“Sialan! Sasmita sialan!” Umpat Pras dalam setiap langkahnya keluar dari gedung perusahaan menuju basement.
Pras merasa jika sesuatu yang berhubungan dengan Sasmita akan berakhir tidak baik untuk hidupnya! Bah!
Semenjak tau Sasmita akan menikah dan memilih kembali ke kampung halamannya, Pras merasa hidupnya akan tenang. Kakak Iparnya tidak akan lagi memperbudaknya, memintanya memastikan Sasmita baik – baik saja, memintanya ini itu—yang tentu saja akan menyulitkannya.
Tapi sekarang apa? Wanita itu tiba – tiba kembali dan langsung membuat kekacauan!
Baru saja Pras memasuki mobilnya, suara dering ponselnya terdengar. Ia pun segera mengambil ponselnya yang berada di saku celana, lalu mengangkat telepon dari seberang sana. “Bagaimana?”
“Mbak Sasmita setelah bertemu bos di loby dia memang memasuki lift. Tapi setelah itu keluar lagi. Anehnya tidak ada cctv yang merekam Mbak Sasmita keluar dari gedung perusahaan, Bos.”
“Kamu yakin?”
“Iya, Bos.”
“Ya sudah. Kerahkan beberapa orang untuk mencari Sasmita di area kantor. Sekarang!”
Setelah sambungan itu terputus, Pras segera keluar dari mobilnya dan berlari menuju pintu masuk gedung perusahaannya. Namun lagi – lagi ponselnya berdering membuatnya, menggerutu kesal, “Apa lagi?” Bentaknya tanpa mengetahui siapa yang menghubunginya sekarang.
“Kamu sudah menemukan Sasmita, Pras?”
“Astaga Mbak! Aku baru keluar dari ruanganku sepuluh menit lalu.”
“Kenapa kamu lelet sekali, Pras? Kalau Sasmita kenapa – kenapa bagaimana? Kamu mau tanggung jawab?”
Astaga, Si Ratu Drama! Pras menggertakkan gigi kesal. “Iya! Aku akan membawa wanita sia—itu ke Mbak setelah aku menemukannya! Sudah jangan menghubungiku karena itu sangat mengganggu!”
Pras menutup sambungan itu secara sepihak dengan perasaan kesal yang menggerogoti dadanya.
Kini otaknya yang cemerlang itu berpikir, jika jejak Sasmita tidak lagi terekam cctv, lalu wanita itu ke mana? Di manakah tempat yang tidak terekam cctv di perusahaan ini?
Beberapa detik Pras berpikir, ia teringat jika tangga darurat perusahaan ini tidak terekam cctv. Mungkinkah Sasmita ada di sana?
Pras lantas mengayunkan langkah menuju tangga darurat, dia menaiki tangga demi tangga, lalu teringat jika lantai gedung ini ada sebanyak tiga puluh lantai. Bagaimana kabar kakinya nanti?
Hitung – hitung berolahraga, Pras.
Ya olahraga. Pras sudah beberapa hari ini belum berolahraga. Dengan keyakinan teguh, pria itu melewati tangga demi tangga, terkadang juga melangkahi dua tangga sekaligus.
Sampai lantai dua puluh lima, kemeja yang Pras pakai sudah basah oleh keringat. Namun masih ada lima lantai lagi yang harus dilewatinya.
Pras beristirahat sebentar demi menormalkan detak jantungnya.
Dia kembali mengumpat pelan, memikirkan di mana Sasmita bersembunyi. Ini sudah lantai dua lima, dan Pras belum juga menemukan Sasmita.
Dia kembali melangkahkan kaki menaiki tangga, lalu sampai di lantai teratas, Pras mengernyitkan dahi melihat pintu yang mengarah ke rooftop terbuka. Saat dia melewati pintu itu, dia mendengar suara seseorang yang terisak pelan.
Sedikit mengintip, dia melihat Sasmita menangis di pojokkan rooftop ini, dengan kedua kaki Sasmita tertekuk, dan wajahnya bersembunyi di antara kedua kaki.
Pras tentu mengernyitkan dahi bingung. Memikirkan alasan wanita itu menangis.
Masih berduka kah ia? Jika masih berduka kenapa harus di paksa bekerja? Dan menyusahkan Pras!
Demi Tuhan! Pras harus mencarinya dengan menaiki anak tangga yang entah berapa banyak jumlahnya. Demi menemukan Sasmita! Dan Pras baru menyadari, betapa bodohnya dia, mengapa harus bersusah – susah melewati tangga padahal ada lift?
Dan sekarang Pras bingung harus melakukan apa. Menegur Sasmita menurut Pras bukan pilihan yang tepat. Pras memilih melipir ke sebelah kanan dan melihat pemandangan kota Jakarta di siang hari sekarang ini.
Beberapa menit ia hanya berdiri, sembari menikmati semilir angin, Pras baru menyadari jika awan gelap mulai bergerak menutupi sinar matahari di susul suara gemuruh juga kilatan petir.
Pras lantas berbalik, dia tidak ingin kehujanan, terlebih di rooftop ini tidak ada tempat berteduh yang memadai. Pria itu lantas menghampiri Sasmita yang masih dalam posisi yang sama, “Kamu tidak dengar ada suara gemuruh? Sebentar lagi hujan dan kamu masih mau tetap di sini?”
Sasmita tampak terkejut, dia mengangkat sedikit kepalanya, dan Pras bisa melihat mata Sasmita yang merah juga wajahnya yang tampak pucat. “Bapak kenapa di sini?”
“Mencari kamu lah! Apa lagi?”
“Saya masih mau di sini. Bapak kembali saja ke ruangan.”
Pras melotot. Wanita ini mengusirnya? Ckck. Mengusirnya? “Kamu mengusir saya?”
“Saya mau sendiri, Pak. Tolong.”
“Terserah kamu.” Pras memilih berbalik karena sia – sia saja ia menunggu Sasmita di sini.
Dasar wanita tidak tahu di untung! Tidak tahu terima kasih! Gerutu Pras menuju pintu.
Saat ia menarik gagang pintu, ia tidak bisa membuka pintunya. Terkuncikah ia? Hah? Bagaimana bisa?
Pras segera menggedor pintu, berharap ada seseorang yang bisa membantunya membuka pintu ini dari dalam. Lalu ia teringat jika ia bisa menghubungi seseorang untuk membantunya.
Dia merogoh ponselnya yang ada di saku celana, dia segera mencari kontak Ednan dan menghubunginya. Pada dering kedua, tidak terdengar lagi suara dering yang ke tiga, saat Pras menatap layar ponselnya, ternyata ponselnya ini mati!
Oh God! Jerit Pras pilu.
Gerimis pun menyambut, dan langsung di ikuti tumpahan air yang cukup deras dari atas langit.
Pras berbalik ke tempat Sasmita dan wanita itu masih berada di tempatnya dengan posisi yang sama seperti tadi padahal hujan sudah mengguyur cukup deras.
Kesal. Pras menarik lengan Sasmita, hingga wanita itu beranjak berdiri. Pria itu segera merogoh ponsel Sasmita berharap ponsel wanita itu bisa membantunya mengakhiri kesialan hari ini, namun sayangnya, ponsel wanita itu ikut – ikutan mati!
Oh God! Pras mengumpat kecil. “Ini semua gara – gara kamu! Kita akan terjebak di rooftop ini entah sampai kapan!”
“Saya tidak meminta bapak berada di sini.”
Pras lagi – lagi mengumpat. Wanita ini benar – benar!
Pras celingukan, mencari tempat berteduh untuknya, dan ia mendapati ada sebuah pintu tak jauh dari tempatnya sekarang. Ia segera mendekati pintu itu dan membukanya, ternyata itu adalah gudang tempat menyimpan sapu, alat pel – pelan, dan alat – alat yang berguna. Cukuplah untuk berteduh meskipun tempatnya cukup sempit.
Pras kembali menghampiri Sasmita yang lagi – lagi dalam posisi semula, lalu ia menarik wanita itu paksa menuju gudang penyimpanan tadi. “Saya mau tetap di sana, Pak!”
“Kamu bisa mati kedinginan bodoh!” Maki Pras menahan kekesalan.
Hampir sebagian baju Pras sudah basah, sedangkan baju Sasmita sendiri sudah basah kuyup. Pras sedikit memaksa Sasmita masuk, dan pada akhirnya mereka berlindung berdua di gudang berukuran sekitar satu setengah kali tiga meter itu.
“Ini semua gara – gara kamu.” Pras terus menyalahkan Sasmita sebagai biang keladi atas kesialan yang menimpanya hari ini. “Buat apa juga kamu menangis di tempat ini? Jika memang kamu masih berduka, menangis saja di kampung halamanmu sana.”
“Saya tidak meminta Bapak untuk mencari saya.” Sahut Sasmita. “Ya betul, tapi saya terpaksa mencari kamu karena Mbak Siska.”
“Bapak bisa menghindar dan mencari alasan lain.” Ujar Sasmita lirih. Wanita itu duduk di sudut ruangan dengan menekuk kedua kaki. Melihat itu, ada setitik rasa iba mendera hati Pras. “Kalau kamu masih berduka, harusnya jangan memaksakan diri kembali bekerja.”
“Saya rasa sudah waktunya saya melanjutkan hidup.”
“Tapi buktinya kamu masih bersedih bukan?”
Sasmita terdiam, karena menurutnya, ia tidak perlu menceritakan apa yang terjadi hari ini pada Pras. Sedangkan Pras menghela napasnya dan dia duduk sembari menyandarkan tubuhnya di dinding.