Keesokan paginya, Elliot segera pulang bersama Charlotte karena tidak mau berlama – lama bertatapan muka dengan Brianna ataupun Johan. Ia bahkan membawa pergi Charlotte di pagi buta dan hanya berpamitan kepada Arthur, agar Ian tidak mencarinya, Elliot juga mengirimkan pesan kepada Ian dan bilang bahwa dia harus segera pulang karena ada urusan.
Meski alasan sesungguhnya hanyalah supaya bisa kabur dari rumah lamanya itu.
Saat Elliot membawa Charlotte keluar dari rumah, wanita itu merasa bila kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya. Bahkan Charlotte lebih sering menutup matanya ketika Elliot menarik lengannya untuk berjalan ke mobil.
Begitu masuk ke dalam mobil, Charlotte tidak bisa menahan kantuknya lagi dan menjatuhkan kepalanya ke permukaan jendela. Takut istrinya akan terhantuk benda keras saat mobil berjalan, Elliot segera menempatkan kepala Charlotte di pundaknya.
“Charlotte, makanlah ini dulu sebelum kita sarapan di rumah,” kata Elliot seraya memberikan bungkus roti yang sudah dibuka.
Charlotte berusaha untuk meraih roti itu, tetapi meleset karena dia tidak membuka mata. Pada akhirnya, Elliot merobek roti tersebut menjadi beberapa bagian kecil, kemudian menyuapi Charlotte yang setengah sadar.
Setelah menelan sekali, Charlotte mulai bertanya. “Kenapa kita pulang pagi sekali? Apa kamu punya pekerjaan?”
“Aku ingin membawamu melihat matahari terbit di suatu tempat.”
“Matahari terbit?”
“Mhm, kamu selalu berada di rumah selama satu minggu terakhir, sehingga hari ini aku ingin membawamu ke tempat yang bagus supaya pikiranmu menjadi jernih kembali.”
Tanpa Elliot katakan, Charlotte juga mengerti bila pria itu merasa bersalah kepada Charlotte. Karena Charlotte ingin menghargai usaha Elliot yang mau menghiburnya, Charlotte tidak menolak saat dibawa pergi.
Mobil yang mereka tumpangi lantas berhenti di Brooklyn Bridge, sebuah jembatan penghubung antara borough Brooklyn dengan Manhattan. Di jembatan itu terdapat tiga jalur, jalur di paling kanan dan kiri bisa dilewati oleh kendaraan pribadi atau umum, sedangkan bagian tengah jembatan diperuntukan untuk pejalan kaki.
Elliot meminta Samael untuk memarkirkan mobil di salah satu ruko dekat jembatan, lalu dia menuntun Charlotte berjalan ke jembatan itu.
Matahari belum menampakkan cahayanya, sehingga jalanan masih gelap dan dipenuhi oleh kemerlap lampu. Udara di waktu dini hari begitu dingin, membuat Charlotte langsung sadar sepenuhnya akibat sedikit menggigil.
Sebelum ini, dia tidak tahu jika Elliot akan membawanya keluar, sehingga dia tidak membawa mantel tebal dan hanya menggunakan blazzer tipis sebagai pakaian luarnya. Elliot yang sadar bila istrinya tengah berusaha menghalau dingin, lekas menanggalkan mantelnya lalu membungkus tubuh Charlotte menggunakan mantel tersebut.
Charlotte tertegun saat menerima perhatian Elliot. Dalam beberapa saat dia hanya diam, sebelum akhirnya tersenyum tipis dan bertanya. “Bagaimana denganmu? Kamu tidak kedinginan?”
Elliot meletakkan tangannya di belakang punggung Charlotte saat dia berjalan. “Suhu dingin tidak akan mampu membuatku sakit! Ketika masih muda, aku dan teman – temanku seringkali melakukan tantangan untuk berdiri di antara salju dengan hanya menggunakan kaus dan celana tipis. Orang yang kalah harus mentraktir yang menang.”
Charlotte tertawa saat mendengar tingkah Elliot yang kacau. “Lalu, apa kamu menang?”
“Tentu saja menang,” Elliot tersenyum bangga. “Aku selalu menang saat melawan mereka.”
Ketika Elliot melihat sebuah kursi, ia segera membawa Charlotte untuk duduk. Matanya lalu melirik ke arah beberapa pasangan yang berdiri jauh dari mereka, tampaknya para pasangan itu juga menunggu matahari terbit sepertinya dan Charlotte.
“Tapi sekarang kamu sudah tidak semuda dahulu. Jadi bisa saja demam setelah terpapar udara dingin terlalu lama.”
“Charlotte,” Elliot berkata, “Kamu baru saja mengataiku tua.”
Charlotte tertawa, kemudian meletakkan mantel milik Elliot di antara mereka berdua. Mantel itu cukup lebar, sehingga mampu melingkupi tubuh Elliot dan Charlotte bersamaan. “Aku hanya membicarakan fakta.”
Elliot ingin protes, tetapi ia urungkan saat melihat senyuman Charlotte yang indah. Pada akhirnya, dia hanya menjepit hidung Charlotte dengan jari, kemudian menarik tubuh wanita itu supaya duduk lebih dekat dengannya. “Baiklah, aku memang sudah tua. Karena itu, kuharap Nona muda tidak membuat Tuan yang tua ini marah hingga terkena serangan jantung.”
Keduanya lantas tertawa bersama, menikmati udara pagi yang perlahan mulai menghangat. Beberapa saat kemudian, bintik – bintik cahaya kemerahan mulai muncul dari arah timur. Gradasi pergantian warna dari langit malam ke pagi tampak begitu indah, warna merah dari matahari lambat laun berubah kekuningan, menyebar hingga ke sudut – sudut kota dan mulai merasuki retina setiap manusia yang berasa di jembatan.
Cahaya dari lampu – lampu jalan meredup, kemudian mati tatkala sinar matahari sudah menggantikan tugas mereka.
Charlotte memandangi cahaya matahari di depannya seraya merasakan kehangatan yang mulai menyelimuti tubuhnya. Seumur hidup, Charlotte belum pernah melihat matahari terbit secara langsung. Hal itu karena kamar yang ia tempati dahulu tidak memiliki jendela yang mengarah keluar, sehingga dia tak pernah dibangunkan oleh matahari pagi.
Kehangatan itu turut menyelimuti hati Charlotte, membuat segala kekalutan yang kemarin terus menghinggapi hatinya pergi begitu saja.
Elliot memperhatikan kekaguman yang terpancar dari kedua manik Charlotte. Pria itu turut merasa senang tatkala istrinya menikmati pemandangan di hadapan mereka.
“Ketika aku masih remaja, aku sering melihat matahari terbit dari tempat ini. Dalam seminggu, mungkin aku bisa melihatnya sebanyak tiga kali,” tukas Elliot.
Charlotte lantas menoleh. “Kenapa kamu selalu keluar rumah sedini itu? Apa jam masuk sekolahmu lebih pagi dari sekolah lain?”
Elliot tertawa pelan, kemudian mengelus rambut Charlotte dengan lembut. “Aku tidak melihat matahari terbit karena aku selalu pergi ke rumah sangat pagi, tetapi karena aku memang belum pulang ke rumah hingga pagi.”
Bocah berandal. Pikir Charlotte di dalam hati. Namun, tidak ia suarakan.
“Kenapa kamu belum pulang hingga pagi?”
Elliot menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah matahari terbit. “Kenapa ya? Mungkin karena aku tidak suka tinggal di rumah.”
“Semenjak Ibuku meninggal, rumah sudah tidak lagi sehangat dahulu. Setiap hari, aku dan Ayah akan selalu bertengkar, saling berteriak dan memaki satu sama lain. Entah itu karena masalah sepele hingga besar. Ayahku keras kepala, dan aku sama keras kepalanya dengan dia.”
“Pertengkaran kami semakin buruk saat aku beranjak remaja. Di mataku dulu, Ayah selalu saja memandangku sebagai bocah kurang ajar dan berandalan. Walau aku mempunyai belasan piala olimpiade, nilai tinggi, dan prestasi non akademik yang bagus, Ayah tetap saja selalu memarahiku karena aku seringkali bermain dan tampak tidak memperdulikan keluarga dan sekolah.”
“Padahal, aku terus bermain karena keluargaku tidak bisa memberikan kesenangan. Aku terus bermain, karena teman – temanku selalu memujiku sebagai anak yang cerdas meski jarang belajar. Aku terus bermain, karena lelah mendengarkan ocehan Ayah yang selalu membanding – bandingkan setiap putra – putranya, membuat saudara kandung saling mengubur benci hingga beranjak dewasa.”
Arthur memang bukanlah seseorang yang mudah marah karena alasan kecil. Namun, Elliot adalah kasus khusus di mana Arthur tidak akan mampu membendung emosinya setiap kali melihat putranya itu membuat ulah. Karena itulah, Arthur seringkali membandingkan Elliot dengan Ian atau pun Johan, membuat Elliot jadi merasa kesal kepada saudara – saudaranya.
Di kehidupan lampau, Elliot dan Ian juga bisa melalui kesalah pahaman karena kebencian Elliot tersebut.
Ketika matahari sudah naik sepenuhnya, Elliot kembali berkata, “Tapi, sepertinya sikapku di masa lalu memang keterlaluan. Bagaimana menurutmu?”
Charlotte, “Kamu masih muda saat itu, jadi tidak bisa menyalahkan sikapmu.”
Elliot tidak menyangka istrinya akan berkata demikian. “Ya, saat itu aku masih sangat muda. Sekarang aku akan lebih berhati – hati saat berbicara dengan Ayahku. Bagaimana pun juga dia sudah tua, terlalu banyak marah tidak akan bagus untuk kesehatannya.”
“Mhm, kamu harus lebih memperhatikan ayahmu sekarang,” Charlotte berpikir sebentar, sebelum berkata lagi, “Ketika kamu melihat matahari terbit di masa lalu, apa kamu melihatnya dengan teman – temanmu?”
“Tidak. Walau menyebut mereka sebagai teman, sesungguhnya mereka hanyalah sekumpulan orang – orang yang ingin mendekatiku karena uang, sehingga mereka tidak memperdulikan masalah pribadiku.”
Charlotte tidak bisa menahan iba untuk Elliot. Suaminya itu pasti selalu merasa kesepian walaupun selalu bermain dengan teman – temannya. “Jadi kamu selalu ke sini sendirian?”
Elliot mengangguk. “Sendirian juga tidak begitu buruk. Namun, suatu hari aku berpikir mungkin akan menyenangkan jika aku membawa orang yang kusayang ke tempat ini juga. Sayangnya, selama bertahun – tahun tidak ada orang yang layak untuk kubawa kemari, sampai akhirnya aku bertemu denganmu.”
Kebanyakan wanita yang berada di sekitar Elliot hanya perduli kepada diri mereka sendiri. Mereka bahkan tidak pernah menanyakan kabar Elliot atau menenangkannya saat dia kesal. Di kehidupan lampau, Elliot paling lama menjalin kasih dengan Irene Addison, tapi wanita itu selalu menolak ajakan Elliot jika pria itu ingin mengunjungi tempat yang tidak mewah.
Sebab itu, Charlotte adalah satu – satunya wanita yang mau mendengarkan keluh kesah Elliot, juga satu – satunya wanita yang tidak menolak ajakan Elliot untuk pergi ke tempat yang tak dilingkupi kemewahan.
“Charlotte, aku menyayangimu,” ungkap Elliot. Cahaya matahari pagi yang mengenai wajah Elliot, membuat wajah pria itu semakin bersinar.
Charlotte membeku saat mendengar hal itu, dia sama sekali tidak menyangka bila ucapan seperti itu akan keluar dari mulut Elliot. Pasalnya perubahan pria itu terlalu cepat, seminggu yang lalu dia memperlakukan Charlotte seperti hama, kemarin dia tampak menyesal, dan sekarang berkata dia menyayangi Charlotte.
Apa Elliot hanya ingin bermain – main dengannya?
Elliot mampu melihat keraguan di manik mata Charlotte, sehingga dia memegang tangan Charlotte dan mengarahkan tangan wanita itu ke d**a Elliot. “Apakah kamu merasakannya? Detak jantungku berdetak cepat sekali setiap melihat kamu. Apa respon dari tubuhku ini sudah cukup untuk membuatmu percaya bahwa aku memang menyayangimu dengan sepenuh hati?”
Charlotte merasakannya.
Telapak tangan Charlotte mampu merasakan detak jantung Elliot yang berdetak begitu cepat, seolah pria itu habis berlari jauh.
Ucapan mungkin bisa berdusta, tetapi tubuh tidak akan pernah berbohong.
Elliot telah mengarungi dua kehidupan. Pada kehidupan pertama, Elliot terlalu bodoh dan buta sampai bisa membenci Charlotte sedemikian besar. Namun, kebencian itu perlahan luntur usai melihat Charlotte yang tetap berada di sisinya meski kehidupan Elliot telah hancur menjadi puing. Di detik – detik akhir kematian mereka, Elliot akhirnya sadar bila dia juga menyayangi Charlotte.
Akan tetapi, dia terlambat untuk menyadari perasaannya itu.
Oleh karena itu, di kehidupan sekarang dia tidak lagi mau memiliki kesalah pahaman dengan Charlotte. Dia ingin wanita itu tahu bahwa Elliot memang menyayanginya dan tidak menjadi baik hanya karena belas kasihan.
“Charlotte, apa kamu mau mengulang segalanya dari awal dan menganggap hari ini adalah hari pertama pernikahan kita?”
Lambat laun, detak jantung Charlotte sama cepatnya dengan milik Elliot. Entah mengapa, hatinya tidak lagi ragu tatkala melihat manik mata Elliot yang dipenuhi oleh penyesalan dan kasih sayang.
Pria itu tampaknya tidak berdusta.
Elliot memang menyayangi Charlotte.
Dan Charlotte tanpa sadar mulai menumbuhkan rasa sayang juga kepada suaminya itu.
“Aku tidak keberatan,” Charlotte tersenyum, “Kita bisa menganggap hari ini sebagai hari pertama pernikahan kita.”
Elliot menundukkan kepalanya, kemudian ia mengelus pipi Charlotte, menimbulkan sensasi hangat akibat jemarinya yang dingin menyentuh permukaan kulit Charlotte yang juga dingin. “Kalau begitu, aku akan mengucapkan sumpah pernikahan ulang.”
“Charlotte Baxter, aku sudah memilih kamu untuk menjadi istriku. Karena itu, aku berjanji akan setia kepadamu dalam susah ataupun senang, di waktu sehat atau sakit, dan aku ingin mencintai dan menghormati kamu seumur hidup,” Elliot menambahkan. “Tidak, aku akan mencintai kamu meski sudah mati sekalipun.”
Suara Elliot yang lembut membuat Charlotte tidak bisa menahan senyumannya. Sebuah senyuman lebar yang menampakkan deretan gigi putihnya.
“Elliot Landegre, aku juga sudah memilih kamu untuk menjadi suamiku. Sebab itu, aku berjanji akan selalu setia kepadamu dalam keadaan susah atau senang, di waktu sehat atau sakit, dan aku juga akan mencintai dan menghormati kamu selamanya.”
Elliot turut tersenyum, kemudian menautkan jari – jemari mereka. Sesekali ia akan menyentuh cincin pernikahan yang tersemat di jari manis mereka. Kali ini, kedua cincin itu masih bersih dan berkilauan, tak ada noda debu ataupun darah yang mengotori.
Dan selamanya, Elliot tidak akan pernah membiarkan cincin mereka terkotori oleh darah serta debu.
Elliot mendekatkan wajahnya ke wajah Charlotte, membuat Charlotte mampu merasakan deru napas hangat dari Elliot.
Di pernikahan resmi mereka, Elliot menolak untuk mencium Charlotte. Dia sempat menutupi sisi samping wajah mereka, sehingga kedua orang tuanya tidak tahu bahwa Elliot sama sekali tidak menyentuh Charlotte.
Karena saat itu ia merasa Charlotte terlalu menjijikan untuknya.
Namun, saat ini Elliot merasa bila bibir merah Charlotte tampak seperti manisan yang terus menggoda Elliot untuk menyentuhnya.
Seolah mengetahui jalan pikiran Elliot, Charlotte menutup matanya, karena merasa terlalu malu untuk melihat wajah Elliot yang begitu dekat.
Tidak ingin menyia – nyiakan kesempatan. Elliot lantas menempelkan kedua bibir mereka yang dingin, tidak perduli jika ada orang lain yang mungkin akan melihat perbuatan mereka.
Ciuman itu terasa selembut kapas, juga begitu ringan dan hanyalah bentuk dari sebuah cinta yang murni.
• • • • •
To Be Continued
5 Januari 2022
Author’s Note :
[Berapa umur setiap karakter di n****+ ini?]
Elliot : 27 tahun
Charlotte : 21 tahun
Ian : 33 tahun
Jessica : 30 tahun
Johan : 25 tahun
Theater Mini :
Elliot : Lihat! Aku tidak setua itu!
Charlotte : Tapi aku masih sekolah di menengah pertama saat kamu kuliah
Elliot : …
Charlotte : Saat kamu di sekolah menengah pertama, aku masih ada di taman kanak – kanak
Elliot : Itu ..
Charlotte : Saat kamu di taman kanak – kanak, aku baru lahir
Elliot : Cukup! Baik, aku sudah tua! Tidak perlu kau rincikan!