bc

NIGHT BEHIND THE HUSTLE OF THE CITY

book_age18+
68
FOLLOW
1K
READ
dark
love-triangle
sensitive
moonlight
werewolves
vampire
sniper
city
secrets
war
like
intro-logo
Blurb

Sekelompok ilmuwan telah menemukan virus yang mampu membuat manusia hidup tanpa harus merasakan penyakit selama hidupnya.

Sejak virus V-Am mulai dikembangkan dan memperlihatkan hasil yang luar biasa. Beberapa oknum mulai menyalahgunakan dan mencuri virus induk. Tanpa mereka sadari, virus ini justru menimbulkan kekacauan yang sangat mengerikan dan megancam kehidupan seluruh manusia di bumi.

Mutasi virus V-Am jauh mengerikan dari yang dibayangkan. Tidak terkendali dan menular dengan cepat. Merusak seluruh oragan manusia hanya dalam sekejap.

Virus ini hanya bisa bertahan hidup di dalam tubuh manusia jika terus diberi makan dengan darah. Itu sebabnya, para pendeta dan pengusir iblis pada masa itu menganggap mereka iblis berdarah dingin yang hanya keluar pada malam hari untuk menghisap darah manusia.

Para ilmuwan yang merasa sangat bersalah dengan kekacauan ini, bertekad membereskan masalah yang tercipta dari lab mereka.

Dan para pendeta, mulai membentuk organisasi pemburu rahasia untuk ikut menangani kasus ini sesuai jalan mereka sendiri.

Selama ratusan tahun. Kedua kubu ini melakukan perang dingin untuk memerangi virus liar yang terus bermunculan. Sudah sejak lama, mereka berbaur diantara kita. Menekan angka kematian manusia dan menjadi penjaga malam yang tidak pernah mengharapkan ketenaran atapun pujian secara terang-terangan.

Tentu saja kedua kubu ini memiliki alasan masing-masing. Kenapa harus bekerja secara rahasia dan menutup rapat identitas mereka.

Bisakah mereka tergolong kedalam elite global yang mengatur lanjunya keseimbangan kehidupan manusia di bumi?

Lalu kenapa gadis bernafas darah begitu penting dan menjadi ancaman jika jatuh ke kubu yang salah?

Konflik perang senjata, teknologi, penemuan ilmiah hingga kekuatan spiritual menjadi satu dalam cerita fantasy romance ini.

"NIGHT BEHIND THE HUSTLE OF THE CITY"

(Vampire, Wolf & Hunter)

chap-preview
Free preview
CITY : Kesan Pertama
***PROLOG*** Terlanjur aku hilang dalam pekat, ketika tak sadar akan mentari yang telah menepi. Hampa kurasakan, sunyi malam yang berderik. Dingin menenggelamkanku pada lautan kegelapan. Menyesakan nafas, sangat mudah tuk mati di tempat tabu ini. Keterlambatanku untuk pergi, mengulang yang terjadi. Kembali pada masa yang penuh penyesalan. Aku jatuh dalam duniamu. Dan mustahil bagiku untuk bangkit. Sumpah telah terucap dan janji tinggallah kata-kata belaka. Lidah tak bertulang, melumpuhkan kakiku. Alur hidupku kan menjadi skenariomu. Berperan ganda dalam kenyataan dan kebimbangan akan dunia semu yang nyata. Kota Jakarta yang padat penduduk dan tak pernah berhenti menambah populasi penduduknya. Tak pernah sepi dan selalu mengancam orang yang lengah, menjerumuskan pada penderitaan. Seperti aku yang baru mengenal kota yang ‘kata orang’ akan membawa perubahan. Yah, perubahan yang tak kan pernah kau tahu sebelumnya. Terlalu banyak orang dengan perbedaannya. Aku mengenal semuanya disini. Yang bermaksud melindungi dan yang ingin mengurangi populasi penduduk kota untuk kebutuhannya. *** Ransel besar menghiasi punggung kecilku. Tubuhku nyaris tak terlihat dari belakang. Tas tangan juga membebani bahuku. Berat sekali aku berjalan keluar dari terminal bus kota. Seperti orang linglung, udik, kampungan, norak! Tak kusangkal. Yah, memang benar. Kali pertama aku menginjakan kaki di kota besar ini. Tak lain tak bukan dengan tujuan mengadu nasib. Destri, sahabatku dari kampung mendapatkan pekerjaan di sini dengan upah yang bagus. Dan aku tertarik mengikuti jejaknya. Dia bekerja di sebuah pusat perbelanjaan. Walaupun awalnya berat meninggalkan ibuku yang seorang janda itu tinggal jauh di kampung sana. Terlebih jika kakak iparku mulai berulah. Bagaikan ratu saja, bahkan aku sangat kasihan pada kakakku yang sudah banting tulang demi mencukupi kebutuhannya yang terus saja dirasa tidak cukup. Kakak iparku terlalu cerewet dan pemarah. Menyebalkan. Pagi ini tidak cukup terik. Musim penghujan bulan November. Perjalanan semalaman di dalam bus cukup melelahkan. Dingin dan bahkan aku tak bisa meluruskan kakiku. Taxi online yang ku order sudah menunggu. “Neng Revi?” Tanyanya di balik kaca mobil yang dibuka. Aku mengangguk, “Iya” “Oke,” dia tersenyum dan keluar mobil. “Biar saya bantu masukan bawaannya ke bagasi!” tuturnya ramah. Aku tersenyum dan membiarkannya mengangkat tasku yang langsung di taruh di belakang. Segera aku masuk mobil. Pengemudi ini cukup cekatan. Sesaat dia sudah berada di bangku pengemudi dan bergegas meninggalkan tempat itu. Yah, sangat ramai. Tentu tak enak jika parkir terlalu lama di pinggiran jalan. Gedung-gedung kota menjulang memenuhi kota. Sejauh mata memandang hanyalah bangunan. Berbeda dengan kampungku yang hijau dan penuh hamparan sawah. Macet, sekarang aku tahu dan merasakannya sendiri. Kota yang sudah terkenal dengan macetnya. Tapi kali ini ada yang berbeda. “Apa ada kecelakaan?” tanyaku begitu melihat kerumunan orang dan beberapa mobil polisi dan ambulance. “Semalam ada pembunuhan lagi, sedang dievakuasi sekarang.” Driver itu tampak berusaha mencari celah untuk terus melaju. Aku sedikit ngeri mendengarnya, “Lagi?” Itu artinya sering terjadi kasus pembunuhan. “Ya, Disini banyak sekali kasus pembunuhan setiap bulannya. Tapi tetap saja, Jakarta masih padat penduduknya.” “Mengerikan!” gumanku. Melihat gps di aplikasi handphonenya, “Tapi daerah yang neng tuju sangat aman dan damai.” “Syukurlah kalau begitu.” Destri juga pernah bilang begitu. Aku akan satu kost dengannya. “Kali ini sepertinya korban si psikopat gila itu lagi.” Sesekali menengok ke keramaian. “Psikopat?” “Entah mereka dari aliran sesat atau apa. Tapi sepertinya psikopat ini adalah sekelompok orang gila yang benar-benar professional. Sekeras apapun usaha kepolisian sampai sekarang tidak ada hasil yang jelas. Pembunuhan semacam ini terus saja teerjadi dari tahun ke tahun.” Aku sampai lupa bernafas mendengarnya. “Korbannya selalu sama, kering kerontang, gosong dan bahkan nyaris terlihat seperti tengkorak yang hanya sisa tulang dan kulit.” Menghela nafas, “Mereka sepertinya di siksa dan disetrum sampai seperti itu.” Lanjut driver. “Itu kejam sekali. Apa motif pembunuh ini.” “Entahlah, seperti yang kukatakan tadi, entah dari aliran sesat atau mungkin ada professor gila yang sedang menjadikan manusia sebagai kelinci percobaannya.” Pendapat yang aneh tapi terdengar sedikit rasional. Aku tak lagi menyahut, cukup ngeri dan tak tau harus bicara apa lagi. Mengingat beberapa tahun sebelumnya, terjadi sebuah fenomena yang bahkan meneror seluruh dunia. Virus aneh yang tiba-tiba menyebar luas dengan sangat cepat. Butuh beberapa tahun hingga keadaan benar-benar kembali menjadi normal kembali. Dan yang aku yakinin, tidak ada virus yang tidak disengaja. Kita hanya orang kecil, yang sama sekali tiada hak untuk mengintip rencana orang-orang besar yang lebih berkuasa. Terlalu banyak hal yang ditutupi sebenarnya. Dan kita, hanya bisa pura-pura tuli dan menutup mata. Jadi untuk kasus uji coba hingga menelan korban jiwa, rasanya sudah tidak terlalu mengejutkan meskipun tetap saja kengeriannya masih membekas sampai saat ini. Setelah cukup lama di jalanan kota, mobil berbelok ke gang. Kendaraan mulai berkurang. Kompleks perumahan sepertinya. Selang beberapa bangunan dari belokan, mobil berhenti di depan gerbang bangunan bercat putih. Aku langsung tahu itu tempatnya begitu membaca papan tulisan “Menerima Kost Putri”. Segera aku turun dan melihat-lihat sekitar. Dua orang pria berdiri di seberang jalan. Rumah besar nan megah di belakangnya. Sepertinya ini kompleks orang kaya. Aku membuang muka seketika ketika salah satu di antara mereka menatapku tajam, mengerikan sekali. Ku alihkan pandangan ke driver yang menurunkan barang bawaanku. *** Tora tengah memperhatikan tingkah Marvel yang menatap lekat gadis disebrang sana. “Kali pertama kau melihat wanita sampai segitunya.” Tora ikut melihat ke arah Marvel melihat. “Apa artinya?” Gadis berpostur sedang dengan rambut panjang yang diikat berantakan tampak membayar sejumblah uang ke driver. “Dia berbeda!” Jawab Marvel dari sela giginya yang digertakan. Suaranya berat, menahan nafas. “Dia bukan buruan kan?” Tora menyipitkan mata. “Tarik nafasmu seirama hembusan nafasnya.” Datar dan berat. Tatapannya makin tajam saja pada gadis itu. Tora memfokuskan pandangan. Ia mengendus-endus sambil memejamkan mata. Lalu sesaat dia membuka mata dan menatap Marvel dengan tatapan khawatir. “Kau benar.” *** Aku sendirian sekarang, dan aku makin yakin jika dua pria itu tengah menatapku mencurigakan. Sekali lagi aku menoleh ke arahnya, salah satu tersenyum ramah dan satunya menatap penuh kebencian. Mereka tampan dan berpenampilan rapi, tidak seperti orang jahat atau preman. Mereka berjalan ke arahku. Dengan style yang berbeda mereka berjan menyebrangi jalan. Pria yang tersenyum tadi berjalan santai dan tampak ramah. Tetapi satunya terlihat cuek dan tampak enggan mendekat. Alis tebalnya bertautan dengan rahang mengeras. Mereka bak model yang berjalan di atas catwalk. “Anak baru di sini?” Tanya pria yang terlihat ramah begitu sampai didekatku. Aku mengangguk malu-malu, “Ya.” Bagaimanapun juga, ini kota besar yang tak ramah, dan mereka orang asing bagiku. Tersenyum, “Tenang kami bukan orang jahat. Kau tampak takut sekali.” Bicaranya sambil tersenyum. “Kami tinggal di sebrang sana. Namaku Tora.” Mengulurkan tangan. Aku melirik orang disebelahnya. Masih belum berubah, tatapannya seolah tak suka dengan keberadaanku. Aku segera memalingkan wajah dan membalas jabat tangan pria yang mengaku namanya Tora. “Reviani Benita, panggil saja Revi.” “Marvel.” Tangan lain terulur. Suaranya berat seperti tak bernafas. Aku tersenyum menjabat tangannya, “Revi…..Aw!” Seperti ada sengatan listrik ditanganku, detik berikutnya Ia menghentakan tanganku kasar. Telapak tanganku terasa pegal. Apa-apaan ini? Seperti benar-benar sehabis kesetrum. “Maaf!” Nadanya masih acuh. Aku menatapnya aneh, apa yang ada ditelapak tangannya? Apakah sejenis alat setrum? “Ah, sini biar aku bantu.” Tora memecah suasana, mengangkat ranselku. “Emm, tak apa kok. Aku bisa sendiri.” Tak enak hati. Sesekali aku melirik pria yang bernama Marvel itu. Dia benar-benar tidak merasa bersalah sedikitpun. “Tak apa.” Tora mendahului masuk kedalam. Marvel menarik tas tanganku, tanpa kata-kata melewatiku berjalan dibelakang Tora. Kenapa dengan pria ini? Entahlah. Aku mengikuti dibelakangnya. Ia mengenakan decker tangan berwarna hitam hingga sebatas lengan, mirip sekali dengan yang digunakan atlet-atlet tertentu. Sementara di persendian tangan kiri terdapat dua gelang yang aneh. Yang satu logam polos tebal dan satunya lagi seperti ratusan jarum kecil yang tersusun rapi hingga membentuk sebuah gelang diatas bahan kulit hitam. Ada tato juga dilengannya. Tidak begitu jelas tertutup lengan kemeja panjangnya yang ditekuk.   “Hai Marvel!” Seorang gadis berdiri menyambut Marvel. “Kau kesini mau menemuiku ya?” Tanyanya genit. “Ngarep banget sih loe!” Sahut Tora. “Dih, orang aku nyapa abang Marvel!” Manyun menatap Tora. Makin cantik saja jika seperti itu, rambutnya sebahu, imut dan karakternya sesuai sekali dengan gayanya. Marvel terlihat tanpa ekspresi. Sebenarnya dia sangat keren. Hanya saja sifatnya sedikit aneh. Seorang berambut merah keluar dari dalam rumah. Suara tertawanya sangat ku kenali. Destri menyapaku histeris, “Revi!” memelukku. “Akhirnya sampai disini juga.” “Iya, capek sekali!” Aku tersenyum lepas dari salam pertemuan kita. “Dari terminal naik apa?” “Taxi online, seperti saranmu.” “Oh, jadi kamu Revi? Aku Selfi.” Gadis berambut pendek itu tersenyum manis mengulurkan tangan. Menilik dari cara bertanyanya. Destri pasti sudah bercerita tentangku. “Iya, aku Revi.” Jawabku. “Ibu kost sedang ke pasar. Ayo masuk, kamarmu sudah disiapkan.” Yah, Destri bilang kita satu rumah dengan ibu kost. “Oh, ya kenapa kalian bisa membawakan barang Revi?” Selfi tampak sengaja sekali memepet Marvel yang diam bak patung batu. “Kami berkenalan di depan tadi.” Sahut Tora. “Baguslah!” Destri menatapku, “Vi, mereka bekerja ditempat yang sama dengan kita. Selvi dan aku menjaga kasir. Marvel ini seperti kepala suku yang bertugas mengecek barang. Sementara nanti tugasmu sama seperti Tora, menata dan membantu pembeli jika butuh sesuatu.” “Kita bahas besok saja lah. Ini dimana kamarnya. Biar isirahat dulu dia.” Tora celingukan. “Aduh, maaf. Sini ikuti aku!” Destri berjalan mendahului. Mereka sudah berseragam. Kecuali Marvel, dia mengenakan kemeja putih dengan sangat rapi dan modis meski lengan panjangnya dilipat keatas.   *** Aku mempunyai banyak waktu membereskan barangku setelah mereka semua pergi. Besok aku sudah mulai bekerja. Sepi sekali saat ini, bahkan saat suara pintu dibuka, aku bisa mendengarnya. Aku kira sudah tidak ada orang, akupun penasaran dan keluar. Seorang wanita paruh baya membawa tas belanjaan. Tak salah lagi, ini pasti ibu kost. “Oh, hai?” Sapanya ramah, “Kau temannya Destri itu?” Aku mengangguk dan tersenyum membenarkan. “Wah, semoga betah disini ya. Kau pasti sangat lelah, beristirahatlah. Jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan jangan sungkan.” Tersenyum. “Iya buk.” Aku tersenyum canggung. “Panggil saja, Tante Nuri.” “Iya tante.” Aku tersenyum kembali. Kami berbasa-basi cukup lama. Dari sini aku tahu, dia sama seperti ibuku. Seorang janda. Dia hanya punya satu anak perempuan dan anaknya sudah menikah. Sekarang dia tinggal bersama suaminya di Bandung. Tante Nuri menjadikan rumahnya sebagai kost, karena dia kesepian sendirian dirumah. Dan beliau hanya menerima anak putri. Empat orang ditambah aku menjadi lima. Dua orang aku sudah tau, yang lainnya adalah pelajar dan mahasiswi. Tak jauh dari sini memang terdapat sebuah perguruan tinggi yang cukup ternama. Kamar kost ku tidak terlalu luas, tapi sangat bersih dan rapi. Pemandangan luar jendela adalah kebun dengan hiasan pot bunga. Sangat cantik dan rapi. Lepas dari jam setengan sepuluh malam, suasana menjadi ramai. Semua berkumpul sangat akrab. Dan aku sudah berkenalan dengan para pelajar itu. Yang sudah kuliah namanya Sita, posturnya mirip denganku. Rambutnya lurus dengan dye warna coklat muda. Yang masih SMA namanya Mita, sangat manis seperti orang korea. Tinggi langsing dan sepertinya dialah yang paling cantik disini. Sepertinya gadis ini tidak akrab dengan Selfi, dilihat dari cara mereka bertatapan. Udara cukup gerah. Aku berjalan keluar untuk menikmati sejuk angin malam. Masih ada beberapa pengendara motor yang lalu lalang. Malam yang terang di kota, berbeda sekali dengan kampung. Jam segini sudah jarang ada orang diluar, dan gelap pastinya. Disebrang jalan terlihat dua pria baru keluar dari gerbang rumah. Marvel langsung diam mematung setelah sempat terburu-buru. Tora tak sadar jika dia berjalan sendiri meninggalkan Marvel. Tora menoleh kearahku sebentar dan kembali menoleh kebelakang. Pakaian yang dikenakan Marvel cukup aneh. Mantel hitam panjang sampai bawah lutut. Aku mendengus, maksudku panas sekali disini. Benar-benar aneh dia. Terlebih, dia membawa senjata seperti katana. Mungkin sadar aku melihatnya, ia segera menyimpan di dalam mantelnya. *** Tora kembali menghampiri Marvel. “Jangan bersikap mencurigakan!” Tegur Tora. “Kau berjaga disini, biar aku pergi sendirian.” Marvel masih menatap ke arah Revi. “Kau yakin?” “Kita sering berpencar. Disini lebih berbahaya jika semua pergi.” “Dia sudah tahu tentang ini?” “Amat sangat tahu. Sekian lama mencari, mangsa datang sendiri.” Marvel tersenyum sinis. “Kalau begitu pergilah sekarang! Kejadian pagi tadi sudah cukup mencurigakan.” “Aku hanya menahan jati diriku agar tidak lepas kendali. Panggil kawananmu jika kau kesusahan.” Marvel menepuk pundak Tora dan kembali berjalan menyusuri trotoar. *** Apa yang mereka bicarakan? Aku bertanya-tanya dalam hati melihat tingkah aneh mereka. Marvel berjalan menyusuri jalanan. Mantelnya seolah terbang terbawa langkah cepatnya. Aku yakin ia mengenakan kacamata hitam. Hello!!! Ini malam hari. Dan lihat sepatu bootnya. Seperti mau perang saja. Melihatnya jadi ingat film-film tentang detektif. “Kau menyukainya?” Tubuhku terlonjak kaget, ulu hatiku sampai nyeri. “Tora,” aku tak menyadari kehadirannya. Mungkin terlalu fokus mengamati Marvel. “Kenapa malam-malam diluar?” Aku baru memperhatikan penampilan casual Tora sekarang. Ia mengenakan hoodie dan celana pendek. “Gerah sekali.” “Masuk lah, sudah malam. Besok kita harus bekerja.” “Kau sendiri? Dan dia,-” Marvel maksudku, “-aneh sekali, pakaiannya.” Tora celingukan, lalu berbisik. “Shhhh, hanya kau dan aku yang tahu. Dia itu seorang reserse yang sedang menyamar.” “Reserse?” Nadaku ikut berbisik. “Iya, dia sedang ada tugas penyamaran.” Aku mengangguk-angguk, “Pantas saja.” Aku diam sejenak dan berfikir, “Tapi bukankah berpenampilan seperti itu lebih mencurigakan!” Tora menghela nafas panjang, “Dia mau mengintai ditempat yang gelap, berpenampilan seperti itu agar tidak terlihat dalam kegelapan.” Tetap saja masih mencurigakan. Maksudku, ini kota besar yang panas. Bukan di luar negeri. Sedikit berlebihan sih menurutku! “Sudah mulai sepi, masuk dan istirahatlah!” Tora melihat sekeliling. “Iya, besok aku shift siangkah?” “Iya, barengan denganku. Lagian masih masa trining kan!” Tersenyum, “Jangan khawatir aku akan mengajarimu dengan baik. Kau bisa sedikit santai jika bersamaku.” Kali ini dia terkekeh bangga pada dirinya sendiri. Aku tersenyum, “Bisakah seperti itu?” “Tentu,” Jawab Tora yakin sebelum akhirnya dia sedikit mencibir, “ya, jika ketahuan Marvel paling akan dipelototi.” Mengangkat bahu cuek. Ah, benar. Pangkatnya lebih tinggi. “Revi!” panggil seseorang dari dalam rumah. “Eh tante Nuri. Belum tidur?” Basa-basi Tora. “Hmm, kamu nakal godain anak-anak tante lagi kan?” Tante Nuri tersenyum. “Sudah malam, gak enak sama tetangga. Besok lagi yah ngobrolnya.” “Iya tante, maaf salahku.” Tora cengingisan. “Awas nanti Sita baper lagi.” Goda tante Nuri. Tora terkekeh. “Ah tante, dia kan bukan pacar Tora.” Menguap. “Ya sudah tante, Tora pulang dulu.” Tersenyum “ Ya sudah sana!” melihatku, “Ayo Vi, tante mau kunci gerbangnya.” Aku mengangguk mengikutinya.   *** Hari pertama kerja, menyedihkan. Destri nebeng Selfi naik motor dan mereka shift pagi. Dan artinya aku harus jalan kaki sendirian karena aku ternyata masuk siang. Tak masalah sih, tak terlalu jauh juga pusat perbelanjaan ini. Selfi menjelaskan rutenya, cukup mudah. Keluar gang, belok kiri dan jalan lurus saja. Kemeja putih dan rok hitam kukenakan. Seragam training anak baru. Sepatu hills hitam membuatku tampak lebih tinggi beberapa centi. Begitu keluar gerbang, aku melihat Tora dan Marvel. Tora melambai tersenyum. Syukurlah, sudut bibirku terangkat keatas. Segera aku berjalan menyebrangi jalan. Setidaknya aku punya teman. Posisi Marvel seperti atasan di tempat kerja. Pencitraan karakternya sangat cocok sekali. Dingin dan tegas. Dan juga dia merupakan agen rahasia kepolisian. Pasti dia sangat sibuk sekali. “Hai anak baru!” Tora menggoda. Aku tersenyum, “Kalian juga jalan kaki?” “Motornya di bengkelkan sejak kemarin malam.” Mengisaratkan kata nya untuk Marvel. Sambil berjalan santai. “Kenapa?” “Service aja sih.” “Oh.” Aku kehabisan kata-kata. Bukan keahlianku berbasa-basi. Aku menengok sebentar ke belakang. Marvel membuang muka saat aku menoleh. Sangat tenang. Bergaya kasual dengan kemeja nya. “Eh….” Tora berhenti tiba-tiba. “Aku lupa kunci lokerku.” “Biar ku ambilkan!” Marvel berbalik. Tora segera menarik lengan Marvel. “Itu kan kunciku, emangnya kamu tahu dimana aku menaruhnya?” Tora tersenyum menatapku. “Kalian duluan saja!” Tora segera berjalan cepat kembali ke rumah. Marvel menarik nafas dalam dan dengan enggan kembali berjalan ke arah tempat kerja. Aku menjadi tak enak hati, Marvel tampak gelisah dan tak suka berjalan bersama ku. Sangat canggung. Dia sama sekali tak berbicara sepatah katapun. Mungkin dia malu berjalan sebelahan denganku. Secara, Selfi yang secantik itupun tak berhasil menarik perhatiannya. Mall sudah ramai. Kami lewat jalan belakang, khusus karyawan. Marvel bersandar di tembok dekat tangga naik lantai 2. Mungkin menunggu Tora. “Sepertinya kau bukan type orang yang pendiam.” Wow, kali pertama dia berbicara panjang. “Hanya jika sudah mengenal dengan baik.” Karena sebenarnya, aku pemalu. “Jadi, darimana asalmu. Sepertinya tempat yang aman sekali.” Yah, sangat aman damai dan tenang. “Hanya sebuah kampung yang hangat karena orang-orangnya yang ramah. Marvel menatapku dengan rahang mengeras. “Kau menyindirku.” Oh tidak! “Maaf, bukan maksudku.” Mulutku ini kadang suka lepas kendali. “Hei!” panggilnya datar, “Kau sudah tahu siapa aku?” Aku menatapnya sebentar, berat! Matanya begitu tajam. “Ya, Tora yang memberitahuku.” “Aku harap kau gadis yang tidak bermulut lebar.” “Jangan khawatir.” Aku melihat Tora di belokan pintu. “Apa dia juga sepertimu?” “Tidak! Dia rekan yang sering membantuku.” Tora mendekat, “Wah, akrab sekali kalian.” “Kenapa lama sekali?” Marvel ketus. “Maaf, aku sakit perut. Kelebihan beban.” Melihat ke arahku. “Ya udah ayok. Yang lain pasti sudah datang.” Kami berjalan masuk dan turun lagi ke lantai dasar. Department store. Swalayan dalam mall. Banyak sekali orang disana. Aku malu. Tora mengajari tugas-tugasku. Dan aku langsung paham. Karena memang tidak sulit. SPG-SPG wanita disini tampak membicarakan kepala bagian. Siapalagi kalau bukan Marvel. Beberapa diantara mereka ramah kepadaku. Tapi tetap ada juga yang bersikap sok senior, sehingga memandang rendah diriku. Lagian ini hari pertama. Harus kuciptakan kesan baik. Aku bekerja sesuai yang diarahkan Tora. Kali ini aku menata dan membersikan barang di rak. *** Tora menghampiri Marvel yang tengan fokus menatap ke satu arah. “Benarkah itu? Yang ada dalam fikiranmu?” Membuyarkan lamunan Marvel. Marvel menarik nafas dalam dan memejamkan mata menahan nafas dan kembali membuka mata melihat ke arah Revi. “Aku bahkan masih tak bisa mengendalikan diri.” Suaranya dibalik gigi yang direkatkan. “Jangan menyiakan kesempatan. Pihak sana sudah mulai membicarakannya.” *** Jam setengah sepuluh. Toko sudah ditutup dan kami berberes. Kasir masih menghitung laporan keuangan harian dan pekerja lain meyiapkan barang agar besok pagi preparenya lebih ringan. Aku lihat, Selfi gencar memepet Marvel dengan genitnya. Cukup pedih dimata. Destri, Lia dan Rini berbincang begitu mereka selesai menghitung. Mereka para penjaga kasir. Sementara Tari dan Nanda adalah teman baruku yang sama-sama di bagian penataan barang. Mereka sedang bercanda dengan beberapa orang lainnya. Aku menangkap tatapan aneh dari tatapan Lia. Hanya saat aku dekat Tora. Seperti saat ini. Tora mengajakku pulang bersama. Jelas sekali kecemburuannya. Berjalan berdampingan dengan Tora membuatku tak enak hati. Kami keluar dari pusat perbelanjaan. Beberapa orang menuju arah parkiran. Aku sengaja memelankan langkah kakiku. Agar Tora mendahuluiku. Tora malah berhenti dan menungguku. “Kenapa? Capek?” Aku menggeleng, “Dimana Marvel?” Menyipitkan mata. “Sedang mengambil motornya.” “Kenapa kau tak ikut?” “Nggak tega aja ngebiarin gadis berjalan sendirian, dikota yang berbahaya ini.” Terdengar seperti candaan receh, “Lagian, besok aku juga akan sendirian.” Pasti dia akan nebeng Marvel. “Aku akan jalan kaki saja, menemanimu.” Meski jalan kaki tak cukup jauh sebenarnya. “Tapi itu membuatku tak enak hati.” “Kenapa begitu? Marvel sudah sering meninggalkanku kok.” Entah kenapa aku teringat sesuatu, “Mmmm, apa dia pacarnya Selfi?” Apa aku terlalu kepo? “Tidak,” Tora mendengus tersenyum, “Marvel tak menyukai gadis seperti itu.” Aku tahu itu, Pria cuek sepertinya. “Lalu, bagaimana denganmu? Sita atau Lia?” Tersenyum seolah dia merasa paling keren. “Keduanya baik. Tapi ada yang kurang.” “Mereka cantik.” Aku meliriknya penasaran. “Aku yang kurang baik untuk mereka.” “Kau baik, juga tampan.” Mendengus, “Aku tak sebaik seperti yang kau fikirkan.” “Me…” Waktu seakan berhenti, rasanya cahaya dari langit menyoroti satu titik yang begitu indah itu. Pria tampan terlihat sangat menawan dibalik kacamata hitamnya. Dia mengendarai mobil sport hitam dengan cup yang di buka. Lajunya lambat dari arah depan. Dia melihat ke arah Tora, refleks aku menoleh ke arah Tora. Tora terlihat sangat geram dengan tatapan mata tajam ke arah pria itu. Sekali lagi aku menoleh ke arahnya, kali ini dari balik kacamata gelapnya sepertinya dia menatapku. Ekspresi nya seketika berubah, bibirnya mengatup seiring tangan kanannya yang terangkat menutupi hidung. Sangat resah dan gelisah. Ia cepat-cepat membuang muka dan menginjak pedal gas. Secepat angin mobil melaju kencang, menyisakan asap debu yang berhasil membuatku terbatuk. Waktu kembali normal. “Siapa dia?” ku kibas-kibaskan debu yang membuat hidungku gatal dengan gerakan tangan didepan muka. Tora masih terlihat kesal, “Anak Universitas sebelah, namanya Bryan.” Nadanya jelas sekali akan kebencian yang meluap-luap. “Sombong sekali gayanya. Malam-malam masih mengenakan kacamata hitam. Aneh!” “Dia emang aneh. Berbeda dengan kita.” “Apa kalian bermusuhan?” melihat perubahan sikap Tora sebelum dan sesudah berpapasan dengan pria tadi. “Ada konflik antara Marvel dan dia yang tak akan meredam. Karena dia musuh Marvel, maka dia musuhku juga.” “Karena wanita?” Mencemooh, “Ch, kenapa sebagian besar orang mengasumsikan pria yang bermusuhan pasti didasari oleh cinta?” Aku mengangkat bahu, “Kebanyakan memang seperti itu kan.” “Konflik mereka adalah konflik keluarga. Sejak jaman kakek buyut mereka. Persaingan dan perbedaan.” Kutarik nafas panjang dan menghempaskannya, “Dramatis.” Nadaku datar. Tora tersenyum kali ini, “Kau lebih cuek dari Marvel. Hanya saja banyak ingin tahu.” Yah, benar. Aku kadang terlalu cuek akan sesuatu tapi disaat bersamaan aku kadang sangat ingin tahu dan banyak bicara karenanya. Kami sudah hampir sampai. Menyusuri jalan gang sekarang. Masih ramai di jalanan. Sesampai di kost, langsung saja aku menuju kamar mandi. Gerah sekali selepas bekerja. Cukup sepi malam ini. Tak ada rumpian para gadis-gadis. Hanya suara Tv yang samar-samar terdengar, sesekali Tante Nuri menggerutu kesal dan mengumpat pada tayangan sinetron yang ia nikmati.   *** Sangat mudah untuk akrab dengan Tora. Dua minggu ini aku selalu pulang bersamanya. Tentu saja ada yang tak suka padaku karena ini. Lia ditempat kerja sama sekali tak bicara bahkan terlihat selalu menatapku nanar. Di kost, Sita pun mulai berubah sikapnya terhadapku. Satu yang membuatku khawatir sekarang. Aku nyaman! -@,@- To Be Continue -@,@-

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.1K
bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
4.0K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook