Chapter 3

2358 Words
*POV AUTHOR* Luthfi tiba di rumah besarnya sekitar pukul sembilan malam. Tubuhnya begitu lelah. Entah kenapa malam ini dia mendamba sebuah sentuhan lembut dan hangat di sekujur tubuhnya. Berjalan memasuki rumah, Luthfi disambut seorang pelayan yang akan menyiapkan segala kebutuhannya. Namun, tidak seperti biasa dia menolak bantuan pelayan tersebut.  Langkah tegapnya mengantarkan Luthfi menuju kamar utama yang letaknya di lantai dua. Sambil menyusuri tangga marmer Luthfi merenggangkan temali dasi, melepas kaitan kancing kemeja slimfit serta menanggalkan jas dan menyampirkannya di pundak. Saat memasuki kamar mewahnya, Luthfi tak melihat istrinya berada di dalam kamar tersebut. Langkahnya semakin dalam memasuki kamar dan berhenti tepat di depan pintu kamar mandi yang dibiarkan sedikit terbuka selebar sepasang kaki orang dewasa. Luthfi penasaran apa yang dilakukan istrinya malam seperti ini di kamar mandi. Dia punberinisiatif mengintip karena penasaran. "Tumben berendam jam segini? Nggak takut masuk angin?" ujar Luthfi saat mendapati istrinya sedang berendam di bathub. Ana menyunggingkan senyum terbaiknya. "Lagi pengen. Badanku terasa pegal dan susah tidur," ujarnya seraya menyesap teh chamomile yang sudah tidak terlalu hangat. "Need partner?" tanya Luthfi, menaikkan kedua alisnya menunggu persetujuan dari Ana. Sambil melanjutkan aktivitas membuka satu persatu kancing kemeja slimfit-nya. "Aku sudah hampir selesai. Kalau Mas mau berendam juga nanti aku suruh pelayan menyiapkan bathubnya dengan air hangat." Luthfi menggeleng lantas meninggalkan pintu kamar mandi. Bukan itu yang dia butuhkan. Dia butuh seseorang yang bisa menyentuh sekaligus menghangatkan tubuh dan juga hatinya. Ana kurang memahami soal itu. Berumah tangga lebih 20 tahun, tidak membuatnya belajar memahami karakter suaminya. Wajar saja bila Luthfi terkadang sering malas pada Ana. Kadang kala hatinya merasa hampa karena hingga detik ini dia belum bisa mencintai istri yang telah mendampingi selama hampir separuh usianya. Suara alunan musik klasik dari piringan hitam menggema di penjuru kamar. Luthfi sudah mengganti pakaian kerjanya dengan piyama setelah mandi singkat tanpa berendam seperti yang ditawarkan oleh Ana. Kini Luthfi sudah nyaman di sofa bed samping kaca jendela yang mengarah ke taman belakang rumah. Sudah bertahun-tahun tempat itu menjadi tempat tidurnya setiap malam tanpa seorangpun yang tahu. Kepalanya sudah bersandar di tumpukan bantal yang ia siapkan sendiri sambil membaca salah satu n****+ New York Time best seller karya Nicholas Sparks yang sudah dibacanya beberapa kali. Begini cara terbaik versi Luthfi dalam mengistirahatkan tubuh yang telah lelah berjuang menghadapi berbagai persoalan pelik yang menerpa 45 tahun hidupnya. Membaca cerita fiksi adalah pengalihan paling tepat menghindari kenyataan pahit kehidupan nyata, menurut Luthfi. "Kamu nggak capek, di kantor baca tumpukan dokumen, pulang ke rumah bukannya tidur malah baca n****+?" tegur Ana saat Luthfi telah larut dalam bacaannya. "Pertanyaan itu nggak seharusnya kamu ajukan padaku," jawab Luthfi dingin. "n****+ lebih menarik dariku?" Ana terus mencari celah untuk mengobrol dengan suaminya. "Kalau kamu sudah mengantuk tidurlah lebih dulu." "Lalu membiarkan kamu tertidur di sofa bed itu sampai pagi? Oh ayolah, Mas. Jangan siksa aku seperti ini." "Biasanya juga seperti itu kan? Aku sedang lelah untuk meladeni rengekanmu, Ana! Matikan lampu kamar dan segera berangkat tidur!" Ana membuka kimononya, menyisakan pakaian tidur tanpa lengan berbahan satin sutra nan lembut, mencetak jelas lekukan tubuhnya yang masih sintal meski usianya sudah memasuki kepala empat. Luthfi kesulitan menahan salivanya saat melihat tubuh aduhai istrinya itu. Namun khayalannya sirna saat Ana tidak melanjutkan aksi merajuknya, malah menarik selimut hingga menutupi leher kemudian tidur begitu saja sambil memunggungi Luthfi. Menarik napas panjang Luthfi menggeleng tak memahami mengapa rumah tangganya makin ke sini makin hambar dan terasa dingin. Tiga tahun yang lalu, keduanya pernah menemui konsultan pernikahan. Konsultan tersebut menyarankan untuk menghabiskan waktu hanya berdua saja di sebuah tempat liburan terpencil, jauh dari keramaian dan tanpa satu pun asisten yang ikut mendampingi untuk memenuhi kebutuhan mereka selama seminggu penuh. Namun, sampai detik ini saran dari konsultan pernikahan tersebut belum pernah sekalipun dilakukan oleh Luthfi. Alasannya selalu sama, dia tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya dalam waktu yang cukup lama. Sedangkan Ana, dia tidak mungkin bisa melayani kebutuhan Luthfi tanpa asisten, karena dia tahu bagaimana ruwetnya suaminya itu dalam urusan apa pun. Ana malas jika harus kena semprot Luthfi hanya karena perkara sepele seperti salah takaran garam pada makanan, salah takaran gula pada kopi paginya, salah takaran lain-lain yang akan berbuntut pada pertengkaran dan kemudian malah membuyarkan acara liburan romantis mereka. Belum-belum Ana sudah berpikiran buruk sejauh itu. Keesokan paginya, Luhtfi menjalankan rutinitas paginya seperti biasa. Saat membuka mata dia melihat istrinya masih meringkuk di balik selimut. Kadang Luthfi heran apa yang dilakukan oleh Ana seharian hingga membuat istrinya itu rasanya sulit sekali terjaga lebih pagi. Padahal tidur malam pun tidak terlalu larut. Tak memedulikan Ana yang masih terlelap dibuai mimpinya, Luthfi meninggalkan kamar. Dia melenggang santai menapaki tangga marmer yang menghubungkan antara lantai dua menuju lantai tiga rumahnya dan membuka pintu ruang kerjanya dan mengambil sebuah dokumen dari rak penyimpanan dokumen. Sesaat kemudian seorang pelayan berusia 60-an tahun memasuki ruang kerja Luthfi dengan membawa nampan berisi kopi pagi yang masih panas untuk Luthfi. "Terima kasih, Martha...," ujar Luthfi pada wanita paruh baya tersebut. Namanya Martha dan berasal dari daerah Nusa Tenggara Timur.  Asisten rumah tangga paling senior sekaligus pengasuh Luthfi sejak usia lima tahun. Wanita itu hanya mau dipanggil nama saja tanpa embel-embel sebutan apa pun. "Bang Luthfi butuh apa lagi? Saya siapkan sekarang," ujar Martha begitu Luthfi menerima cangkir yang disodorkannya. Sebutan yang diberikan oleh Martha sejak Luthfi resmi menjadi seorang kakak laki-laki bagi adik perempuannya yang pertama. "Dani sudah bangun?" "Sudah. Saat ini dia sedang berenang." "Ya sudah kamu boleh pergi, Martha." "Sepertinya kondisi Bang Luthfi sedang tidak baik. Ada masalah?" Luthfi hanya tertawa sekilas ketika Martha bisa membaca pikirannya dengan begitu mudah. "Saya lelah. Butuh istirahat tapi bukan tidur." "Pergi liburan. Duit banyak untuk apa?" "Bukan liburan juga." "Lantas apa?" "Saya butuh seseorang." "Saya?" Luthfi kembali tertawa. Kali ini tawanya terdengar makin kencang. "Kamu terlalu tua untuk aku ajak liburan ke pantai dan mengenakan bikini, Martha." "Bang Luthfi meragukan Martha?" "Ach, sudahlah. Masih terlalu pagi untuk bercanda." "Memangnya Ana tidak suka pakai bikini? Ajak dia liburan ke pantai lalu suruh dia pakai bikini." Wajah Luthfi tiba-tiba muram. Dia melempar pandangannya ke arah kaca jendela yang mempertontonkan halaman belakang rumahnya yang begitu asri. "Sepertinya Bang Luthfi benar-benar kesepian dan bukan saya apalagi Ana yang sedang dibutuhkan saat ini. Lebih baik cari pendapat pada Pak Po saja, beliau lebih memahami kalau soal itu." Luthfi hanya mengangguk lalu Martha meninggalkan ruangannya. Sepeninggal Martha, Luthfi meraih ponsel yang ia bawa dari kamar tadi untuk menghubungi pengacara pribadinya yang bernama Pak Po. Obrolan melalui telepong itu berakhir dengan melakukan janji temu hari ini di kantor pengacara tersebut. Luthfi yakin Pak Po pasti mempunyai jalan keluar atas persoalan yang sedang mengganggu kenyamanan hatinya. *** *POV JINAN* Sudah dua minggu ini, aku bekerja di toko kue milik mamanya Dani. Aku tidak tahu akan mendapatkan gaji berapa bekerja di sini. Namun aku merasa pekerjaanku tidak ada habisnya. Padahal saat Tante Ana memberi pengarahan, begitu kami para karyawan di sini memanggilnya, pekerjaanku itu terasa begitu mudah. Hanya melayani pelanggan yang ingin membeli kue-kue yang dijual di toko ini, kemudian membungkusnya dengan rapi menggunakan kotak yang telah tersedia, lalu mempersilakan pelanggan tersebut untuk mengantre bayar di kasir. Sedangkan yang aku alami selama seminggu ini tidak seperti itu. Aku menyapu, mengepel dan mengelap etalase-etalase penyimpanan kue yang cukup besar selama dua kali dalam sehari. Jam kerjaku yang seharusnya enam jam sehari sesuai arahan Tante Ana, kurasakan lebih dari delapan jam sehari. Ditambah lagi ketika akhir pekan pertamaku menyambut. Aku bisa berdiri seharian dan membuat kakiku terasa bengkak ketika pulang kerja. Anehnya beban pekerjaanku bertambah hanya ketika Tante Ana sedang tidak berada di tokonya. Kebetulan beliau hanya datang sesekali untuk memeriksa pembukuan, dapur dan keadaan tokonya saja. Selebihnya beliau memercayakan toko ini sepenuhnya pada tangan kanannya. Kata karyawan yang lain, Tante Ana orang sibuk. Entah sibuk apa saja. Toko ini hanya merupakan selingan dan bentuk penyaluran kesukaan Tante Ana saja, yang menyukai aroma kue saat baru selesai dipanggang. Daniyal: sudah selesai? Hari ini aku menjemputmu Sebuah pesan masuk saat aku melepas apron dan mengganti pakaian kerjaku dengan pakaian saat datang tadi. Hari ini sangat melelahkan. Padahal bukan akhir pekan, tapi rasanya lelahku dua kali lipat dari hari-hari biasanya. Aku: iya makasih. aku tunggu di halte Daniyal: tunggu saja di toko mamaku. hujan loh Aku: lalu membiarkan diriku menjadi bahan gunjingan karyawan lain selama sepekan. makasih dah. aku mendingan hujan-hujanan di halte Daniyal: ya sudah terserah kamu saja Aku lalu bergegas keluar dari tempat ganti menuju ruang utama toko. Kemudian menemui mbak Ratih yang merupakan orang kepercayaan Tante Ana saat pemilik toko roti ini sedang tidak di tempat. "Jinan, hari ini kamu bisa double shift nggak? Putri nggak masuk." "Maaf mbak, sekarang saja aku sudah pulang lebih telat dari jam pulangku. Masa harus double shift lagi?" Begitu jawaban yang diajarkan oleh Irza ketika aku menceritakan bagaimana teman-teman kerjaku bersikap semena-mena. Irza bilang aku jangan mau ditindas. Harus bekerja sesuai arahan bos saja, bukan arahan karyawan lain. "Kamu berani bantah ya? Mau aku aduin Tante Ana kalau kerjaanmu nggak becus?" "Silakan aduin. Toh aku kerja dengan bener dan nggak yang aneh-aneh." "Oh..., mentang deket ama anak bos trus lo mau bertingkah? Udah ngasih service apa aja kamu buat anak si bos? Blowjob atau udah sampai tahap ngangkang?" celetuk salah satu karyawan lain bernama Mia membela mbak Ratih. Dia memang yang paling kelihatan tidak suka saat pertama kali aku bekerja di toko ini. "Kamu jangan sembarangan kalo ngomong. Punya bukti kalo aku seperti itu?" Aku tahu arti istilah yang diucapkan oleh Mia itu dari Irza. "Lo makin berani sekarang ya? Siapa yang ngajarin lo, hah?" Tiba-tiba saja sudah berada di hadapanku kemudian menarik rambutku yang sudah terikat rapi membentuk ekor kuda. Aku hanya bisa mengaduh sakit tanpa melakukan perlawan apa pun. Soal ini aku belum mendapatkan ilmu dari Irza. Dia hanya mengajariku cara menjawab. "Udah deh, Mia! Ya sudah kamu pulang saja Jinan, biar aku yang menggantikan shiftnya Putri hari ini," jawab mbak Ratih. Aku tahu dia pasti sedang berusaha mencari muka dan perhatian Tante Ana, dengan bersikap sebaik itu. Dasar muka dua. Mia melepas rambutku dengan kasar kemudian sedikit mendorong bahuku sebelum kembali pada pekerjaannya, sedangkan aku bergegas menuju halte tempat aku dan Dani janjian. Kejadian seperti tadi baru pertama kali. Biasanya Mia dan aku hanya terlibat adu mulut. Mia memang biasa melontarkan kata-kata kasar seperti tadi. Namun aku tidak terlalu mengambil hati setiap olokannya. Aku bekerja ya bekerja saja, tidak ingin mencari perkara dengan siapapun. Sayangnya, makin ke sini sikap Mia padaku makin ngelunjak. Namun aku tidak berani mengadukan soal ini pada Tante Ana. Yang ada aku akan dirundung oleh tujuh karyawan lain, yang aku yakini tidak ada satupun dari mereka yang menyukaiku. Aku belum mencari tahu apa alasan mereka bersikap buruk padaku, padahal aku sekalipun tidak pernah bersikap buruk pada salah satunya. Sebuah klakson mobil mengejutkanku saat duduk termenung di halte sore ini. Senyum Dani menyambutku saat kaca jendela mobil tersebut terbuka secara perlahan. "Ayo!" katanya, mengajakku masuk ke mobil mewah Dani. "Biasanya pakek motor," ujarku sesaat setelah Dani selesai memasangkan sabuk pengaman untukku. "Tadi dari rumah gerimis. Emang di sini nggak hujan?" Aku hanya menggeleng kemudian menyambut senyum bersahabat dari Dani. Ini bukan kali pertama Dani menjemputku. Dia sering menjemputku bahkan menungguku hingga jam kerjaku usai. Namun aku menolak jika dia hendak mengantarku bekerja. "Aku pengen tau tempat kosmu, Nan," ujar Dani saat mobilnya sudah melaju meninggalkan halte. "Tempat kosku jelek. Numpang lagi." "Masih belum sewa kamar sendiri?" "Belum gajian. Lagi pula aku orangnya penakut, nggak berani tidur sendirian. Waktu di desa aja kalau mau tidur aku dikeloni almarhum ibuku atau budeku." "Kamu tinggal sama aku aja gimana? Aku punya apartemen, tapi nggak aku tinggali karena aku juga kurang suka kesendirian." Aku tercengang dan memberanikan diri menatap iris mata Dani yang terlihat begitu indah. Warnanya kecoklatan, setingkat lebih terang dibanding warna coklat milik orang-orang pada umumnya. "Tinggal satu atap dengan lawan jenis yang bukan apa-apaku? Maksudku nggak punya ikatan apa pun denganku? Endak wes makasih." Dani tertawa mendengar jawabanku. "Kamu maunya yang ada ikatan dulu, baru mau tinggal satu atap? Kalau mulai sekarang aku menjadikan kamu pacar, apa kamu mau tinggal bersamaku? Pacaran juga sebuah bentuk ikatan, kan?" "Kamu jangan ngaco. Sudah nyetir yang bener. Nanti tabrakan, bahaya!" jawabku, menutupi jantungku yang tiba-tiba saja berdetak lebih cepat dari biasanya. Setelah itu kami tidak membahas lagi soal tinggal bersama. Dani juga tidak jadi mampir ke kosanku, karena ada kuliah dadakan katanya. Sebelum aku keluar dari mobilnya, Dani menarik lenganku kemudian mengecup salah satu pipiku. "Aku serius soal ingin mengajakmu tinggal bersama, Jinan. Tolong pikirkan soal itu," katanya sambil mengusap pipiku dengan lembut "Iya nanti aku pikirkan lagi. Kamu hati-hati ya," jawabku canggung, kali ini tak berani menatap Dani. Sesampainya di kosan, aku merasa ada yang aneh dengan kamar Irza. Tidak biasanya pintu dan jendela tertutup tapi sepatu Irza ada di depan pintu. Ditambah ada sandal lain bukan milik aku maupun Irza di samping rak sepatu. Sandal laki-laki. Menoleh kanan kiri, mendapati tidak ada siapapun di tempat ini selain aku, akhirnya aku memberanikan diri untuk mendekatkan telingaku di jendela kamar. Terdengar suara seperti orang sedang sesak napas dan suara laki-laki sedang mengerang. Ya Tuhan, apa yang sedang dilakukan oleh Irza di dalam sana? Aku memutuskan menunggu di depan kamar. Sesekali aku mendengar suara napas milik orang yang sedang berada di dalam kamar yang aku yakini Irza dan entah bersama siapa, saling berkejaran. Rasa-rasanya seperti mereka sedang berlari marathon dan kehabisan napas. Selain napas yang saling berkejaran aku juga mendengar seperti suara rintihan dan sedang mengerang. Limabelas menit berlalu, seorang laki-laki bertampang seram tanpa senyum membuka pintu kamar. Aku melihat dia sedang memasang kaitan sabuknya, kemudian memasang restleting celana jeansnya. Aku ketakutan saat dia terus menatapku ketika meninggalkan kamar. Detik berikutnya dia tersenyum tipis kemudian mengerlingkan sebelah matanya padaku. Aku beranjak dari dudukku, berlari kecil masuk ke kamar. "Laki-laki tadi siapa, Ir?" tanyaku begitu melewati pintu kamar. Irza tidak menjawab. Dia meraih dompetnya kemudian memasukkan beberapa lembar uang seratus ribuan yang tadi dipegangnya ke dalam dompet. Sebelum mengembalikan dompet tersebut ke dalam tasnya, Irza meraih satu lembar uang seratus ribuan, memberikannya padaku. "Apa ini, Ir?" "Duitlah, Jinan." "Ya tau duit. Tapi untuk apa kamu memberikannya padaku, Ir?" "Bagi-bagi rejeki sama temen sendiri nggak ada yang ngelarang kan, Jinan?" "Ini dari laki-laki tadi? Aku nggak mau." "Ya udah kalau nggak mau. Nolak rejeki itu dosa loh." "Jual diri jauh lebih dosa." "Halah! Jangan munafik lo, Nan. Tar kalo lo kepepet juga akan melakukan hal yang sama kayak gue sekarang. Lumayan sih hasilnya, beda tipis dengan hasil kerja banting tulang siang malam cuma dapat gaji nggak sampai UMR kota yang katanya paling besar di antara kota-kota lainnya." "Jangan ngawur kamu, Ir!" Irza hanya balas dengan tertawa kemudian meninggalkanku menuju kamar mandi ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD