Cemburu Buta

1670 Words
Hari ini, matahari rasanya enggan menyapa desa tempat keluarga Johannes tinggal. Sejak pagi, mendung pekat dan hujan petir seakan ikut menemani gadis yang tidak ingin beranjak dewasa di rumah mewah yang ada di tepi Hutan Agnisaga. Gadis itu tampak murung seharian, karena tidak bisa bermain bersama anak-anak desa seperti biasanya. Selain itu, kejadian pagi tadi di mana Jeanne yang tiba-tiba datang dan meminta bantuan kepada Tuan Johannes, membuat suasana di keluarga ini berubah. Nyonya Johannes dihujani perasaan cemburu yang teramat besar, karena menganggap suaminya lebih memilih membantu perempuan lain dibanding bersama dengan keluarganya di cuaca hujan yang sangat mendukung untuk bercengkrama bersama. Perasaan cemburu itu bukan tanpa alasan, ia mengingat-ingat sesuatu yang membuatnya cemburu kepada janda kembang di desa tersebut. Jeanne merupakan warga pindahan dari kota seberang, satu kota dengan keluarga Johannes berasal. Entah apa yang membuat seorang ibu tunggal seperti Jeanne pindah ke desa terpencil seperti ini. Yang jelas, sejak awal kedatangan Jeanne, Nyonya Johannes telah mengendus aroma yang tidak sedap, seakan Jeanne adalah ular yang siap memporak-porandakan keluarga Johannes. Tepatnya sekitar lima tahun lalu, Jeanne tiba-tiba datang ke desa ini. Desa yang sudah mulai berkembang berkat kerja keras para warga dan juga Tuan Johannes ini, seharusnya tidak menarik orang dari pusat kota untuk ikut tinggal. Menurut Nyonya Johannes, hanya ada dua kemungkinan seseorang pindah ke desa ini. Pertama, ia adalah orang yang melihat potensi besar di desa dan ingin mengembangkannya, seperti yang dilakukan Tuan Johannes di masa lalu. Lalu yang kedua, seseorang ingin menghancurkan tatanan desa yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Rasa cemburu membuat Nyonya Johannes berpikir jika Jeanne adalah tipe orang kedua, namun selama bertahun-tahun ini, tidak ada tanda-tanda Jeanne mengusik ketentraman di desa. Kepindahan warga luar kota ke desa, tentu saja menarik perhatian seluruh warga. Bagaimana tidak, desa tempat Tuan Johannes tinggal saat ini sangat jarang kedatangan warga baru. Jika memang ada orang yang pindah ke desa, mungkin itu hanyalah anak desa yang pulang dari perantauan. Tapi kali ini tidak, Jeanne adalah orang pindahan yang benar-benar baru, seperti Tuan Johannes dan keluarganya. Antusiasme warga desa pun dirasakan juga oleh Tuan Johannes. Ia bahkan menjadi orang yang paling perhatian kepada Jeanne, karena merasa sebagai orang yang berasal dari daerah yang sama. Tuan Johannes menganggap Jeanne sebagai teman seperantauan. Hal itulah yang menjadi awal mula tumbuhnya rasa cemburu di hati Nyonya Johannes. Bahkan, Jeanne mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai kepala gudang perkebunan, sebuah posisi strategis yang menentukan alur keluar masuk produk perkebunan di desa. Tuan Johannes bukannya tidak sadar dengan rasa cemburu yang dirasakan istrinya, berkali-kali ia menjelaskan kepada Nyonya Johannes jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tuan Johannes bukanlah orang yang mudah memalingkan hati, hanya Nyonya Johannes lah satu-satunya yang ia cintai. Tapi, sebagai seorang perempuan, Nyonya Johannes memiliki perasaan yang kuat. Ia tahu, jika sedikit saja diberikan kesempatan untuk masuk, maka Jeanne akan dengan mudah merebut suaminya. Maka dari itu, Nyonya Johannes selalu mengawasi Jeanne secara tidak langsung. Ia bahkan mengutus seorang staf kepercayaan sebagai mata-mata untuk terus mengawasi gerak-gerik dari orang yang sangat dicemburuinya itu. Tidak terasa, lamunan Nyonya Johannes tentang masa lalu Jeanne mengantarnya menuju hari yang sudah berangsur malam. Hujan yang turun sejak pagi, tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Petir pun masih tetap menyambar dengan gagahnya di ujung langit. Nyonya Johannes mengurung diri di kamar sejak suaminya mengantar Jeanne mengantar anaknya ke rumah sakit. Hatinya sudah mulai gundah, Tuan Johannes lama sekali di rumah sakit, sampai seharian penuh. Di atas tempat tidur, Nyonya Johannes hanya bisa menghela nafas pasrah. Jika memang suaminya sudah tidak mau mendengar perkataannya, biarlah ia melakukan apa yang diinginkannya. Nyonya Johannes menengok jam dinding yang terpasang di kamar, waktu terasa berjalan sangat lama. Tapi, meski Nyonya Johannes sempat berpikir untuk membiarkan suaminya berkeliaran di luar, tetap saja ada perasaan khawatir yang mengganggu pikirannya. Berkali-kali ia menengok ke jam dinding sambil berharap suara mobil milik Tuan Johannes segera terdengar. Luna pun seharian ini juga berdiam di kamar. Ia hanya menengok lebatnya hujan dari balik jendela, berharap hujan itu segera reda dan ia bisa kembali bermain bersama teman-temannya. Sayangnya, siang tadi, Nyonya Johannes tidak menyiapkan makan siang untuk dirinya. Terpaksa Luna hanya memasak mie instan untuk mengganjal perut. Baru kali ini di dalam hidup Luna, ibunya mengurung diri, bahkan mengabaikannya seperti ini. Luna berpikir bahwa mungkin ada sesuatu hal berat yang dipikirkan oleh ibunya. Langit sudah semakin gelap, namun tidak ada tanda-tanda mobil Tuan Johannes datang. Hingga malam sudah benar-benar menyelimuti, barulah suara mobil Tuan Johannes terdengar di ujung jalan. Melihat sorot lampu mobil yang tampak mencolok di tengah gelapnya malam, Luna segera berlari dari kamar, menyambut sang ayah pulang. Ia segera mengambil payung dan berlari ke luar, berdiri di samping rumah saat Tuan Johannes memarkirkan mobil. Tuan Johannes melangkah dengan lelah, menghampiri anak semata wayangnya. Tampak raut wajah khawatir dan sedih pada Luna, membuat Tuan Johannes menatapnya dengan senyum simpul yang hangat. "Luna kenapa? Kok sedih?" ucap Tuan Johannes sambil sedikit menunduk di depan Luna, dimandikan air hujan. Luna tidak sanggup menjawab pertanyaan ayahnya. Air mata seketika jatuh membasahi pipinya, menjadikan wajah cantik gadis itu memancarkan aura kesedihan yang pekat. Tuan Johannes segera mendekat dan mendekap Luna dengan erat, berharap putrinya itu menjadi lebih tenang. Tapi sayangnya, bukan ketenangan yang Luna rasakan, gadis itu justru menangis semakin kencang saat pelukan hangat dari sang ayah menyambutnya. "Hei, Luna kenapa? Sini cerita sama Ayah pelan-pelan." Tuan Johannes menghapus air mata Luna dengan lembut. "Yah …." Suara Luna tampak bergetar. "Sejak tadi, Ibu cuma mengurung diri di kamar, bahkan Luna harus masak mie instan buat makan siang, sekarang Luna lapar lagi," keluh gadis itu, membuat ayahnya menghela nafas sambil tersenyum kepadanya. "Ya udah, habis ini Ayah masakin ya? Mau?" sahut Tuan Johannes. "Tapi Ibu …" "Nanti biar Ayah yang ngomong sama Ibu, masuk yuk?" ajak Tuan Johannes. Luna mengangguk pelan, lalu Tuan Johannes segera menggandeng tangan Luna dan mengajaknya masuk. Tuan Johannes bahkan tidak peduli pada air hujan yang membasahi bajunya. Payung yang Luna pegang, tidak mampu melindungi tubuh dua orang dewasa dari derasnya hujan yang turun. Rasa lapar juga membuat Luna tidak sadar jika payung yang ada di tangannya hanya melindungi tubuhnya sendiri. "Luna tunggu sini dulu, Ayah mau ganti baju dulu," ucap Tuan Johannes ketika ia dan Luna tiba di ruang makan. Tuan Johannes berjalan pelan ke depan pintu kamar, namun tidak ada keberanian untuk mengetuknya. Ia takut, istrinya masih sangat marah atas perbuatannya hari ini. Tuan Johannes pun mengurungkan niat dan segera menuju ke kamar mandi. Beruntung, baju yang ia kenakan kemarin, masih menggantung di kamar mandi, belum sempat dibereskan karena hari ini Nyonya Johannes mengurung diri di kamar. Tuan Johannes terpaksa mengenakan pakaian itu lagi, meski aroma bajunya sudah tidak begitu sedap. Tapi, untuk sekarang, baju inilah satu-satunya yang bisa menjaga tubuh Tuan Johannes tetap hangat di tengah dinginnya udara pegunungan yang dilanda hujan. Setelah berganti pakaian, Tuan Johannes segera mengecek bahan-bahan yang tersedia di lemari es untuk digunakan sebagai makan malam. Telur, sayur sawi, wortel, dan daging ayam di lemari pembeku. Tidak ada bahan lain yang tersisa lagi, hanya nasi yang ada di penanak yang bisa digunakan. Tuan Johannes harus memutar otak, ia tidak tega melihat Luna yang sudah murung kelaparan. Akhirnya, Tuan Johannes memasak menggunakan bahan-bahan yang ada. Luna, gadis itu memang sangat pandai menyembunyikan perasaan. Ia sebenarnya tahu jika keluarganya sedang dilanda konflik, namun gadis itu memilih untuk hanya membahas perihal perut lapar di depan ayahnya. Padahal, pikirannya sangat kacau. Ia khawatir akan kesehatan ibunya yang sejak siang tidak keluar dari kamar, tetapi ia masih sanggup bersikap manja dan polos di hadapan ayahnya. Sementara Tuan Johannes memasak, Luna hanya berdiam melamun di meja makan. Sesekali, Luna menatap ke arah kamar kedua orang tuanya yang tertutup dari dalam. Luna masih menganggap dirinya anak kecil yang tidak berhak ikut campur dalam urusan rumah tangga kedua orang tuanya, sehingga ia lebih memilih untuk bungkam. Tidak lama, tercium aroma wangi dari arah dapur. Sesaat kemudian, Tuan Johannes menghampiri Luna dengan membawa tiga piring penuh nasi goreng tradisional. Luna menatap ayahnya dengan hangat, ia tahu bahwa ayahnya sangat perhatian kepada keluarga. Meski sedang bertengkar, Tuan Johannes tidak enggan memasak makan malam untuk istri tercinta. Setelah menaruh semua makanan di meja, Tuan Johannes melangkah menuju ke depan kamarnya. Ia mengetuk dengan lembut pintu kamar, sambil memanggil istrinya. "Bu, ayo makan dulu, Ayah udah masak nasi goreng buat makan malam," kata Tuan Johannes. Mengetahui jika suaminya sudah pulang dan memberikan perhatian kepadanya lagi, membuat Nyonya Johannes tersipu malu. Tiba-tiba ia merasa sangat bahagia, hatinya berbunga-bunga. Namun Nyonya Johannes masih enggan bersikap manis kepada suaminya dan memilih untuk tetap cuek. "Iya bentar!" sahut Nyonya Johannes ketus dari dalam kamar. Tuan Johannes hanya bisa menghela nafas, sepertinya Nyonya Johannes masih belum memaafkan perbuatannya pagi tadi. Tuan Johannes tidak mengetuk pintu kamarnya lagi, ia kembali ke meja makan dengan murung. "Luna, kayaknya Ibumu masih marah sama ayah deh," ucap Tuan Johannes lesu. Luna hanya diam mendengar ucapan ayahnya. Ia tahu, bagaimana rasa sedih yang dialami oleh Tuan Johannes. Hanya saja, Luna tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Beberapa saat kemudian, Nyonya Johannes keluar dari kamar dengan mata sembab. Lucu memang jika dilihat lagi. Tuan dan Nyonya Johannes telah menikah selama dua puluh tiga tahun, namun hari ini mereka masih bersikap seperti anak muda yang baru merajut cinta. Nyonya Johannes memundurkan kursi dengan kasar. Saat duduk, ia tidak mau menatap suaminya. Nyonya Johannes lebih memilih untuk memalingkan muka, lalu menyantap nasi goreng yang ada di depannya tanpa berdoa terlebih dahulu. Padahal Luna dan Tuan Johannes sengaja tidak bersantap dahulu, menunggu permaisuri di rumah ini keluar. Tapi sepertinya permaisuri rumah mereka sedang dalam suasana hati yang benar-benar tidak baik. Luna dan Tuan Johannes saling lirik dan menghela nafas. Mereka tahu, rumah ini sekarang terasa seperti neraka, panas dan pengap, karena orang yang berkuasa untuk membangun suasana rumah sedang berselimut awan hitam. Luna dan Tuan Johannes pun terpaksa menyantap makan malam dengan kecewa. Terutama Tuan Johannes. Padahal ia berharap, dengan memasak makan malam untuk istrinya, akan mengembalikan suasana hati yang sedang hancur. Tapi rupanya, cara itu tidak berhasil. Tuan Johannes harus memikirkan cara lain untuk membujuk istrinya agar kembali ceria.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD