“Apa kau bilang, Rai? Kau mau menikah dengan perempuan pemuja uang itu?” Pertanyaan sinis keluar dari mulut Dewi, ibunya Raihan.
Suasana ruang keluarga yang tenang dan sejuk oleh semburan udara dari air conditioner mendadak terasa panas. Semburat merah terpancar dari wajah Raihan. Matanya kian menggelap dan darah bergejolak memanas mengalir cepat ke kepalanya.
“Anindira bukan perempuan seperti itu, Ma. Mama hanya tahu dia dari tabloid gosip dan hoax media sosial. Rai yang menangani kasusnya. Rai tahu benar siapa dia, Ma,” sanggah Raihan.
Pembelaan Raihan untuk Anindira membuat murka Dewi. “Intuisi seorang ibu tidak pernah salah, Rai. Anindira itu perempuan nggak bener.”
“Tapi terkadang intuisi juga bisa salah, Ma. Setuju atau tidak, Raihan sudah menentukan pilihan Raihan.”
Dewi membelalak. Ia tersinggung dengan keputusan yang diambil Raihan. “Kau akan lihat bagaimana Anindira mengecewakanmu nanti. Jika kau tetap mau menikah dengannya silakan. Tapi, Mama tidak akan datang ke pernikahanmu. Pun, dengan papamu.”
***
Raihan tidak ingin menyembunyikan apa pun dari Anindira. Ia memberitahu Anindira tentang penolakan ibunya pada gadis itu. Awalnya Anindira sangat terpukul dan merasa sudah sangat tak berharga, namun keteguhan Raihan meyakinkan Anindira untuk menentukan pilihan.
Tanpa dihadiri orangtua Raihan, penikahan Raihan dan Anindira akhirnya dilaksanakan beberapa hari kemudian. Kesedihan menyayat hatinya ketika Raihan mengucap janji pernikahan mereka.
Aku berharap yang mengucapkan ijab kabul dalam akad ini kau, Kenan. Tapi kau sudah sangat melukaiku. Selamanya aku akan selalu terikat denganmu tanpa kau tahu, Kenan. Anindira tak bisa menghentikan airmatanya yang bagai luapan sungai ditengah badai saat Raihan mengucapkan ijab–kabul.
Setelah pernikahan Raihan membawa Anindira untuk tinggal di rumah yang sengaja dibelinya.
"Kita bisa pelan-pelan meyakinkan mamaku. Aku yakin kita pasti bisa meyakinkan mereka kalau kita memang pantas untuk menikah, kalau kau memang pantas menjadi istriku." Raihan memeluk Anindira mesra saat mereka tiba di rumah Raihan.
Rumah berlantai dua dengan gaya Mediterania dan bernuansa serba cokelat alami membuat Anindira merasa asing. Ia bergeming. Pikirannya semakin berkecamuk. Pernikahan ini salah, pikirnya.
“Rai, aku tidak jujur padamu...,” ucap Anindira lirih.
Raihan mengecup dahi Anindira. “Aku tahu kau masih memikirkan si berengsek itu. Namun, aku yakin sebentar lagi kau akan melupakan semua tentang dia.”
“Bukan itu, Rai.” Ucapan Anindira terhenti. Ganjalan di hatinya semakin membuat mulutnya terkunci.
“Aku mencintaimu, Nindi.”
Anindira tak membalas ucapan Raihan sepatah kata pun. Entah apa yang ada dipikiran Anindira saat itu. Ia hanya ingin semuanya cepat berlalu. Bahkan ketika Raihan menyentuhnya untuk pertama kali, ia tak bereaksi lebih. Anindira hanya membiarkan Raihan melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Adegan ranjang yang terasa sangat hambar. Tak ada gairah yang meluap-luap seperti saat ia bersama Kenan.
Tak seperti pagi biasanya saat Anindira bisa menyembunyikan semua rasa pusing dan mual, pagi ini Anindira benar-benar merasa tidak berdaya. Semua rasa itu menyerangnya tanpa ampun. Anindira hampir tidak bisa mengangkat tubuhnya dari tempat tidur.
"Sayang, sudah jam 07:00. Kau tidak mau menyiapkan sarapan untuk kita?" Raihan membelai pipi Anindira.
"Rai, kepalaku pusing banget." Anindira bahkan sulit untuk membuka matanya.
