3. Berbohong

2052 Words
Abil                   “Ya lo sih, Bil, kesempatan emas kok dilewatin gitu aja. Terus gimana nasib lo sekarang?” Ivi menyeruput jus buah naganya, sembari sesekali memainkan sedotan. “Ya coba lo jadi gue waktu itu. Masa iya, gue masa bodoh sementara liat ada orang habis ketabrak di depan gue?” Aku ikut menyeruput jus buah mangga yang ada di depanku.   “Iya juga, sih. Lo bilang yang ditabrak itu cowok, kan? Cakep nggak?” Ivi mulai menaik turunkan alisnya. Melihat itu, aku memutar bola mata malas. “Nggak tau. Wajahnya banyak ketutup darah. Yang jelas orangnya tinggi dan waktu itu pake kemeja biru laut.” “Yah, sayang banget!” Aku hanya mengedikkan bahu tidak peduli. Oh iya, sebelumnya perkenalkan yang lagi ngobrol bersamaku ini namanya Ivi. Dia asli Jakarta. Kami teman satu organisasi waktu kuliah di Jogja. Meski kami beda jurusan, tapi kami masih satu fakultas. Jadinya kami sering kemana-mana bersama. Aku sendiri anak Ilmu Komputer sementara Ivi anak geofisika. Beberapa bulan lalu, ketika dia tahu aku akan pindah ke Jakarta, dia senang bukan main. Ivi ini anak orang kaya. Dia anak dari pemilik perusahaan ternama di Jakarta. Dan perlu kalian tahu juga, wawancara yang waktu itu gagal, aku melamar pekerjaan di perusahaan orang tuanya. Sebenarnya, dia sudah menawariku untuk masuk lewat jalur orang dalam, tetapi aku tidak mau. Bukan aku tidak menghargai maksud baiknya, tetapi lebih kepada aku merasa tidak enak karena terkesan memanfaatkan kedekatan kami. “Jadi beneran, lo nggak mau kerja di perusahaan papa, Bil?” Ivi menanyakan hal yang sama untuk kesekian kalinya. “Ya mau, lah! Nyatanya gue ikut daftar kan, kemarin?” “Ih bukan itu. Maksud gue, lo beneran nggak mau kalau gue bilang papa supaya lo bisa kerja di—“ “Stop! Gue baik-baik aja. Gue bisa cari kerja di perusahaan lain, Vi. Thanks, buat tawaran baik lo, tapi gue tetep nggak bisa, dan alasannya masih sama. ” Ivi mengangguk, “Ya udah. Good luck ya, Bil, pokoknya bilang aja kalau lo butuh apa-apa.” “Makasih banyak Vi,” “Sama-sama.”                  Untuk beberapa saat lamanya, aku dan Ivi hanya diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Entah apa yang Ivi pikirkan, tapi aku melihat alisnya terus bertaut seperti sedang memikirkan sesuatu yang serius. “Eh iya Bil, bentar lagi gue harus ke rumah sakit,” ucap Ivi tiba-tiba. “Loh, siapa yang sakit?” “Nggak, nggak ada. Gue mau jemput sepupu gue. Dia kan lagi koas, jadi sering pulang malem. Kakaknya lagi sibuk. Habis kecelakaan sih, jadi kerjaan numpuk.” Saat ini Ivi mulai membereskan barang-barangnya yang masih ada di atas meja. “Wah, kok kasian? Memang kakaknya kerja apa, Vi?” “Sama kaya Papa gue. Tapi keren deh, sepupu gue tuh. Dia masih muda, tapi udah jadi pimpinan perusahaan gitu.” “Kok bisa?” “Singkatnya ya, Om Eza itu dosen. Jadi urusan kantor diserahin sama Juna.” “Juna yang lo maksud itu sepupu lo, gitu? terus Om Eza itu ayahnya?” Ivi ini kebiasaan kalau cerita langsung sebut nama. Mana nama-nama itu masih asing di telingaku. “Iya, Juna itu adik sepupu gue. Papa gue kakak kandung mamanya.” “Adik sepupu? Waaah, berarti dia lebih muda dari lo tapi udah jadi pimpinan perusahaan?” Mataku seketika melebar tak percaya. “Enggak. Juna malah lebih tua dari gue empat tahunan.” Ivi meringis, menunjukkan giginya yang rapi dan putih bersih. “Kok gitu? Kata lo dia dik sepupu?” “Jadi ya, nih gue jelasin. Juna itu adik sepupu gue, tapi dia lebih tua. Kenapa? Mamanya Juna itu nikahnya duluan. Juna udah berumur hampir dua tahun, papa gue baru nikah. Terus, Juna punya adik namanya Risa. Si Risa itu lahirnya beberapa bulan setelah gue. Dan si Risa ini yang mau gue jemput.” “Ribet banget sih, Vi!” “Haha. Ya gitu deh. Ada lagi, kakak sepupu gue, tapi dia orang sibuk. Kerjaannya melalang buana ntah kemana. Dia arsitek sih, dan laku banget. Dia ke luar negri mulu kerjaannya. Gue bisa ketemu dia setahun dua kali, udah seneng. Namanya Mas Dilan.” “Lo deket sama mereka semua?” “Iya, dong. Sama Juna apalagi. Juna sering main ke rumah gue, sih. Dia kan deket banget sama Papa. Dulu, Juna sering nganter gue ke Bandara waktu mau berangkat ke Jogja.” “Berasa punya kakak dong ya?”                 Ivi mengangguk. “Iya, bener banget tahu, Bil. Juna itu adek gue, tapi berasa kakak. Mana orangnya baik banget.” “Tapi lo nggak ada niat buat manggil dia pakai sebutan mas? Kan dia lebih tua?” “Enggak lah, ngapain. Walaupun Juna lebih tua, dia kan tetep adek gue. Haha!” Ivi tertawa renyah. “Kalau sama Mas Dilan baru, meski beda kurang dari dua tahun, udah langsung gue panggil mas. Lagian Juna satu frekuensi sama gue, kalau Mas Dilan nggak begitu. Kalau belum kenal dekat, jangan harap dia mau ngomong banyak.”     “Seneng ya, Vi, punya banyak saudara gitu? Ya meski saudara sepupu juga.” “ Jelas lah. Dan asal lo tau nih Bil, kalau gue lagi jalan sama Juna, hampir semua orang ngira Juna itu kakak gue. Bukan kakaknya Risa.” “Kenapa emang?” “Juna itu mirip banget sama Papa waktu muda. Kalau gue nggak salah denger sih, waktu hamil dia, hampir tiap hari mamanya Juna ngidam pengen lihat wajah papa gue. Makanya, wajah Juna mirip papa gue. Aneh kan?” Ivi kembali tertawa renyah. “Aneh sih enggak. Cuma agak ribet gue dengernya.”                 Mendengar cerita Ivi, entah kenapa aku iri sekali. Bukan iri dalam konotasi yang buruk, tapi aku iri melihat banyak saudara yang dekat dengannya. Sedangkan aku, saudara sepupuku sekedar say hello saja, jarang. “Eh, kenapa gue jadi ngomongin keluarga gue, sih? Lo tahu mereka aja enggak. Lain kali deh, kalau sempat gue kenalin lo ke mereka. Sekarang gue pergi dulu, sebelum mulut gue makin nyerocos kemana-mana.”                 Aku tertawa agak keras, sebelum akhirnya membiarkan Ivi pergi lebih dulu. *** Juna                 “Sorry ya Vi, jadi sering ngrepotin lo. Makasih banget udah mau jemput Dek Risa,” ucapku malam itu ketika untuk kesekian kalinya Ivi menjemput Risa dari rumah sakit. “Alah santai, Jun. Kaya sama siapa aja. Gue cabut dulu ya!”                 Aku mengangguk, lalu detik berikutnya Ivi segera masuk ke mobilnya. “Mbak Ivi makasih banget, ya!” Itu suara Dek Risa. “Iya Ris, sama-sama. Itung-itungan di belakang.” Ivi nyengir.                 Setelah ivi pergi, aku dan Dek Risa segera masuk rumah. “Mas, beliin aku mobil, kek. Masak harus minta jemput Mbak Ivi terus. Kasian.” Tiba-tiba saja, Dek Risa menahan tanganku dan mengajakku duduk di sofa ruang tamu. “Kan biasanya pakai punya mama.” “Punya mama udah sering rusak. Mama aja udah jarang pakai. Sekarang kalau mau ke mana-mana pasti Papa yang anter.” “Motor aja gimana?”                 Saat aku sudah duduk di sofa ruang tengah, dan Dek Risa juga ikut duduk di sebelahku. “Ya ampun, Mas. Dingin kali, naik motor malem-malem. Angin malem juga nggak baik buat kesehatan.” “Ya aku sanggup-sanggup aja sih, beliin kamu mobil. Tapi kan sayang aja, mobil di garasi udah ada tiga.” Aku merentangkan kedua tangan, lalu mulai merenggangkan otot-ototku. Hari ini sangat melelahkan, mengingat banyak sekali yang harus aku kerjakan. “Tapi yang satu udah b****k. Jarang dipake pula. Jual aja lah, lumayan kan, duitnya. Orang nggak dipakai juga. Ya, Mas, ya?” Dek Risa mengeluarkan ekspresi memohonnya. “Aduh gimana ya? Bukannya aku pelit. Tapi sayang aja uangnya. Lagian kan Ivi juga nggak jemput tiap hari. Aku masih bisa jemput kamu kalau kerjaan udah selsai.” “Alah! Alesan aja. Ngomong aja pelit.” “Serius dek, bukan masalah pelit, Cuma—“ “Cuma?” “Aku masih belum percaya kamu bisa bawa mobil sendiri tiap hari. Waktu itu aja hampir nabrak orang.” “Diungkit lagi! Kan sekali doang.”                 Aku tertawa pelan ketika melihat Dek Risa mendengkus kesal. “Kamu kalau udah punya mobil sendiri pasti bakal main terus. Kalau pakai punya mama kan mikir-mikir pasti.” “Ck! Ya udah, motor nggak papa.” “Oke. Besok aku beliin. Kalau masalah naik motor, kemampuan kamu udah nggak diragukan lagi.” “Beneran besok?” Dek Risa malah menatapku ragu. “Nggak mau?” “Mau!” sahut Dek Risa cepat, lalu bibirnya mulai mengembang memperlihatkan lesung pipinya. “Udah ya, aku mau tidur. Ngantuk!” “Hm!”                 Aku meninggalkan Dek Risa yang masih duduk di sofa dan menyandarkan badannya. Anak itu pasti kelelahan seharian di rumah sakit. Sebenarnya kasian juga, dia. Tapi untuk membelikan dia mobil dalam waktu dekat ini, sepertinya aku belum bisa. Bukan karena uangku tidak cukup, aku hanya belum bisa mempercayai Dek Risa menyetir mobil sendiri tiap hari. ***                 Dua minggu kemudian… Aku berjalan cepat menuju ruang khusus yang hari ini digunakan untuk wawancara perekrutan karyawan baru. Aku tidak menyangka kalau yang melamar menyentuh angka tiga ratus lima puluh orang, mengingat sebelumnya juga baru diadakan perekrutan. Aku rasa perekrutan kali ini lebih kompetitif, karena aku melihat banyak nama yang sama, yang sebelumnya pernah gagal. “Selamat siang Pak Juna.” Seseorang tiba-tiba menyapaku, dan itu membuatku praktis menoleh. “Eh, Pak Rendra? Ada apa?” “Wawancara hari ini berjalan lancar. Siang ini juga, lima orang terpilih kami umumkan.” “Bagus. Boleh saya tau daftar hasil tes tulis kemarin?” “Boleh, pak. Sebentar saya ambil.”                 Sementara Pak Rendra mengambil data yang aku minta, aku duduk di sudut ruangan sambil memperhatikan lalu lalang peserta wawancara. Aku tersenyum melihat bagaimana mereka terlihat gugup. “Ini, Pak.” Pak Rendra datang dengan membawa data yang aku minta. Aku segera membuka map itu dan mulai memeriksanya. “Saya kira nilai tertinggi bakalan laki-laki, Pak. Ternyata perempuan. Jarang-jarang kan, perempuan ahli IT?” Pak Rendra ikut duduk di sampingku. “Nabila Arshita Malik. Sepertinya nama ini nggak asing.” Keningku berkerut samar, mencoba mengingat di mana aku pernah mendengar nama ini. “Pak Juna kenal?” “Enggak. Saya cuma merasa pernah tahu nama ini. Tapi lupa di mana.” “Oh begitu. Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?” tanya Pak Rendra sembari berdiri, sepertinya hendak mengurus pekerjaan yang lain. “Enggak. Cukup. Saya juga mau balik ke ruangan saya.” “Baik pak.”                 Aku ikut berdiri, lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Namun, baru beberapa langkah aku meninggalkan ruangan itu, aku melihat ada perempuan menunduk dan tangannya sibuk membersihkan noda di baju putihnya. “Please, ini kenapa jadi kuning begini!” Perempuan itu terus ngedumal, dengan kepala menunduk melihat ke arah bajunya.  Melihat itu, aku berhenti. Sesuai perkiraan, karena terlalu sibuk dengan noda di bajunya, perempuan itu menabrakku. Buk!                 Kepalanya terlebih dahulu mengenai dadaku. Perempuan itu langsung mundur beberapa Langkah, dan seketika membungkuk minta maaf. “Saya minta maaf.” Dia mendongak, dan kali ini aku baru bisa melihat wajahnya.   “Woaaah!” Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan. Ah, sudah biasa. Kebanyakan perempuan akan terkagum jika melihatku. Jadi aku tidak terkejut dengan ekspresinya. “Saya bener-bener nggak nyangka kita ketemu lagi. Masnya inget saya? Masnya juga daftar kerja disini?” Mataku seketika mengerjap begitu mendengar kalimatnya. Dia bilang apa, barusan?   “Masnya nggak ingat saya?” tanya perempuan itu lagi. Aku menggeleng. “Siapa?” “Mas, saya boleh pinjem hapenya? Saya habis kecopetan, Mas. Dompet dan hape saya dibawa kabur. Saya nggak punya uang buat pulang. Saya mau menghubungi adik saya supaya jemput saya disini. Ingat?” mendengaritu, aku langsung diam mencoba mencerna maksud kalimat perempuan ini. Satu detik, Dua detik, Tiga detik, . . . “Ah! Saya ingat,” balasku akhirnya. Perempuan itu tampak tersenyum senang. Iya, benar, perempuan ini adalah peremupuan yang waktu itu aku tolong. “Nggak nyangka kita ketemu lagi disini. Masnya juga ikut wawancara?” tanyanya lagi, kali ini sukses membuat senyumku seketika terbit. “Iya. Kamu juga?” Oke, aku sudah berbohong. “Kebetulan sekali.” “Nabila Arshita Malik.” Tiba-tiba saja, terdengar suara speaker dari dalam ruangan yang tadi aku masuki. “Wah! Nama saya dipanggil. Duluan ya, Mas. Semoga lolos!” Perempuan itu tersenyum lagi, sebelum akhirnya berlari meninggalkanku.  “Semoga lolos, katanya?” aku tersenyum geli. Baru kali ini, aku berbohong, tetapi terasa sangat menyenangkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD