"Reins, kau dimana?"
"Kanaya? kenapa kau menghubungiku menggunakan nomer Indonesia (+62)."
"Aku memang lagi di Indonesia,"
"Apa? kenapa kau tak mengabari ku, ayo bertemu,"
"Clarista meninggal Reins,"
"Apa!!"
Tut tut tut tut ...
"Kenapa b******n ini memutuskan teleponnya, Akh ..pasti dia akan langsung kemari,"
Kanaya menaruh ponselnya di atas nakas, ia yang masih berbaring di ranjang menutup kepalanya dengan bantal.
Kanaya merasa bosan, itulah penyebab ia menghubungi Reins Gantara, sahabatnya sejak kecil.
Pria tampan yang bekerja sebagai Pengacara itu memang selalu berada di samping Kanaya dalam kondisi apapun, Reins adalah putra seorang Hakim Konstitusi.
"Di bawah masih ramai, aku bingung harus melakukan apa," ujarnya pada diri sendiri.
Kanaya yang cuek bebek itu belum mengetahui rencana sang Kakek, Ibunya Camelia Taufan sedang berjuang mati-matian di bawah untuk mempertahankan kedamaian hidup Kanaya. Sedangkan Kanaya, gadis itu dengan santainya berbaring di atas ranjangnya sambil sesekali berguling-guling.
Kanaya melirik ke arah jam dinding, ia yakin sekali sebentar lagi Reins akan sampai dan langsung masuk ke kamarnya. Kanaya tidak mempermasalahkan hal itu karena baginya Reins adalah Sahabat terbaiknya meskipun Reins adalah seorang pria yang sudah dewasa.
Camelia sering memperingatkan Kanaya agar tak sembarang memakai pakaian saat bersama Reins di kamar, bagi Camelia, Reins adalah pria dewasa yang sudah berusia dua puluh lima tahun, pria seperti itu sedang dalam fase hot-hotnya. Namun Kanaya tidak pernah menggubris ucapan Mamanya. Seperti sekarang, Kanaya bahkan hanya menggunakan celana hotpants dan kaus oblong berukuran oversize dengan rambut di cepol.
Ceklek ...
Tanpa mengetuk pintu, Reins masuk begitu saja.
"Kanaaa-"
Panggilan khusus dari Reins, karena di rumah Kanaya lebih sering di panggil Naya oleh keluarganya.
"Reins, kau benar-benar datang,"
Kanaya berdiri, Kanaya yang memakai hotpants begitu pendek menunjukkan paha mulusnya.
Reins menegak salivanya sendiri.
Reins terpaku melihat kecantikan Kanaya, sudah setahun ia tak bertemu dengan Kanaya, dan baginya Kanaya semakin cantik.
"Woi!!! kok malah bengong," teriak Kanaya yang kini sudah menjewer Reins.
Reins yang sudah sadar langsung memeluk tubuh Kanaya.
"Aku merindukanmu Kana," bisiknya.
Kanaya tersenyum melihat tingkah laku Sahabatnya itu, ia membalas pelukan Reins dan merangkulnya dengan erat.
"Aku juga merindukanmu Pak Pengacara," bisiknya.
Setelah melepaskan pelukan, Reins menatap intens ke arah Kanaya.
"Bagaimana bisa Kana?"
"Apanya?"
Reins menepuk jidatnya.
"Kematian Clarista, apa yang membuatnya tiada?"
Kanaya mendesah pelan, Keluarga besar mereka memang berniat menyembunyikan penyebab kematian Clarista, mereka mengatakan kepada semua orang kalau Clarista meninggal karena sakit.
Tetapi bagi Kanaya, Reins bukanlah orang lain melainkan keluarga baginya, Kanaya tahu betul kalau Reins tidak akan mengatakan kepada siapapun penyebab Clarista meninggal dunia.
"Clarista, dia- dia bunuh diri Reins,"
"A-apa!!"
Saat memasuki rumah kediaman Taufan, Reins memang sempat melihat peti jenazah Clarista, namun ia tak melihat mayat Clarista secara langsung, Camelia memberi isyarat kepada Reins untuk langsung menemui Kanaya di kamar.
"Iya, tapi jangan beritahu siapapun, bilang saja Clarista sakit," lirihnya.
Kanaya berjalan gontai ke kasurnya, ia tampak sedih meskipun ia sendiri tak menyukai Clarista, bagaimanapun Clarista adalah satu-satunya Sepupunya. Kanaya tak memiliki saudara kandung, itu sebabnya meskipun sewaktu hidup Clarista yang tampak baik dan anggun itu selalu membully dirinya secara diam-diam, Kanaya tak pernah benci pada Clarista, ia hanya tak menyukainya.
"Bagaimana bisa Kana? bukankah Clarista memiliki hidup yang sempurna, dia selalu membangga-banggakan hidupnya yang sempurna kepada semua orang, bagaimana bisa manusia seperti itu mengakhiri hidupnya?"
Kanaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Apa yang dikatakan Reins benar, ia sendiri masih belum percaya kenapa Clarista mengakhiri hidupnya.
"Apa karena Clarista di jodohkan ya?" tanya Kanaya sambil memegangi dagunya sambil berpikir, gadis itu bahkan sudah tengkurap di ranjangnya, Reins mati-matian menahan rasa ingin meledak di dadanya melihat paha mulus Kanaya.
"Dijodohkan? bukankah Clarista memiliki pacar?"
"Apa? Pacar?"
"Iya, aku pernah melihat Clarista bersama pacarnya di Club langganan kita," kekeh Reins menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sebenarnya ia sedang berusaha menahan sesuatu yang bisa meledak kapan saja.
Reins menarik selimut lalu menutupi kaki Kanaya.
"Kenapa di tutup sih? aku kepanasan," ucap Kanaya menarik selimut dari kakinya.
Reins mendesah pelan.
"Eh, tadi kau bilang Clarista punya pacar?"
Reins menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, dia sendiri tidak begitu yakin tetapi- "Aku gak yakin sih, tapi aku melihat mereka berciuman di club langganan kita,"
Kanaya menepuk pundak Reins cukup keras "Kalau sudah ciuman pasti pacaran lah, mungkin saja karena itu Clarista mengakhiri hidupnya, dia mencintai pacarnya sedangkan Kakek memaksanya menikahi Cucu teman Kakek,"
Kanaya tampak terus berpikir sedangkan Reins hanya bisa mengelus-elus pundaknya yang di pukul oleh Kanaya.
"Aku sungguh gak menyangka Clarista mengakhiri hidupnya hanya karena pria," Kanaya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia masih belum percaya kalau wanita penuh percaya diri dan ambisi seperti Clarista dengan mudahnya mengakhiri hidup "Akh ...ntahlah aku pusing," pekiknya.
Reins mengelus-elus puncak kepala Kanaya "Sudahlah jangan dipikirkan lagi, Ooo yaa ...tadi aku lihat Tante Camelia seperti berdebat dengan Kakekmu dan dengan seorang pria tua di ruang tamu,"
"Biasalah paling juga membahas masalah Clarista, mungkin pria tua yang kau maksud itu adalah Kakek si calon suami Clarista,"
"Lah kenapa berdebatnya dengan Tante Camelia, kenapa bukan dengan Tante Eve ataupun Om Alex?"
"Tante Eve dan Om Alex kan lagi berduka, sudahlah aku gak mau ikut campur urusan orang tua, bikin pusing tau,"
Kanaya menutup matanya sambil merenggangkan otot-ototnya, sebenarnya ia memang merasa sangat lelah.
"Ayo ke Club?" ajak Reins.
Mendengar ajakan Reins seketika mata Kanaya terbuka lebar, ia bangkit lalu menjitak kepala Reins tanpa aba-aba.
"Kau gila! keluargaku lagi berduka, kenapa malah ngajak aku ke Club,"
"Ya sih, tapi bukannya kau juga gak melakukan apa-apa disini, toh Jenazah Clarista akan di kubur besok, jadi apa salahnya kita menenangkan pikiran sejenak,"
"Kau ini benar-benar pengaruh buruk untukku, tapi ada benarnya juga sih," kekeh Kanaya.
Reins memiringkan bibirnya "Dasar!"
"Tapi gimana caranya kita keluar dari sini?"
"Kau keluar dari pintu belakang, aku akan menunggumu di mobil, mobilku terparkir di depan, kau masih ingat mobilku kan?"
"Tentu saja aku ingat, kau lupa IQ ku setinggi apa," ledek Kanaya.
"Iya iya Nona Jenius,"
Reins pun keluar dari kamar Kanaya, pria itu memang sudah memakai pakaian santai, dan masih pantas di pakai ke Club. Sedangkan Kanaya, gadis itu mengganti pakaiannya dengan dress hitam selutut tanpa lengan, ia menyisir rambutnya rapi dan memoleskan lipstik berwana pink muda.
Sekarang saatnya Kanaya beraksi, ia mengendap-endap menuju dapur, syukurnya dapur sepi dan mudah saja bagi Kanaya keluar dari dapur.
"Akh ...akhirnya aku bisa keluar, Reins kau benar-benar b******n," kekehnya berjalan santai menuju mobil Reins.