Ethan berjalan santai bersama sang Kakek, Edward Hazardy.
Tak terlihat sedikitpun kesedihan yang di tunjukkan oleh Ethan.
Sang Kakek berulang kali menyenggol lengan cucunya yang dingin itu.
"Et, tolonglah tunjukkan raut wajah sedihmu, aku tahu kalian baru bertunangan sebulan, tapi setidaknya tunjukkan sedikit empati," bisik Edward.
Ethan hanya diam tak menunjukkan sikap yang di minta sang Kakek, Edward saja bisa meneteskan air matanya di depan Antonio Taufan.
"Aku turut berduka cita, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Edward kepada Antonio yang terlihat tak berdaya.
Pria tua itu terduduk lemas di sofa, Edward dan Ethan juga sudah duduk di sofa setelah melihat mayat Clarista di dalam peti jenazah.
"Aku tidak tahu Ed, aku merasa duniaku telah hancur, Cucu yang paling aku cintai telah tiada," tangisnya tak tertahan.
Edward memeluk tubuh Sahabatnya itu, ia dapat merasakan kesedihan Antonio.
Sedangkan Ethan, si pria dingin itu bahkan begitu santai tanpa ekspresi apapun, ia bahkan asyik mengotak-atik ponselnya.
Edward merasa sangat malu melihat tingkah laku cucunya itu, Ethan dan Clarista memang bertunangan karena di jodohkan, tapi apa salahnya Ethan menunjukkan kesedihan di hadapan keluarga besar Taufan.
Evelyn dan suaminya Alex Taufan baru keluar dari kamar, terlihat Alex yang lebih tegar memapah istrinya itu untuk menemui Ethan dan juga Edward.
Edward tampak menatap haru Evelyn yang pandangannya saja terlihat kosong.
"Kami turut berduka cita atas kepergian calon cucu menantuku," ucap Edward kepada Evelyn dan Alex.
Alex mengangguk sedangkan Evelyn menatap nanar ke arah Ethan yang tampak biasa-biasa saja. Pria tampan itu sama sekali tak menunjukkan rasa simpati, tak ada sedikit pun raut kesedihan yang ia tunjukkan, tentu saja hal itu membuat Evelyn jengah.
Karena kesal melihat sikap dingin Ethan, Evelyn berdiri dan tanpa sadar ia mengatakan sesuatu yang tak seharusnya ia katakan.
"Apa kau tidak sedih melihat kematian Putriku! atau jangan-jangan kaulah penyebab kematian Putriku!" ucap Evelyn ke arah Ethan.
Tentu saja hal itu membuat semuanya kaget, Antonio bahkan menatap tajam ke arah menantunya itu.
"Eve-lyn, tolong jangan berkata begitu, kau salah paham, cucuku tidak mungkin-"
"Cukup Tuan Edward, tidak usah membela Cucumu yang tidak punya hati ini, aku tahu dia tidak mencintai Putriku, tapi kenapa setelah mereka bertunangan, aku tidak pernah lagi melihat kebahagiaan di wajah Putriku, apa yang sebenarnya sudah kau lakukan pada Putriku!" teriak Evelyn ke arah Ethan.
Alex bahkan sudah memegangi istrinya itu, ia berusaha menenangkan istrinya yang sudah tersulut emosi.
"Alex! bawa Istrimu dari sini," bentak Antonio, ia sangat malu melihat kelakuan Evelyn yang tak berdasar sudah menuduh Ethan yang menjadi penyebab kematian Cucunya.
"I-ya Pa," Alex menarik tangan Evelyn.
Namun Evelyn malah memberontak membuat banyak mata menatap ke arah mereka, banyak tamu yang masih menetap di rumah besar Taufan.
Antonio semakin gerah melihat kelakuan menantunya itu, ia melotot tajam ke arah Evelyn.
"Eve, hentikan kemarahan mu! kau ingin menjadi pusat perhatian para tamu," bentak Antonio lagi.
Edward hanya bisa menundukkan kepala sambil memegangi kepalanya yang terasa mau pecah, sedangkan Ethan, pria itu bahkan masih santai memainkan ponsel.
Evelyn masih meronta-ronta karena tak ingin di bawa suaminya ke kamar.
Melihat hal itu membuat Ethan jengah.
"Kalau tidak ada yang ingin di bahas lagi, sebaiknya saya pergi," pungkasnya yang kini sudah berdiri.
Edward menarik tangan Ethan agar kembali duduk.
"Please! jangan buat Kakek malu," bisik Edward.
Evelyn semakin emosi melihat kelakuan acuh tak acuh calon menantunya itu.
"Kau benar-benar tidak punya hati! lihat mayat putriku masih terbujur kaku di sana, kau bahkan tidak menangis melihat mayatnya!" bentak Evelyn sambil menunjuk-nunjuk ke arah Ethan.
"Cukup Eve!" teriak Antonio.
Melihat kemarahan Papanya, membuat Alex ketakutan, ia menarik paksa istrinya itu agar masuk ke kamar mereka.
Evelyn yang menangis sambil meronta-ronta menjadi pusat perhatian semua orang yang masih berada di kediaman Taufan.
Antonio memegangi kepalanya, begitu juga Edward.
"Ada apa ini Pa?" tanya Camelia yang datang dari dapur.
Camelia duduk di samping Papanya.
Sebelumnya ia sudah tersenyum ke arah Edward, Edward membalas senyuman Camelia, sedangkan Ethan pria itu masih santai bermain ponsel membuat Camelia menggeleng-gelengkan kepala.
Camelia saja tidak respect melihat kelakuan Ethan.
"Biasalah, Evelyn terus menyalahkan Ethan atas kematian Clarista," ucap Antonio menghembuskan nafas dengan gusar.
"Aku benar-benar minta maaf, aku tidak menyangka hal seperti ini bisa terjadi, padahal aku sangat bahagia karena kita akan menjadi besan," ujar Edward menatap haru Antonio sahabatnya.
"Kenapa Kakek terus meminta maaf, ini bukan salah kita, aku bahkan tidak pernah benar-benar berbicara pada Clarista, ia pendiam dan jarang mau bicara denganku, mungkin saja gadis itu memang bermasalah dengan hidupnya," ujar Ethan tiba-tiba.
Antonio dan Camelia terbelalak kaget dengan pernyataan Ethan yang tiba-tiba, pria yang selalu diam dan terlihat dingin itu jarang bicara, namun sekalinya berbicara malah kalimat yang keluar terdengar tak bersahabat.
Edward semakin merasa bersalah, kalau saja saat ini tidak banyak orang di kediaman rumah Taufan, rasanya ia ingin memaki cucu kesayangannya itu.
"A-apa maksudmu Et?" tanya Antonio memastikan ucapan Ethan.
"Kakek seharusnya lebih tahu, kalian kan keluarganya, kenapa kalian tak mengetahui permasalahan putri kalian!" ujar Ethan santai.
Edward yang tak bisa lagi memaklumi kelakuan cucunya, memukul lengan Ethan dengan keras.
"Cukup Et!" bentak Edward menatap tajam ke arah cucunya itu.
Tetapi Ethan sama sekali tak merasa gentar, ia tak merasa bersalah atas kematian Clarista tapi kenapa Evelyn, Mama Clarista malah menyalahkan dirinya, ia mengerti bagaimana perasaan wanita paruh baya itu, itu sebabnya tadi ia tak mau membantah ucapan Evelyn.
"Apa yang dikatakan Ethan ada benarnya Pa," bisik Camelia.
Ethan tersenyum licik sambil menyilangkan kedua kakinya, ia mendengar apa yang di ucapkan oleh Camelia, Tante dari Clarista.
"Sebaiknya kita mencari tahu penyebab kematian Clarista, aku pun merasa tidak enak pada kedua orang tua Clarista," ujar Edward yang merasa serba salah.
"Kau benar Ed, aku sepemikiran denganmu," jawab Antonio.
"Ya Nio, aku akan selalu berada di sisimu meskipun kita tidak jadi besanan, kau tetap menjadi sahabat terbaikku," ucap Edward berusaha menenangkan sahabatnya itu.
Edward tahu betul, meskipun terlihat tenang sejujurnya Antonio pun merasakan kesedihan yang teramat dalam.
"Tidak Ed, kita akan tetap jadi besan."
"A-apa maksudmu Nio?"
"Aku masih memiliki cucu perempuan yang lain,"
Camelia langsung mendelik.
"Apa maksud Papa?" tanya Camelia yang sudah berdiri.
Ethan mendengus kesal, ia merasa Antonio tak pernah menyerah menjadikan dirinya menantu keluarga mereka.
"Argh ...keluarga Taufan b******k! keluarga ini benar-benar gila harta, mereka tidak sekalipun menyerah untuk membujuk Kakek agar wanita di keluarga mereka menjadi istriku!" batin Ethan yang sudah mengepalkan kedua tangan.