‘Lupakan soal mencari jodoh yang baik. Melainkan, jadilah orang baik, maka akan bertemu dengan sendirinya, jodoh yang baik.’ -Tere liye
London, Inggris 4 April 2018
Suara ingar-bingar menyambut saat Ezra memasuki sebuah kelab yang berada di kawasan kota London, Ministry of sound. Kelab yang selalu ramai, terutama saat weekend, banyak orang sepertinya mengunjungi tempat hiburan ini untuk menghilangkan penat setelah bekerja.
Pandangan Ezra menyisir ke segala penjuru, mencari sahabatnya yang sudah berada di tempat ini sejak satu jam sebelumnya. Berkumul di tempat ini sekali dalam satu mingguu memang sudah menjadi kegiatan rutin mereka. Sebenarnya Ezra tidak begitu menyukai tempat yang berisik seperti ini, tetapi dia tidak ada pilihan lain. Kedua sahabatnya itu begitu menikmati suasana kelab. Hanya di tempat ini mereka bisa melepaskan sejenak kepenatan hidup dengan maenikmati musik, minuman keras dan tentu saja wanita.
“Ezra!”
Suara sayup itu membuat Ezra semakin mengedarkan pandangan, lalu melihat seorang laki-laki berwajah timur tengah melambaikan tangannya dari kejauhan. Ezra segera berjalan menuju tempat laki-laki itu berada.
“Hi, how are you?” Seorang lelaki berwajah asia menyapanya.
Jeffold dan Adlan, kedua sahabat karibnya saat berkuliah di Oxford.
“Fine.” Jawab Ezra menanggapi Adlan, lalu duduk di sebelah Jeff. Laki-laki berkulit putih yang menjadi sekretarisnya selama ia bekerja menjadi general manajer di perusahaan keluarganya.
Ezra merekrut Jeff ketika selesai kuliah, laki-laki itu mau saja karena mengetahui Ezra adalah orang yang cukup baik.
“Mau minum apa?” Tanya Adlan. Seorang waitress yang ia panggil sudah berada di depan meja mereka.
Jeffold dan Adlan yang ternyata sudah memesan menambah pesanan mereka, minuman dan cemilan untuk mengobrol. Musik kelab semakin berdentum keras. Pada saat yang sama, sebuah panggilan masuk ke ponselnya itu adalah ayahnya, Ezra keluar dari klub sebentar untuk berbicara lalu kembali ke dalam setelah selesai menelpon.
Saat Ezra kembali waitress itu masih berada di depan meja mereka.
“Aku pesan martini bawa minuman itu satu gelas setiap setengah jam.” Ucap Ezra yang langsung di catat oleh waitress itu.
Di antara cahaya remang-remang, Ezra dapat merasakan jika mata waitress terbelalak karena pesanan Ezra. Martini termasuk minuman keras dengan kandungan alkohol cukup tinggi dan pria itu memintanya membawa minuman itu setiap setengah jam. Pria gila!
“Wah, kau masih tidak berubah. Masih sanggup minum alkohol sebanyak itu?” Tanya Adlan refleks.
Ia sudah tahu sahabatnya itu memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap alkohol tetapi masih saja terkejut karena pilihan minuman yang ia pilih.
“Kau taulah, pekerjaanku sangat berat akhir-akhir ini. Aku butuh yang bisa membuat kepalaku ringan.” Ucap Ezra pelan.
Wanita itu membacakan ulang pesanan mereka, suaranya masih cukup jelas walaupun di antara musik yang berdentum sangat keras. Setelah semua benar, ia beranjak menuju meja bartender untuk meracik minuman mereka.
“Tadi, kenapa?” Tanya Jeff.
Ezra mengerutkan kening, lalu mengerti arah pembacaan Jeff. “Ada urusan sedikit. Ada berkas yang harus kutandatangai saat ini juga tapi sudah di wakili sama Direktur Utama.”
Jeff menganggukkan kepala, Direktur Utama yang disebut Ezra adalah ayah pria itu sendiri, karena Ezra tidak ada di tempat maka semua akan dialihkan kepada Ayahnya padahal jabatan Ezra hanya general manajer tapi karena itu perusahan turun-temurun keluarganya maka mudah saja di atur.
Mereka menyewa ruangan VIP untuk berbincang-bincang, mereka di kelab itu sampai dini hari. Lalu memutuskan untuk berpisah setelah mendapat mangsa masing-masing.
Sementara itu dia menyewa kamar VIP yang berada di kelab ini, ia membawa seorang wanita yang cukup cantik ke dalam kamar. Wanita itu sudah setengah mabuk, dilehernya banyak bercak kemerahan akibat ulah Ezra.
Suara mendesah keluar dari bibir wanita itu, terdengar sangat seksi di telinga Ezra. Membuat pria itu semakin bersemangat untuk menggoda area sensitif lain yang dimiliki wanita yang sudah terlentang di atas ranjang.
Wanita itu melepaskan sendiri pakaiannya ketika Ezra melepaskan kancing bajunya. Ezra tertawa licik lalu segera menanggalkan semua pakaian yang melekat ditubuhnya.
“Ahh.”
Wanita itu mencengkram sprai kuat-kuat ketika Ezra masuk ke dalam dirinya. Sementara Ezra menunduk untuk mencium bibir wanita itu, menyapunya pelan hingga melumat bibir penuh wanita itu dengan panas.
Kamar itu dipenuhi dengan suara desahan baik oleh Ezra maupun wanita yang sedang bersamanya. Mereka berkali-kali mendapat pelepasan, malam itu mereka lalui dengan cukup panas hingga Ezra mencabut miliknya lalu melepaskan k****m ke sekian yang ia pakai malam itu lalu membuangnya ke tempat sampah.
Ezra memakai kembali pakaiannya setelah membersihkan diri, ia mengeluarkan beberapa cek berisi nominal angka lalu pergi meninggalkan wanita yang terbaring kelelahan di atas tempat tidur.
....
Ezra duduk di kursi kantornya, memeriksa beberapa laporan dari departemwn keuangan, pemasaran, penyediaan barang dan penjualan. Pria itu memeriksa laporan dengan sangat teliti dan ketika tidak menemukan sesuatu yang janggal Ezra menandatangani laporan bulanan itu.
Ezra memijit tengkuknya pelan, merasa jika bagian belakang lehernya sangat pegal. Ia menghentikan aktifitasnya ketika mendengar ketukan pintu. Jeff masuk dengan membawa pelastik putih, menaruhnya di meja kerja Ezra.
“Apa ini?” tanya Ezra.
“Sup hangat dari tante Dewi. Katanya kau tidak pulang semalam, jadi saat berpapasan denganku tadi, ia menitipkan ini.” Jawab Jeff sembari melihat Ipadnya.
Ezra membuka plastik itu, membuka mangkok pelastik lalu memakan sup hangat itu. Ia menunggu Jeff untuk melaporkan apa jadwal hari ini, sementara pria itu menghabiskan supnya.
Ezra harus berterimakasih kepada mamanya, wanita yang melahirkannya itu pasti tahu dia tidak pulang semalam dan karena apa yang ia lakukan jika tidak pualgnke rumah sudah menjadi rahasia umum dikeluarganya, maka pasti mamanya akan membawakan sup untuk meredakan sakit kepalanya karena meminum alkohol begitu banyak semalam.
Ezra meminum air mineral yang juga tersedia di dalam kantong plastik itu.
“Apa jadwal kita hari ini?” tanya Ezra ketika meletakkan air mineral di mejanya.
Jeff menatap Ezra lalu kembali melihat Ipadnya yang berisi jadwal mereka hari ini.
“Hari ini hanya ada rapat dengan Direktur Utama serta beberapa pemegang saham terkait kerja sama dengan infestor pukul sepuluh siang.” Jawab Jeff.
Ezra mengangguk pelan, “Ada lagi?”
“Jika kau sudah menandatangani laporan bulanan, maka kau hanya memiliki satu jadwal untuk dilakukan hari ini.”
“Besok?” tanya Ezra.
Jeff menggeleng, “…karena kau sudah meminta agar mengosongkan jadwalmu, rapat nanti akan menjadi jadwal terakhirmu menjadi general manajer.”
“Baguslah, aku memiliki waktu untuk bersiap-siap.” Ezra berkata pelan lalu beranjak dari kursi berjalan menuju jendela.
Ezra memandang jalan raya yang dipadati dengan kendaraan, pikirannya menerawang saat ia meminta ijin kepada ayahnya untuk mengundurkan diri sebagai general manager.
“Kenapa? Apa pekerjaan menjadi general manager terlalu membosankan untukmu?” tanya Robert, Ayah Ezra.
Pria paruh baya itu menatap anaknya dengan tatapan bingung. Ia kaget ketika Ezra datang ke kantornya dan mengatakan ingin berhenti bekerja. Ezra diam, tidak berkata apapun.
“Atau kau mau menjadi pimpinan di cabang perusahaan? Aku akan memindahkanmu ke sana!”
Ezra menggeleng, bukan itu tujuannya untuk mengundurkan diri.
“Lalu apa yang kau inginkan, Nak?” tanya Ayah Erza, suaranya kini melembut.
Ezra termenung lalu menatap Ayahnya, “Aku hanya ingin mencari dunia baru.”
Robert menangkap keraguan dari suara Ezra tetapi ia dapat melihat tekad dari anaknya itu. “Sebenarnya apa lagi yang kau cari, Nak? Bukankah karirmu sudah sangat sukses? Posisimu sekarang bukan hal mudah yang dapat dicapai oleh pria yang berumur di bawah 30 tahun.”
“Aku tahu, Yah.”
“Lalu kenapa kau ingin mengundurkan diri? Apa kau sudah berniat untuk menggantikan posisiku?” tanya Robert.
Ezra menggeleng tegas, ia belum memiliki pikiran untuk memimpin perusahaan. Lagipula Ayahnya masih sangat mampu memimpin perusahaan dengan bantuan dari Ibu dan Kakekknya yang masih mendukung mereka.
“I just want holiday.” Jawab Ezra.
Robert menaikkan satu alisnya, “Lalu kenapa mengundurkan diri dari perusahaan?”
Ezra tidak bisa menjawab.
“Atau begini saja, kau bisa mengundurkan diri dari perusaan dengan catatan. Jika kau berlibur atau entah apalah yang kau inginkan itu sebenarnya, kau harus memeriksa cabang perusaan kita yang berada di negara yang sedang kau kunjungi, setuju?” tawar Robert.
Ezra mengiyakannya dalam waktu singkat, memang dia juga berencana akan keliling dunia dan saran dari ayahnya juga tidak buruk.
“Kalau begitu, kau tinggal mencarikanku general manager yang dapat kupercaya untuk memegang jabatan itu selama kau pergi.”
Itulah pesan dari Ayahnya sebelum ia keluar dari ruangan pemimpin perusahaan itu. Ezra masih belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya. Tetapi, sekarang ia sudah menemukan satu orang yang sangat berpotensi untuk mengambil posisi itu.
“Lalu kau sudah menemukan orang yang bisa meggantikan posisimu?” tanya Jeff.
Ezra mengangguk, “Aku sudah mempertimbangkannya dengan matang-matang, laporannya sudah ada di atas mejaku. Setelah pertemuan selesai, kau harus memberikannya kepada Direktur Utama.”
“Baiklah.”
Jeff melangkah pergi dari ruangan Ezra, meninggalkan pria itu sendiri di dalam ruangannya. Tujuan Ezra ketika mengundurkan diri memang ingin keliling negara, selain itu ia ingin melihat dunia baru yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ezra sudah bosan hidup monoton dengan melakukan aktifitas yang sama setiap hari.
….
Keesokan harinya ketika Ezra sedang bersantai dirumahnya, ia dikejutkan dengan kedatangan Jeffold. Pria itu datang dengan wajah memerah, dengan dasi yang sudah dilonggarkan dan kancing kemejanya yang sudah terlepas membuat Ezra kaget bukan main.
“Apa maksudmu, hah?” tanya Jeff. “Ezra! Kenapa kau memberikanku posisi ini?”
Ezra menepuk pundak Jeff, menyuruh pria itu duduk. “Terima saja, Jeff. Itu adalah keputusan perusahaan.”
“Iya! Tapi itu semua atas saran darimu yang tentu saja akan dilakukan oleh manager HRD!” ucap Jeff berapi-api.
Ezra menghembuskan napas pelan, inilah salah satu yang disukai Ezra dari sahabatnya, tidak gila jabatan bahkan jabatan sekretaris sudah dinilai sangat cukup baginya. Ezra menjelaskan keapda Jeff tentang keputusannya, setelah lama berdebat Jeff akhirnya menerima posisi itu.
“Kapan kau akan berangkat?” tanya Jeff.
“Satu minggu lagi, aku harus menyelesaikan berkas-berkas untuk mengurus visa, hotel dan juga kendaraan.” Jawab Ezra.
Jeff mengamati pria itu, menatap sahabatnya dengan pandangan tak terbaca. “Kau sudah yakin ingin melakukannya? Maksudku, kau menyia-nyiakan karirmu yang sudah sangat bagus dan memilih untuk menjadi pengangguran dan keliling dunia tanpa tujuan seperti itu?”
“Aku bukan tidak punya tujuan, Jeff. Aku ingin mencari sesuatu yang baru, mungkin kau tidak mengerti tetapi aku merasa ada sesuatu yang kosong di dalam diriku, entah apa dan aku ingin menemukan apa yang membuatku merasa seperti ini. Aku sudah mencoba semuanya, bersenang-senang, bermain dengan wanita, tapi rasa kekosongan itu masih ada malah semakin besar.” Terang Ezra.
Jeff memang tidak terlalu paham apa yang dikatakan sahabatnya itu, ia sangat tidak mengerti jalan pikiran Ezra padahal ia sudah memiliki semua yang diinginkan mayoritas pria di bumi. Setelah berbincang sebentar dan berjanji akan mengantarnya ke bandara, Jeff pamit untuk ke kantor.
Sementara Ezra masuk ke kamarnya lalau berjalan menuju ruang kerja yang juga berada di dalam kamarnya. Ia akan melengkapi tujuan tempatnya akan pergi berkeliling dunia, Ezra sudah memilih beberapa negara di Eropa dan juga Amerika, ia memutuskan menambah Korea Selatan dan juga Indonesia.
Ezra juga sudah mempersiapkan visanya yang sudah ia urus jauh-jauh hari. Ketika ia sedang memperhatikan layar komputer, Ezra dikejutkan dengan kedatangan ibunya, wanita paruh baya itu membuka pintu ruang kerjanya lalu masuk ke dalam.
“Za, kamu sudah pilih negara mana yang kamu tuju?” tanya Elina, ibu Ezra.
Za adalah panggilan kecil dari keluarga Ezra, Mamanya memanggilnya seperti itu agar lebih mudah disebut.
Ezra mengangguk, “Sudah, Ma. Aku mungkin juga akan ke Indonesia.”
Mata Elina membulat bahagia, “Benarkah. Wah, sudah lama Mama tidak ke sana.” Ucapnya dengan Bahasa Indonesia yang sangat lancar.
Ezra terkekeh, lalu membalasnya dengan Bahasa yang sama. “Lain kali kita jalan-jalan bareng di negara kelahiran Mama.”
Elina tersenyum lembut, mendengar pelafalan Bahasa Indoensia Ezra yang cukup fasih. Ezra diajarkan Bahasa ini sejak lahir dan sekarang ia sangat fasih karena selalu berbahasa Indonesia saat berbicara dengan Elina, Ibunya.
“Kalau sempat, kau bisa berkunjung ke Makassar, Za. Mama berasal dari sana,” ucap Elina dengan pandangan menerawang. “…jadi ingat pesan kakekmu yang setiap tahun ingin agar kita ke sana, lisuni mai mattana ogi,ana’ (Kembalilah, ke sini ke tanah bugis, nak).”
Ezra mengerutkan kening, ini salah satu Bahasa yang dipakai ibunya ketika sedang melakukan panggilan video dengan keluarganya yang berada di Indonesia, ia tidak tahu artinya dan pelafalannya agak aneh, Mamanya berkata itu salah satu Bahasa suku Bugis.
“Iya, Ma. Nanti kalau Ezra sempat, atau kita semua ke sana liburan saat Ayah tidak terlalu sibuk.” Ucap Ezra.
Elina mengangguk pelan, ia sudah hampir 15 tahun tidak pernah kembali ke kampung halamannya. Ezra menatap Mamanya dengan pandangan hangat.
“Za, kalau nanti sudah berangkat. Harus hati-hati karena kau berada di negara orang dan harus menjaga sikap agar kau tidak terkena masalah disana. Bisa-bisa kau ditarik pulang oleh Ayahmu.” Elina berkata pelan, mengelus kepala Ezra.
“Iya, Ma. Aku akan berhati-hati, lagipula aku ke sana bukan untuk mencari masalah.” Balas Ezra .
Elina mencubit pelan hidung Ezra, “Ya, siapa tahu kau terkena sial. Apa saja bisa terjadi. Pokoknya harus berhati-hati, walaupun kau anak laki-laki harus tetap menjaga diri dan satu lagi,” Elina menatap kedua mata anaknya lekat. “…jangan menghamili anak orang!”
Ezra tersedak ludahnya sendiri lalu menatap kaget Ibunya yang kini masih menatapnya. Apakah Ibunya itu tahu kelakuannya selama ini?
“Iya, Mama tahu apa yang kau lakukan, Za! Jangan kira Mama diam karena tidak mengawasimu, kau sudah dewasa karena itu Mama membiarkanmu mengambil keputusan apapun yang kau mau karena kau yang akan betanggung jawab atas semua yang kau lakukan. Right?”
Ezra mengangguk pelan, agak merasa malu karena ternyata selama ini perbuatannya diketahui oleh Elina.
“Sudah larut malam, sebaiknya kau tidur. Aku akan menjemput Ayahmu, suara mobilnya sudah terdengar.” Ucap Elina lalu keluar dari ruangan Ezra.
Ezra mengikuti perintah Elina, ia membersihkan diri lalu berbaring di atas tempat tidur. Di ambang kesadarannya, Ezra berharap keputusan yang ia ambil ini akan membuahkan hasil yang ia inginkan.