Masa Iddah

1277 Words
Tuduhan di Malam Pertama Bab 7 : Masa Iddah “Mas Yuta!” gumamku saat melihat pria yang menuduhku hamil setelah menggauliku itu. “Siapa, Dek?” Kak Zaki menoleh ke arah tatapanku. Air mata yang sudah mengering tadi mendadak berjatuhan lagi saat melihat mantan suamiku itu bersama wanita lain sedang bersantai di kafe pinggir pantai, walau saat ini mereka terlihat sedang bertengkar. Apa wanita itu pacar barunya? Aku mendadak pilu dan menyesali tragedi hamil anak setan ini. “Ayo pulang ah!” Kak Zaki kembali menggandeng tanganku menuju mobil kami. “Mas Yuta sama siapa itu, Kak? Siapa wanita itu? Apa dia sudah menemukan penggantiku?” Air mata semakin deras saja. “Biar saja, kamu tak perlu memikirkan dia lagi. Ayo kita pulang!” Kak Zaki menarik tanganku untuk masuk ke dalam mobilnya. Kak Zaki mulai menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mas Yuta, aku memang tak perlu memikirkan dia lagi, hidupku tetap akan berlanjut walau tanpa dia. Dia, pria yang telah mencampakkanku, dia tak menginginkan aku lagi jadi tak perlu aku terus mengemis padanya. Kutarik napas panjang dan berusaha menguasai diri agar bisa berpikir dengan jernih dan melupakan sejenak semua permasalahan yang telah membuat heboh dua keluarga ini. “Kak, ponselku ketinggalan di Pondok tadi deh .... “ Aku baru teringat akan benda pipih itu. Kak Zaki langsung putar arah ke Pondok tadi. “Kamu tunggu di sini saja, biar Kak Zaki yang ambil!” ujarnya saat mobil kami sudah kembali ke tempat parkir yang tadi. Aku mengangguk. Kak Zaki langsung turun dari mobil dan berlari menuju kafe atas pantai yang menyediakan sepuluh pondok yang masing-masing berjejer lima itu. Tempat kami menikmati enaknya kerang bakar tadi. Cukup lama aku menunggu, tapi Kak Zaki belum kembali juga. Ke mana dia? Kalau ponselnya udah nggak ada, ya nggak apa-apa juga. Nanti bisa beli yang baru kok. ‘Brakk’ “Maaf, Dek, Kak Zaki agak lama. Ini ponselmu,” ujarnya saat masuk kembali ke dalam mobil. Kulihat wajahnya terlihat lebam-lebam, kenapa dia? Apa duel dulu ama pemilik kafe itu baru bisa ambil ponselku? “Kak Zaki kenapa?” tanyaku sambil memegang wajahnya yang lebam, bibir yang berdarah juga ujung mata yang terluka. “Jatuh,” lirihnya. “Masa? Jatuh apa berantem sama orang?” tanyaku tak percaya. “Kak Zaki nggak apa-apa, Dek, kamu tenang aja! Besok juga sembuh kok kalau udah dibawa tidur,” jawabnya sambil tersenyum saat melihat ekspresi kekhawatiran di wajahku. Aku melepaskan tangan dari wajahnya dan menyibukkan diri dengan ponselku sambil bermain game yang baru kudownload saat di kafe tadi. Aku akan tersenyum puas saat bisa memenangkan pertarungan dan membuat lawanku mati. Hah, sebentar lagi juga akan kupraktekkan kematian itu kepada bayi tanpa ayah ini. *** Hari berjalan begitu lambat, apalagi setiap malam mataku tak mau terlelap. Aku jadi takut untuk tidur, karena takut si pemilik janin ini akan kembali melakukan aksinya lagi. Aku akan terjaga sepanjang malam, agar tak ada yang berani macam-macam denganku. Begitu saja pikiranku sepanjang malam, bolak-balik hanya itu yang ada di benak ini, berulang dan berulang lagi hingga masuknya cahaya matahari dari celah jendela yang menandakan hari sudah siang. Aku beranjak dari lantai kamar, sebab akhir-akhir ini aku tak suka tidur di ranjang. Aku benci ranjang, sebab dia ikut menuduhku tak perawan pada malam pertamaku bersama Mas Yuta. Andai ia membelaku, mungkin aku akan menjadi istri paling beruntung, membina rumah bersama seorang dokter kandungan yang amat pintar, yang baru tahu ketakperawanan juga kehamilan ini setelah menggauliku. Kalau dia memang tahu aku hamil, mengapa masih saja meniduriku, lalu menuduhku setelah itu? Dasar dokter konyol! Aku benci dia. Aku keluar dari kamar dan melangkah menuju tangga. Mengapa aku harus menuruni anak tangga ini satu persatu? Mengapa aku tak langsung melompat saja biar cepat sampai di bawah sana? Perutku ini sudah semakin membuncit, aku mulai susah menuruni tangga ini kalau harus melangkahinya satu persatu. Satu, dua, tiga ... aku akan bermain lompat-lompatan. Aku tertawa senang saat sudah mulai melompat tinggi. “Dek, mau ngapain kamu?!” Tiba-tiba tubuhku sudah berada di dalam pelukan Kak Zaki. “Eh, aku kenapa?” Aku menatap ke sekililing, ternyata aku belum sampai di bawah sana. “Ayo, Kakak bantu turun!” Kak Zaki menggandeng tanganku dan membantuku menuruni anak tangga. Kak Zaki masih saja menggandengku hingga sampai di ruang makan, Mama dan Papa menatap kami dengan tatapan tajam. “Ayo, makan dulu!” ujar Mama sambil menyuruhku duduk di kursi yang sudah ia tarikkan untukku. Aku merengut, sebab dengan perut sebuncit ini aku sudah mulai kesusahan untuk duduk. Mama mengambilkan makanan untukku dan menyuruhku untuk makan, dan aku memakannya dengan terpaksa sebab rasanya tak rela harus berbagi makanan dengan bayi yang hidup enak di dalam perutku ini. Akan kupaksa dia untuk menjawab siapa bapaknya setelah lahir nanti, seenaknya saja menumpang hidup di dalam perutku ini, dasar benalu! “Vaulin, makannya pelan-pelan, Nak!” ujar Mama. Aku menghentikan aktifitas makan dan menatap nanar wanita nenek sihir ini, dia selalu marah setiap saat, terutama kepada Papa dan Kak Zaki. Kini dia juga mau memarahiku, dasar! “Vaulin, Mama cuma bilang makannya pelan-pelan nanti tersedak, bukannya menyuruhmu berhenti makan,” ujarnya sok baik, padahal dia tak suka melihatku makan. “Aku sudah kenyang,” jawabku sambil bangkit dari kursi ruang makan lalu menuju ruang tengah, di mana ada tontonan kehidupan yang tak sama gilanya seperti kehidupanku. Hah, film selalu begini setiap hari, suami selingkuh, poligami dan pelakor. Mengapa tak ada film seperti kisah hidupku? Hamil anak setan! Televisi yang sedang kutonton tiba-tiba mati begitu saja, apa mati lampu atau orang di dalam tv itu sudah mati semuanya? Aku mendengus kesal. “Nak, kita harus membicarakan hal penting hari ini.” Mama tiba-tiba sudah ada di dekatku. “Hmmm .... “ Papa juga ada di sini. “Ada apa? Mengapa televisi ini dimatikan?” tanyaku kesal. “Vaulin, kita harus membicarakan masalah penting, jadi stop dulu nonton televisinya!” ujar Mama dengan mengusap bahuku. “Iya, ada apa? Katakan saja!” jawabku tak bersemangat dengan menyandarkan punggung ke sopa. Aduh, aku sangat tak nyaman dengan perut yang kian membuncit ini. Entah makhluk apa saja yang ada di dalamnya? “Vaulin, proses ceraimu dan Yuta sudah lama selesai tapi masa iddah wanita hamil itu sampai ia melahirkan tapi Papa takkan bisa membiarkan kamu melahirkan tanpa suami. Untuk membuat Mamamu puas dan mematahkan tuduhannya yang mengatakan Zaki anak hasil perselingkuhan Papa, maka besok Papa akan menikahkanmu dengan Zaki sebab Zaki pun memang bersedia untuk menikahimu. Akan tetapi, pernikahan ini hanya untuk menutupi aib ini saja, Zaki tidak boleh menyentuhmu dulu. Jika kamu sudah melahirkan nanti, maka kalian harus menikah lagi. Walau sebenarnya ... ini keputusan berat, dengan menikahkan anak kandung dengan anak angkat, yang pastinya akan menjadi cibiran masyarakat, apalagi rumor kamu hamil di malam pertama sudah mulai beredar walau tak ada yang membongkarnya,” jelas Papa panjang lebar dengan mengusap wajahnya. Aku hanya diam. Oh ... dia malu punya anak hamil di malam pertama ternyata. Dikira hanya dia saja yang malu, aku lebih lagi, apalagi semua yang terjadi ini tanpa kukehendaki sama sekali. Kutatap tajam Papa dan Mama yang wajahnya terlihat pura-pura sedih. “Terserah saja, lakukan apa pun yang kalian mau! Aku saja bisa hamil tanpa kukehendaki dan tanpa tahu siapa yang membuatku hamil, kenapa tak kalian nikahkan saja aku dengan setan!!!” Kuedarkan pandangan dengan geram ke arah Mama dan Papa, ingin kucekik mereka berdua biar mati sekalian. Akan tetapi, Kak Zaki langsung duduk di sampingku, dan menggenggam erat tangan ini. “Jangan marah-marah terus! Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan! Pa, Ma, Zaki dan Vaulin mau jalan-jalan ke halaman belakang,” ujarnya dengan menggandengku pergi dari hadapan dua manusia labil yang bisanya hanya bertengkar setiap saat itu. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD