"Hmm." Morgan meraih ponsel sekretarisnya dan melihat pesan video dan rekaman dari suara Raya dengan tegas berbicara pada seseorang dan meyakinkannya.
"Apakah ini suara gadis itu?" tanya Morgan.
Mia sekretaris Morgan tertegun mendengar pertanyaan direkturnya. Bukan tentang kejujuran Raya, melainkan bertanya tentang suaranya.
"Iya, Tuan," angguk Mia.
"Ck, kenapa dia berbicara dengan tampang imut begitu?" gumam Morgan.
Mia semakin terkejut, dia juga mengangkat sebelah alisnya tidak percaya akan apa yang dia dengar dari direkturnya. Pria dengan tingkat acuh dan kejam di dunia bisnis, sekilas tersenyum tipis sembari mendengarkan rekaman di ponselnya.
"Apa kau berpikir untuk mengirimkannya?" tatapan tajam Morgan menekan Mia yang ketakutan mendapatinya.
"Saya akan menghapusnya Tuan," balas Mia.
"Kau cukup mengirimkannya padaku!" seru Morgan.
Mia tertegun, dia hanya menuruti apapun yang di katakan oleh atasannya setelah itu, dia benar-benar menghapus video dari Albert untuk menghindari kemungkinan besar amarah Morgan yang tidak bisa dia duga.
"Bisa mati aku, kalau mencoba untuk mengusiknya. Aku tidak tahu sejak kapan tuan muda begitu tak memperdulikan karyawan yang melanggar aturan tanpa hukuman?" gumam batin Mia.
Pertemuan bisnis Morgan berakhir dengan suasana hatinya yang membaik setelah dia melihat rekaman itu berulang kali.
"Apa sesuatu hal terjadi pada tuanmu?" bisik klien pada Mia.
Gadis dengan wajah datar seperti Mia, sama sekali tidak menanggapinya dan tetap berjalan pergi mengikuti tuan mudanya tanpa menoleh lagi.
"Ck, atasan dan bawahan yang serasi. Sama-sama dingin," gumam nya.
Duduk di kursi penumpang, Morgan masih saja fokus pada hal yang sama sekali tidak dia duga menyukai Raya yang saat itu terlihat tanpa bantuan alat make up seorang wanita. Morgan penasaran anak Raya yang ada di belakangnya, tidak nampak jelas wajahnya.
"Dia bahkan tidak mengizinkan orang lain mengenali anaknya, juga sebaliknya," gumam Morgan tersenyum melihat sembari menopang dagunya.
Layar ponsel dan juga memutar video itu, dia lakukan tanpa merasa bosan. Dia merasa cukup menyenangkan saat melihat dan mendengar ucapan lantang Raya, gadis keras kepala dan juga tidak perduli walau ada begitu banyak orang yang meragukan dirinya.
Meski Raya sudah mengakui dirinya memiliki seorang anak, tapi dia tidak merasa keberatan. Malah perasaannya jauh lebih baik setelah dia mengungkapkannya. Dia tahu, resiko besar jika ketahuan dia tidak jujur akan anaknya.
"Aku tahu, bicara atau tidak. Mereka hanya akan tahu apa yang mereka lihat," gumam Raya.
Raya yang sedang menarikan semua jari di atas keyboard dengan laptop menyala di malam hari. Dia berfokus akan pekerjaan sampingannya, bergantung menjadi seorang penulis adalah pilihan satu-satunya jika dia benar-benar harus berhenti dari kantor. Menjadi seorang penulis untuk di kenali pembaca, tidak mudah bagi dirinya. Hanya selama 2 tahun, karyanya baru dapat di kenali oleh banyak pembaca dan mendapatkan penghasilan.
Dia teramat bersyukur dapat menyambung hidup bersamaan dengan Princess yang tinggal dengannya. Baginya, selama ada ketekunan dan menghadapi banyak hal dengan yakin akan memetik hasil, kunci bagi dirinya dapat meraih kesuksesan. Di tengah-tengah Raya mengetik, dia terpikirkan tentang ucapan Nadira yang mengatakan jika dia memiliki hubungan khusus dengan direktur, padahal Raya sama sekali tidak merasa akan hal itu. Yang dia tahu, hanya pernah di tolong oleh Morgan satu kali dan itu hanya sebuah kebetulan saja.
"Apa mungkin tuan Morgan yang berada dari kalangan atas mau meluangkan waktu hanya untuk wanita biasa sepertiku? Aku rasa itu tidak mungkin," gumam Raya.
Namun, saat dia terpikirkan akan Morgan, ide untuk menuliskan tentang seorang pria tampan, dingin dan berkharisma. Raya hanya terpikirkan tentang tuan Morgan atasannya. Memikirkan dan menguraikannya di naskah yang dia buat, membuat Raya menahan tawa di malam hari.
Seperti biasa, pagi sekali setelah dia tidur selama 5 jam berbagi waktu untuk pekerjaan sampingannya juga. Raya kini sudah bersiap dengan sarapan dan juga berniat untuk pergi ke perusahaan setelah dia izin selama 2 hari tidak berangkat ke kantor. Dia melihat Princess yang sudah duduk di kursi makan dengan rapih. Tersenyum dan mencium pipinya seperti yang biasa dia lakukan.
"Makan dengan baik, Sayang. Waktu aku menemanimu 2 hari sudah habis, dan aku harus kembali bekerja," ucap Raya.
Meski dia tidak mendapati tanggapan dari gadis itu. Tapi baginya, selama Princess baik-baik saja, itu adalah hal yang sangat dia syukuri. Di tengah-tengah mereka yang sedang sarapan, ketukan di balik pintu membuat Raya menghentikan aktivitas makannya dan berdiri pergi membuka pintu.
"Kau sudah datang?" tanya Raya tersenyum tipis menyambut kedatangan Dina, gadis yang bertugas menjaga anak-anak panti dengan baik.
"Ya, aku datang saat kau memintanya," angguk Dina.
"Hmm, terimakasih," ucap Raya.
"Selama ini aku selalu menawarkan diri, tapi kau tetap bersikeras membuatnya hanya diam di rumah saja," gerutu Dina berjalan memasuki rumah dan ikut serta sarapan dengan mereka.
"Aku hanya tidak percaya dengan kedua gadis yang tinggal di panti saja," ucap Raya.
"Lebih banyak orang waras sepertiku disini di banding mereka yang hanya 2 orang saja!" tegas Dina.
"Ya, aku harap seperti itu," angguk Raya.
"Dia masih diam?" tanya Dina.
"Hmm," balas Raya sembari menyuapkan makanan pada Princess.
"Ibu!" Princess memeluk Raya dan tidak mau di tinggal bersama Dina, orang panti.
"Sayang, kau harus tahu apapun mengikuti perkataan Kak Dina!" seru Raya meyakinkan Princess.
"Dia memanggilmu ibu lagi?" tanya Dina.
"Hmm, hanya itu yang dia katakan," angguk Raya.
"Manis sekali jika dia benar putrimu," ucap Dina.
"Dia memang anakku," balas Raya.
"Ya, aku tahu. Lalu jika kau memiliki seorang putri mana ayahnya?" tanya Dina.
"Ck, kau bahkan tahu bagaimana aku tumbuh besar," cetus Raya.
"Hahaha, jika semua anak di jalanan kau pungut dan jadikan anak. Apa kau juga akan buat sebuah panti besar dan mereka akan memanggilmu ibu?" tawa Dina.
"Jika itu harus, aku tidak keberatan ada banyak Princess memanggilku ibu," tegas Raya.
"Ya ya, sudah ku duga. Bukankah kau harus bekerja? Pergilah, jangan lupa kunci pintu rumahmu! Aku rasa, kejadian kemarin tidak sederhana," ucap Dina.
"Ya, sepertinya begitu. Aku percayakan anakku padamu. Sayang? Kamu hanya cukup mengikutinya dan melakukan banyak hal yang kau mau. Aku akan segera pulang setelah dari kantor." Raya menegaskan Dina dan juga Princeess selama dia pergi bekerja.
Meski Raya tahu jika Princess akan kesulitan selama tinggal di luar rumah dan bersama dengan anak panti lainnya. Tapi dia tidak ingin sesuatu hal buruk jaug lebih terjadi jika gadis kecilnya itu hanya tinggal di dalam rumah seorang diri saja. Apalagi sempat kejadian seperti kemarin, membuatnya menyesali membiarkan Princess seorang diri mengalami hal yang bahkan tidak bisa dia katakan pada siapapun.
Perasaan khawatir Raya, jika hal itu terulang lagi. Dimana kejadian mengerikan yang di alami oleh gadis kecil seperti Princess, tidak akan sanggup dia lihat kembali jika gadis kecilnya kembali ke rumah sakit dengan alat bantu dan tidak sadarkan diri di rumah sakit mengalami trauma berat dalam kehidupannya.
"Aku tidak akan membiarkan siapapun mencoba untuk menyakitimu lagi, sayang," gumam Raya.
Seperti biasa, Raya duduk di kursi halte bus di pagi hari untuk pergi ke perusahaan dengan orang-orang sibuk pergi kerja lainnya.
Dia mengangkat sebelah alisnya saat melihat sebuah mobil mewah yang sangat jarang dia lihat berhenti tepat di hadapannya. Perasaan canggung dia rasakan saat semua orang melihat ke arahnya dan terpikirkan hal lain tentang Raya yang di jemput mobil mewah dengan segala ansumsi lain dari orang yang melihatnya.
"Kenapa aku merasa tidak asing dengan mobil ini?" gumam Raya, dia sama sekali tidak bisa melihat siapa di dalam mobil dengan kaca yang tidak tembus pandang dari luar.
"Gadis ini bahkan mengacuhkanku," gerutu Morgan, saat melihhat Raya masih duduk dan mengalihkan pandangan darinya.
Morgan mencoba untuk menurunkan kaca mobil menatap tajam ke arah Raya.
"Hah?" Raya tertegun saat sekilas melihat seseorang yang dia kenal berada di balik kemudi menatap tajam ke arahnya.
Morgan mengajak Raya dengan isyarat ajakannya membuat Raya tidak memahaminya.
"Apakah semua orang begitu kesulitan bicara seperti Princess?" gumam Raya.
Semakin Raya membiarkannya, semakin Morgan menatapnya dengan tajam.
"Ck, pria dingin ini. Apa sulitnya dia bicara," gerutu Raya, dia terpaksa bangun dari duduknya dan menghampiri Morgan dan menundukan tubuhnya untuk bertanya pada Morgan.
Namun, pintu mobil terbuka saat Raya menghampirinya. Perasaan canggung dia rasakan kali ini saat dia mendapati pintu terbuka dan menyadari pandangan orang lain terhadapnya.
"Apakah semua orang akan terus berpikir sesuka hati mereka?" gumam batin Raya, dia terpaksa masuk dan sudah duduk di kursi depan bersampingan dengan Morgan kali ini.
Pintu kaca mobil tertutup setelah Raya benar-benar duduk di samping pria tanpa kata di hadapannya. Raya masih tidak memahami apa maksud Morgan memintanya masuk dan duduk di sampingnya kali ini. Tapi dia sama sekali tidak menjalankan mobilnya meski Raya sudah siap dengan dirinya duduk di kursi mobil.
"Apa yang sedang di pikirkan pria ini?" batin Raya. Dia tidak tahu harus bertanya hal apa dan mengatakan apa.
"Pak, Anda ...."
"Duduk dengan benar!" tegas Morgan menyela ucapan Raya. Gadis itu hanya mengangguk menanggapi ucapan Morgan.
Tapi mobil masih belum melaju meski Raya sudah mengangguk akan penegasan Morgan. Raya mengerutkan dahinya saat mendapati Morgan kembali menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa di artikan oleh gadis yang tak berpengalaman menghadapi pria dingin dan acuh seperti Morgan.
"Apa yang akan dia lakukan?" batin Raya saat mendapati Morgan mendekat ke arahnya.
Raya mengerutkan tubuhnya dan menutup mata saat Morgan mencoba untuk mengenakan sabuk pengaman milik Raya dengan benar. Gadis itu terkejut saat membuka mata, tidak ada hal yang terjadi selain dia sudah mendapati Morgan memakaikan sabuk pengaman untuknya.
"Ck, pikiranku kotor sekali," gerutu batin Raya menyesali cara pikirnya.
"Duduk dengan benar!" tegas Morgan.
Setelah mengatakannya, kali ini. Mobil melaju dengan kecepatan sedang membuat Raya menghela nafas lega. Dia tidak memungkiri pikirannya sendiri dan tersenyum tertahan akan apa yang dia lakukan.