bu. Udah dulu, ya?" Barat pun mengakhiri dengan ucapan salamnya kemudian, ibu membalas dengan sewot-sewotan. Ya, seperti itu. "Nyebelin banget, sih. Orang tanya-tanya produk, ya, berarti ada niat mau belilah, minimal mau kerja sama, kan, gitu. Tapi ini, dih ... pelayanannya nggak banget." Baru juga masuk, Nirwana sudah mengoceh. Barat meliriknya. Sambil ngomel sambil memasang sabuk pengaman, lalu kini putrinya Alam Semesta itu memerah wajahnya. "Jadi, selanjutnya destinasi mana lagi yang ingin Anda datangi?" Nirwana menoleh. Oke, anggap saja kejadian kemarin perihal membumihanguskan seluruh benda kenangan Wana bersama Topan, pun perihal ajakan menikah Wana kepada si Barat Barat sialan--sudah punya tunangan katanya--itu tidak pernah terjadi. Pun, soal kejadian di setelah dua hal tersebut ... anggap tak pernah ada dalam epissode hidupnya. Setidaknya, untuk hari ini saja. Nirwana sedang membutuhkan Barat soalnya. "Cari toko bahan aja, deh." Wana pejamkam mata, lelah sepertinya, yang Barat lajukan kendaraan tersebut. Maklum, ini sudah lewat setengah hari pencarian toko C, tetapi belum ada yang klop. Ditambah lagi Nirwana menggunakan sepatu berhak tinggi, jalan ke sana kemari. Ya, salah sendiri, sih. Ngomong-ngomong .... Barat baru sadar setelah lewat seminggu ini, segala apa yang putrinya Alam Semesta itu kenakan selalu bernuansa pink. Tak berapa lama, mereka pun tiba di tempat yang Nirwana tuju. "Eh, mau ke mana?" Saat Barat membuka sabuk pengaman dan hendak buka pintu seperti dirinya, Nirwana menyela. "Ikut," katanya, "ayo, saya temani." Barat mengoreksi. Dan karena nanti akan banyak bahan yang Nirwana beli, kayaknya itu ide bagus, Barat bisa membawakan belanjaannya nanti. Oke, Nirwana pun mempersilakan. "Anda kelihatan sangat sibuk di beberapa waktu." Nirwana kontan menoleh. Barat lanjutkan berkata, "Tapi nggak kelihatan kerja apa, di mana, dan realita kariernya." Sekilas Barat melirik, di situ Wana sedang menatapnya. "Ya, memang sibuk. Dan soal realita karier, bukannya beberapa hari ini udah lihat, ya, kesibukan saya gimana? Ketemu partner bisnis, ya, walau Ratih itu lebih ke temen, sih. Tapi terus survei toko buat milah-milah produk cadangan, dan sekarang nambah dengan nyari-nyari bahan ...." Barat mengangguk. "Maksud saya, kebanyakan waktu Anda itu di rumah, saya nggak lihat, tuh, produk perniagaan Anda di sana. Atau ... ada ruangan yang belum saya masuki?" Oh, kamar Nirwana. Hanya itu satu-satunya ruang yang belum Barat lihat bagaimana isinya. "Masih inget temen yang saya temui di kafe waktu itu, kan? Nah, dia yang pegang. Barangnya ada di jangkauan Ratih. Tugas saya bukan di bagian produksi, lebih ke jejaring sosialnya, nyediain produknya, memastikan barang yang kami jual itu ada, dan ... tunggu." Nirwana menjeda, dia hentikan langkah, bahkan kini sudah menatap Barat secara penuh. Kayaknya dia nggak perlu cerita tentang itu sedetail ini, deh. Apalagi sama Barat. Yang mana sosok itu sedang menaikkan alisnya sekarang. "Kita nggak sedekat itu, ya, sampe harus ngobrol sedalem ini," sambungnya. Lantas, kembali melajukan langkah yang Nirwana jeda tadi. Di sini ... Barat ulas senyum tipis. *** "Gimana perkembangan Wana hari ini, Bar? Apa dia masih ngamuk setelah barang-barang kenangan bareng Topannya, kamu bakar kemarin?" Seperti biasa, tiap hari Barat memang selalu teleponan dengan Alam Semesta. "Sudah agak jinak, Pak." Mengingat kemarin itu .... Hari di mana Barat membakar benda-benda kesayangan Nirwana, lalu dengan segala isi pikiran gadis itu yang tidak Barat pahami, Nirwana mengajaknya menikah, dan setelahnya .... "Lepas!" Ya, Barat menyusul, yang dia cekal lengan Nirwana sebelum memasuki kamar. "Ayo kita bicara sebentar." "Nggak mau. Lepas!" Seraya mencoba melepaskan jari-jemari Barat dari pergelangan tangannya. "Ya sudah, di sini saja." Bicaranya. Meski Nirwana tentu tak nyaman, terlebih cekalan di lengan yang sulit dia longgarkan. Nirwana terus berusaha, persetan dengan apa yang Barat katakan. "Sebenarnya, ada nggak, sih, kemauan di diri Anda untuk terbebas dari perasaan menjijikkan itu?" Menjijikkan? Sontak Nirwana mendongak, menatap nyalang seraut wajah Barat. Iya, memang menjijikkan. Namun, siapa Barat hingga berkata demikian? "Perasaan Anda terhadap laki-laki itu, apa dari diri Anda sendiri, tidak ada keinginan untuk bebas dari sana?" Semakin nyalang, Nirwana mendesis, "Itu bukan urusan kamu. Sekarang, lepas. Tangan saya sakit!" Oh .... "Memang bukan urusan saya, tapi sepertinya Anda harus mendengar ini, Nirwana." Rendah dan berat, Barat berikan tatapan tajamnya kepada seraut wajah cantik putri Alam Semesta sambil berkata, "Bukannya laki-laki itu bahkan sudah punya istri?" Dua alis Wana menukik, apalagi saat Barat lanjut berucap, "Mau jadi semenjijikkan apa lagi diri Anda, Nirwana?" Dada itu kembang kempis nyelekit mendengarnya. Yang Barat kata, "Mencintai garis keturunan ayah sendiri, dengan tanpa tahu malu, bahkan sampai saat dewasa kini laki-laki itu sudah punya istri, lalu ... Anda masih menyimpan perasaan itu, kenangannya, pun saya dengar ... istrinya sampai kabur, ya, gara-gara kelakuan Anda yang--" "Berengsek," desis Nirwana, memangkasnya. Barat senyum sebelah bibir. "Iya, Anda berengsek." Kembali Nirwana mencoba melepaskan cekalan tangan Barat. Oh, dia terganggu. Apa yang Barat katakan terdengar benar, tetapi Nirwana tak suka ... siapa laki-laki itu hingga berani menghakiminya? "Dan--" "Cukup!" Yeah ... Barat senyum, melihat mata Nirwana yang berkaca-kaca saat itu. "Anda yang seharusnya cukup, Nirwana. Cukup ... berhenti jadi perempuan yang menjijikkan." Oh, terlihat jelas emosi Nirwana terpancing, terlebih ketika Barat kian memancing dengan katakan, "Laki-laki mana pun nggak akan mau sama perempuan seperti Anda, termasuk saya. Tanpa harus saya paparkan, Anda tahu, kan, berapa nilai diri Anda yang seperti itu?" Tak lagi berontak, tetapi mengepal. Wajah Nirwana pun merah padam di sana. Detik di mana Barat lepaskan cekalannya, Nirwana mematung, meresapi rambatan harga diri yang dibuat tercecer oleh kata-kata Barat Dhanandjaya. "Benahi diri Anda, masih belum terlambat untuk itu. Karena sangat disayangkan gadis secantik Anda, rusak ... atau tidak disukai oleh berbagai pihak, khususnya papi Anda sendiri. Masih ingat rasa tamparannya, kan? Di depan keluarga besar ... saya yang dengar ceritanya saja bisa membayangkan sejatuh apa harga diri Anda saat itu." Ada bibir yang Nirwana gigit kuat. Harga diri, ya? Barat melenggang meninggalkan Nirwana yang kemudian esok hari tiba, seolah tak pernah terjadi apa-apa ... Barat agaknya dibuat tergelitik oleh karakter Nirwana Lintang Semesta. "Hari ini saya mau survei toko." Seperti itu. "Kamu ikut, kan?" Dan seperti ini .... Selepas Barat kantongi ponselnya, selesai teleponan dengan Bapak Alam YTH, Nirwana pun sudah kembali dari toilet tadi. Oh, mereka ada di sebuah resto yang katanya Nirwana lapar sekali, jadilah sehabis beli banyak bahan kini mereka mangkal di sini. "Barat." Tidak disahuti dengan kata, tetapi tatapan Barat menunjukkan bahwa dia merespons panggilan Nirwana. Mereka duduk berhadapan. Yang mana saat itu Nirwana berucap, "Saya butuh bantuan kamu." Jakun Barat naik-turun saat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD