Abil
“Bang, buruan, kek! Lelet bener!” aku menepuk bahu Abang Ojek Online tidak sabaran. Aku sedang sangat buru-buru, jadi macets edikit saja rasanya lama sekali.
“Masih macet neng. Sabar atuh. Kalau buru-buru kenapa nggak naik motor sendiri aja, sih?”
“Motor saya lagi di bengkel, Bang. Makanya naik ojol, kalau nggak ya pasti udah pakai motor sendiri.”
“Ya makanya sabar. Ini juga bukan kemauan saya. Jakarta macet di pagi hari sudah hal biasa.” Ya bener, sih, apalagi di jam-jam orang berangkat kerja dan pulang kerja.
“Ya iya, Bang. Tapi ini kok lama bener?” Aku menghela napas, berat. Mati aku, sepuluh menit lagi udah telat.
“Eh, sebentar neng. Sepertinya ada kecelakaan di depan.” Si Abang menoleh ke arahku. Dia turun dari motor, meninggalkanku beberapa saat, lalu kembali lagi.
“Yang bener, Bang? Ada kecelakaan beneran? Jangan nakut-nakutin ih!”
“Bener neng, coba lihat itu. Orang-orang pada berkerumun. Barusan waktu saya kesana ada yang bilang kalau korban tertabrak waktu dia nyebrang jalan. Si penabrak nekat menerobos lampu merah. Tapi untung pelakunya udah ditangkap.”
“Seriusan?” saat itu juga, aku langsung turun dan menyerahkan helm sebelum akhirnya menerobos kerumunan untuk melihat siapa yang kecelakaan.
“Ya ampun!” Aku menutup mulutku kaget melihat seorang laki-laki tergeletak tak berdaya dengan baju bersimbah darah.
“Kok pada diem aja, sih!” aku mulai emosi melihat orang-orang hanya mengerumuni korban tanpa berniat memberi pertolongan. Akhirnya, dengan segenap keberanianku, aku menghampiri laki-laki itu. Iya, korbannya laki-laki, mana kayaknya masih muda.
“Telfon ambulans, cepet!” teriakku begitu melihat si korban masih tak sadarkan diri. Aku mengecek denyut nadinya dan menghembuskan napas lega begitu tau kalau laki-laki itu masih hidup. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu membuka mata sejenak, merintih kesakitan, dan tangan besarnya mencengkram lenganku kuat.
“Mas, bertahan, ya? Sebentar lagi.” Aku menepuk pipinya pelan begitu aku melihat mata laki-laki itu perlahan kembali menutup.
“Mas!”
“Mbak, coba kasih CPR. Kayaknya itu nggak bisa napas,” celetuk salah satu ibu-ibu yang masih ikut berkerumun. Kurang lebih tinggal tiga orang yang tersisa saat ini. Wajar sih, ini kan pagi hari. Pasti hampir semua orang punya kesibukan.
“Mbak, bisa CPR nggak?” tanya ibu itu lagi.
“CPR?”
“Iya mbak. Lihat, dia mulai berhenti napas. Saya nggak bisa mbak, fisik saya sudah nggak kuat. Saya dulu seorang perawat di rumah sakit. Jadi saya tahu betul dengan keadaan pasien yang seperti ini. ”
“Eeee saya—”
“Mbak, ambulansnya belum ada tanda-tanda datang. Saya nggak yakin dia bisa selamat jika terus dibiarkan. Keadaan seperti ini banyak yang menganggap sepele, tapi sebenarnya bisa fatal jika terlambat.”
“Tapi saya juga belum pernah nolong orang sampai CPR. Saya nggak berani bu,” balasku sembari melihat ibu itu dan korban secara bergantian.
Ini kenapa ambulans datangnya lama sekali?
“Atau napas buatan saja, Mbak?”
“Aduh ya jangan napas buatan, atuh, bu...”
“Ya coba sebisanya dulu.” Ibu itu tampaknya sudah sangat khawatir dengan korban, hanya saja tidak bisa berbuat apa-apa mengingat fisiknya yang sudah terlihat lemah. Ngomong-ngomong beliau ini kalau aku taksir umurnya, sudah kisaran enam puluh tahun.
“Nggak bisa bu. Saya nggak bisa kalau napas buatan. Saya coba CPR semampu saya, tapi pakai tagan saja.”
Akhirnya, aku mulai melakukan CPR semampuku. Sebenarnya aku dulu pernah melakukan CPR waktu ikut ektrakurikuler PMR di SMA, tetapi latihannya dengan manekin, bukan orang nyata seperti ini.
“Alhamdulillahh!” pekik ibu itu lega, begitu melihat korban terbatuk-batuk. Tidak ada sepuluh detik setelahnya, aku mendengar suara ambulans mendekat. Seketika itu, aku terduduk lemas di samping korban.
“Mbak, nggak jadi wawancara, nih? Jamnya udah lewat.” Teriak Abang Ojek Online yang ternyata masih menungguku.
Oh ya ampun! Iya, wawancara!
“Kita pulang lagi aja, Bang. Baju saya penuh darah,” balasku lesu sambil berdiri. Korban itu sudah diangkat ke mobil ambulans yang baru saja sampai.
“Mbak, bisa ikut kami ke rumah sakit?” tiba-tiba saja, petugas ambulans menghampiriku.
“Kenapa saya? Saya nggak kenal laki-laki itu, pak.”
“Nggak papa mbak. Ikut dulu ya, saya nggak mungkin minta ibu itu yang ikut. Apa lagi orang di sebelah beliau.”
Petugas itu melirik satu persatu orang yang tersisa, dan benar saja, memang diantara kami bertiga, hanya aku yang paling meyakinkan jika dimintai keterangan lanjutan.
“Ya udah pak, saya bayar ojek dulu.”
Setelah membayar ojek, akhirnya aku ikut naik mobil ambulans menuju ke rumah sakit.
***
Badanku lengket, mana bau amis. Mau langung ganti baju, aku tidak bawa uang cukup untuk beli yang baru.
Ya ampun, nasib bener aku hari ini! Udah gagal wawancara, sekarang bentukanku udah kumal nggak jelas!
Aku baru saja meneguk air minum yang aku bawa di tas ketika tiba-tiba ada seorang perempuan yang aku yakini dia seumuran denganku, berhenti di depanku dengan napas ngos-ngosan.
“Mbak, Mas Juna baik-baik aja, kan? Dia masih hidup, kan?” Perempuan itu jongkok di depanku, lalu memegang kedua tanganku erat.
“Jawab Mbak, Mas Juna masih hidup, kan?” mataku mengerjap bingung ketika perempuan itu mulai menangis.
“Mbaknya istri atau…”
“Saya a-dik korban, mbak. Yang tadi ditab-rak orang itu ka-kak saya. Dia masih hidup k-an?” napas perempuan itu kini mulai tersengal.
“Dia masih hidup kok,” balasku sambil tersenyum, lalu menarik perempuan itu agar duduk di sebelahku.
“Beneran, Mbak?”
“Iya, beneran. Kakak kamu baik-baik aja. Memang, pendarahannya cukup banyak, tapi dokter bilang, benturannya nggak fatal.”
“Mbak, pokoknya makasih banget ya. Saya denger dari petugas ambulans, katanya mbak sempet bantu CPR kakak saya.”
“Ah, iya,” balasku sekenanya. Sumpah, saat ini aku ngggak pede duduk bersebelahan dengan siapa pun. Bau badanku itu loh, agak amis!
“Oh iya, Mbak, berhubung mbaknya udah disini, saya pulang sekarang, ya? Saya nggak tahan dengan bau badan sendiri,’ pamitku sambil berdiri. Perempuan itu mendongak dan menahan tanganku.
“Bentar mbak,” tiba-tiba saja, perempuan itu mengambil dompet dari dalam tas dan menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan. “Maaf mba, saya cuma bawa uang cash segini.”
“Nggak usah. Saya nggak papa. Itu buat tambah biaya perawatan kakak kamu aja. Saya pulang dulu.” Aku jelas menolak uang itu.
“Saya perlu mengganti baju mbaknya yang kotor kena darah kakak saya. Tolong mbak, terima uang ini. Mungkin jumlahnya memang nggak seberapa dibanding apa yang telah mbak lakukan untuk keselamatan kakak saya. Saya mohon mbak, terima uang ini.” Karena perempuan itu terus memaksaku untuk menerima uang itu, akhirnya mau tidak mau aku menerimanya.
Setelah itu, aku pamit pergi dan buru-buru berjalan keluar dari rumah sakit. Aku menelfon adikku agar dia menjemputku pulang. Rasanya tidak mungkin aku pulang naik ojek apalagi taxi.
***
Juna
“Makanya Jun, kalau nyebrang itu lihat-lihat. Malah jadi kaya gini, kan? Ya ampun anak mama dahinya di perban. Udah jelek makin jelek. Papa kamu menang lagi.” Aku hanya terkekeh mendengar candaan mama.
“Nggak usah ketawa, nggak lucu. Mama udah jantungan dulu tadi, waktu Risa kasih kabar kamu ditabrak orang.”
“Udah sih, Ma. Mas Junanya kan baru siuman. Udah main kena semprot aja. Lagian nih, mau seganteng apa pun Mas Juna, papa tetep paling ganteng buat mama.” Mama tertawa pelan, seolah setuju dengan omongan Dek Risa.
“Bener juga, sih. Pinter kamu, Ris. Duh, pusing mama mikir yang satu ditabrak orang, yang satu hampir nabrak orang.”
“Maaa! Udah sih. Lagian kan aku panik ma, waktu denger Mas Juna kecelakaan. Jadi nyetir motornya agak ugal-ugalan.” Dek Risa nyengir, sembari menatapku dan Mama bergantian.
“Pake motornya siapa, Dek? Tadi pagi kan kamu berangkat dianter ojek.”
“Punya temen, Mas.”
“Oh... Kalau papa mana, Ma?”
“Papa kamu balik ke rumah sebentar mau ambil jaket dan keperluan lainnya. Nanti balik lagi kok. Untung sih ada yang mau nolong kamu, Jun. Mama berutang budi sama prempuan itu.” Mendengar itu, seketika keningku berkerut samar.
“Perempuan siapa, Ma?”
“Perempuan yang nolong kamu. Mama juga belum liat orangnya. Tuh, tanya adik kamu.” Mama malah menunjuk Dek Risa dengan dagu.
“Yang nolong aku perempuan, Dek?” tanyaku agak terkejut.
“Iya, Mas. Tapi sayang, aku lupa nanya namanya dan minta nomor hapenya. Lumayan kan, wajahnya cantik loh!”
“Dek, kamu masih normal kan?”
Dek Risa langsung mendelik begitu mendengar pertanyaanku. “Astaga, Mas! Bukan buat aku, kali. Buat situ tuh! Ganteng-ganteng tapi jones!”
“Risa, udah. Giliran mama udah diem, kamu malah ajak Juna berantem.”
“Hehe, iya ma.”
Aku diam, mencoba mengingat apa yang aku alami tadi pagi. Akan tetapi, semakin aku mencoba mengingat, yang aku rasakan justru kepalaku semakin pening. Gagal sudah, yang berhasil aku ingat ya ketika tiba-tiba ada motor melaju kencang dari arah samping kanan dan menabrakku sebelum akhirnya semuanya berubah gelap.
Pokoknya, aku harus menemukan perempuan itu!
***