"Ya, sudah, aku minta Mbok Min saja buatin sarapan untuk kita, ya. Tapi, dimakan. Jangan sampai nggak, ya." Raihan mengecup dahi Anindira. "Pokoknya setelah sarapan kau nggak boleh nolak kalau kita harus ke dokter."
"Rai, aku nggak mau ke dokter."
"Harus. Titik."
Beberapa saat setelah Mbok Min selesai membuat sarapan untuk mereka, Raihan kembali dengan baki berisi sepiring sup jagung favorit Anindira dan segelas s**u. Suami Anindira itu menyiapkan bedtray di pangkuan Anindira dan membujuknya agar ia mau makan, meskipun Anindira terus menolaknya.
"Aku suapin aja, ya." Raihan mengangkat sup jagung dari bedtray.
Anindira tertegun menatap Raihan. Ia berpikir sesaat lalu berkata, "Rai, aku—"
Raihan meletakkan telunjuknya di bibir Anindira. "Jangan bicara dulu. Makan dulu, ya, sedikit saja."
Anindira memberanikan diri mengatakan sesuatu yang selama ini mengganjal pikirannya, "Rai, aku hamil."
"Sayang, kau tahu ini adalah pertanda bagus. Mamaku pasti senang mau punya cucu. Semoga dengan kehadiran anak kita nanti, mamaku bisa berubah pikiran." Raihan mengecup bibir Anindira lembut.
"Rai, aku—"
"Sudah jangan terlalu banyak memikirkan hal itu, ya. Mulai sekarang kau tidak boleh kerja berat-berat. Banyak istirahat dan makan yang banyak biar anak kita tumbuh sehat." Raihan kembali mengecup bibir Anindira lalu mengelus perut Anindira.
Anindira sangat terenyuh dengan perhatian yang diberikan suaminya. Dia tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata dari mulutnya karena menahan tangis. Bukan tangis bahagia tapi tangis kesedihan yang teramat dalam.
***
"Ma, istriku saat ini sedang mengandung. Apa Mama tidak bisa sedikit saja menerima Nindi sebagai menantu Mama," kata Raihan saat dia mengunjungi Dewi.
"Mama tidak suka sama dia. Lagian siapa suruh kau menikah dengan perempuan kayak gitu," balas Dewi geram.
"Perempuan kayak apa maksud Mama? Nindi itu perempuan baik-baik, Ma." Raihan dengan tegas membela istrinya.
"Perempuan baik-baik itu tidak memanfaatkan kebaikan bosnya. Lagipula dia itu materialistis. Dia pasti cuma memanfaatkanmu." Nada sinis mengiringi ucapan Dewi.
"Ma, kalau yang dimaksud Mama dengan Kenan, kenyataannya tidak seperti gosip yang beredar di media sosial itu, Ma." Raihan masih bertahan membela Anindira. Bagaimanapun, Anindira itu istrinya.
"Mama, tetap tidak suka sama dia. Titik!" Dewi menegaskan keputusannya.
Dilain tempat, Anindira merasa dirinya sangat tertekan dengan semua yang terjadi. Gadis itu tak menduga keadaanya akan jadi sepelik ini. Ditolak ibu mertua, kehamilannya, dan kejujurannya pada Raihan.
Setelah beberapa bulan perut Anindira mulai membuncit. Anindira selalu menolak ketika Raihan mengajaknya memeriksakan kandungan ke dokter kandungan. Anindira selalu menghindar sampai suatu saat Raihan memaksanya untuk menemui dokter kandungan.
"Apakah anak kami baik-baik saja, Dok?" tanya Raihan pada dokter kandungan yang memeriksa Anindira.
"Anak Anda sehat, Pak. Dari hasil USG, usia kehamilan istri Bapak sudah 21 minggu. Ya, sekitar lima bulan," jelas dokter itu.
"Apa?! Lima bulan, Dok?" Raihan membelalak tak percaya. Wajahnya memberengut dan matanya berkilat penuh tanya. Amarah berkelebat dalam tatapannya. Penikahannya dengan Nindi baru berjalan tiga bulan lebih.
Anindira hanya terdiam melihat reaksi Raihan. Perasaan bersalah menyelimuti tubuhnya dan frustrasi menyerang inti hatinya. Mereka bergulir menjadi satu menahan tubuh dan mulut Anindira untuk merespon sikap Raihan. Ia sudah menempatkan Raihan pada posisi yang tak seharusnya.