Part 10 - Pembalasan

1580 Words
Baru saja kaki Pras menyentuh tanah dan mesin motor belum mati, Sasmita sudah turun dari boncengannya. “Terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Pras mengangguk dan mematikan motor sebelum turun, “Belanja tadi habis berapa, Pak?” “Nggak usah lah.” “Saya nggak mau punya hutang sama Bapak.” “Hutang?” “Iya, saya nggak mau berhutang sama Bapak.” “Apa kamu pikir saya semiskin itu? Sampai kamu harus mengembalikan uang saya?” “Bapak kaya tentu saja.” Ujar Sasmita dengan suara tercekat. “Bapak punya segalanya. Bapak pasti mampu membeli semua.” Pras menarik sudut bibirnya membentuk seringai, “Bagus kalau kamu mengerti.” Pras melangkah, bermaksud memasuki tempat tinggalnya. Baru saja ia menginjak teras pintu, terdengar beberapa pasang motor berhenti tepat di depan pekarangan rumah Sasmita yang cukup luas. Saat Pras menoleh, ternyata ibu bar – bar tadi membawa suami, dan beberapa orang dewasa. Sontak saja, Pras menatap ke arah Sasmita, lalu menyembunyikan Sasmita di belakang tubuhnya. “Lihat itu! Aku benar kan? Janda itu bisa – bisa pulang membawa lelaki baru, padahal suaminya baru meninggal, mungkin saja dia di Jakarta sana memang nge-Lonte.” Dari dalam rumah, Ibu dan adik Pras keluar dengan tergopoh – gopoh. “Ada apa ini, Bu Tuti?” “Itu anak kamu, Sarti. Dia berani menampar aku. Memang selama ini kamu tidak ajarkan sopan santun, hah?” “Benar Nduk?” “Bu Tuti yang duluan menghina, Bu. Dia terus menyudutkan Mita seolah – olah Mita wanita yang nggak benar.” “Memang anak kamu cewek nggak bener! Lihat itu cowoknya. Belum juga enam bulan suaminya meninggal, tapi cowok barunya sudah di gandeng ke mana – mana.” “Hu murahan—“ Sorak beberapa warga yang ikut di sana. “Kalau murah – murah aja kali, Mita. Jangan sok jual mahal.” Ujar Rudi; Si Tukang mabuk anak Bu Tuti. Mendengar Sasmita di ejek seperti itu, membuat Pras merasa marah. Pria itu maju, menarik baju Rudi sebelum memberikan tinju di wajah pria b******k itu. “Saya bukan kekasih Sasmita. Tapi kalau kamu menghina perempuan seperti itu, kamu memang perlu diberi pelajaran!” Tuti yang tidak terima, berbondong – bondong dengan beberapa warga malah melukai Pras. Dia menginjak – injak Pras dan Sasmita yang melihat Pras diperlakukan seperti itu sontak menerobos dan melindungi Pras. Masalahnya, kini Sasmita juga ikut terinjak - injak. “Tolong berhenti!” Raung Sarti dan Saskia. “Tolong..” “Ada apa ini ramai – ramai di rumah saya?” Suwandi yang melihat Pras dan Sasmita di hajar masa sontak membeliakkan mata. “Berhenti! Saya bilang berhenti!” Masa itu tidak mendengar pekikan Suwandi, membuat Suwandi memutar sakelar air dan menyiram orang – orang itu dengan air yang mengalir dari selang. Beberapa warga lantas membubarkan diri. “Pergi kalian! Pergi dari rumah saya! Pergiiiiiii!” Usir Suwandi dengan menyiram orang – orang itu dengan air. Sedangkan, Sasmita di sana tampak panik ketika menyadari Pras menggunakan punggungnya sebagai tameng untuk melindungi Sasmita. “Pak—bapak baik – baik saja?” Tanya Sasmita panik. Pras beranjak dari atas tubuh Sasmita dan berbaring terlentang di atas rerumputan di halaman rumah Sasmita sembari menatap langit. Pria itu lantas tertawa kecil menertawai kejadian yang baru saja terjadi. “Pak, tolong katakan sesuatu!” Pras mengalihkan pandangannya, menatap Sasmita tepat di manik matanya, “Orang – orang itu—perlukah saya memberi pelajaran pada mereka, Sasmita?” ** Pras meringis menahan perih ketika Sasmita mulai mengompres punggungnya dengan es batu. “Pelan – pelan, Sasmita!” Desis Pras. “Ini sudah pelan, Pak.” “Bapak harusnya tadi tidak perlu maju membela saya.” Ujar Sasmita lirih penuh sesal. Pras berdecak, dia beranjak sembari menurunkan kaosnya dan duduk berhadapan dengan Sasmita. “Saya tidak membela kamu. Saya membela diri saya sendiri. Saya nggak suka mereka menuduh saya pacar kamu.” “Oh iya, apa pekerjaan suami Tuti – Tuti tadi?” “Pengawas di pabrik, Pak.” “Anaknya?” “Saya tidak tahu menahu, tapi dulu pernah bekerja jadi sopir angkut hasil perkebunan, Pak.” “Di pabrik dan di perkebunan ada penanggung jawabnya kan?” Sasmita mengangguk, “Suruh mereka menghadap saya.” “Menghadap Bapak? Untuk apa?” “Kerja lah! Apa lagi? Saya di sini mau membasmi kebobrokan orang seperti suami dan anak Si Tuti.” Jelas Pras menahan kejengkelan yang menggebu di dalam dadanya. ** Pagi – pagi sekali di rumah kedatangan dua orang polisi, mereka menahan Pras dan Sasmita atas dugaan penyerangan terhadap keluarga Tuti. “Pak—mereka tidak salah.” Ujar Suwandi mencoba menahan salah satu lengan seorang polisi. “Iya, Pak. Kami mohon—mereka tidak bersalah.” “Kami akan membawa Saudara Pras dan Saudari Sasmita terlebih dulu untuk di lakukan pemeriksaan, Pak, Bu.” “Tapi—Pak..” “Tidak apa – apa, Pak. Saya pastikan saya dan Sasmita akan keluar hari ini juga. Sekarang bapak beritahu penanggung jawab kebun dan pabrik untuk menemui saya di kantor polisi.” “Tapi Nak Pras—lakukan saja, Pak.” Suwandi mengangguk. Sedangkan Sarti dan Saskia menangis melihat Pras dan Sasmita di bawa memasuki mobil polisi. ** Pras dan Sasmita benar – benar hanya berdua di balik jeruji sel. Pras duduk di lantai sembari menertawakan kejadian pagi ini. “Mereka benar – benar mengibarkan bendera perang.” “Maksud Bapak?” “Ya Si Tuti sekeluarga. Siapa lagi?” Pras menatap Sasmita. Wanita itu—yang membuat Pras heran, dia tidak menangis. Padahal apa yang sudah ia lalui dua hari tidak mudah. “Kamu tidak apa – apa?” “Tidak apa – apa. Bagaimana dengan Bapak?” “Ya, kapan lagi saya bisa merasakan rasa dingin di balik jeruji besi.” “Sejujurnya sampai sekarang saya terus bertanya – tanya, mengapa Bapak ada di sini?” “Saya di usir.” “Di usir?” Tanya Sasmita dengan tatapan mata tidak percaya. “Hmm—karena kamu.” “Karena saya?” “Hmm—karena kamu yang tiba – tiba menghil—“ Belum sempat Pras melanjutkan kata – katanya, dari arah luar terdengar suara beberapa orang berbincang, lalu tak lama beberapa orang datang, dan salah satu polisi membuka gembok jeruji. “Astaga, Pak Prasetya. Siapa berani sekali menahan Bapak?” “Maksudnya bagaimana?” Tanya salah seorang polisi yang tadi datang ke rumah. “Kamu tidak tahu? Dia Pak Prasetya! Pemilik kebun dan pabrik yang memperkerjakan warga – warga di sini!” “Astaga! Pak Prasetya. Maaf Pak. Saya tidak tahu.” Beberapa kali polisi itu membungkukkan badannya. Pras yang terlalu jengkel hanya mendengus sinis, dia menarik Sasmita lalu mereka keluar bersama dari balik jeruji itu. “Pak Pras mau di antar ke mana?” Tanya pria bernama Sapto yang menjadi penanggung jawab pabrik. “Pulang lah. Badan saya lengket. Mana kunci mobilmu?” Dengan tangan gemetar, Sapto menyerahkan kunci mobilnya. Setelah Pras menekan alarm mobil itu, dan mengetahui letak mobil Sapto, dia menarik lengan Sasmita dan mereka pulang menggunakan mobil Sapto. ** “Kamu tau tidak kalau orang yang kita hajar habis – habisan adalah Pak Pras! Dia pemilik perkebunan dan pabrik tempat kerja kita, g****k!” “A—apa?” “Kamu bercanda kan, Mas?” Tanya Tuti dengan tangan gemetar. “g****k memang kamu! Mati kita! Mati tahu nggak?” “Lalu apa yang harus kita lakukan Mas?” Rengek Tuti pada suaminya. Haryo terduduk di lantai, dan mengusap rambutnya gusar. “Ya nggak tahu!” TOK TOK TOK! Ada yang mengetuk pintu rumah mereka, membuat Tuti menjadi was – was. “Siapa itu Mas?” “Mana aku tahu. Sana kamu yang buka pintunya!” “Nggak ah takut. Mas aja.” TOK TOK TOK! Ketukan itu terdengar semakin keras. Haryo mau tidak mau beranjak dari duduknya, dia bersama Tuti keluar membuka pintu. Saat pintu rumahnya terbuka, mereka tidak bisa melihat ke depan, lantaran adanya cahaya yang menyilaukan. Sekitar tiga puluh detik akhirnya cahaya itu mati. Namun, Haryo dan Tuti tidak lantas bisa menatap jelas keadaan di sekelilingnya akibat bias cahaya. Di saat mereka sudah bisa menatap cukup jelas, mereka melihat Pras turun dari mobil dengan beberapa orang berseragam di belakangnya. Sontak Haryo dan Tuti jatuh terduduk, ketika melihat Rudi; anak mereka yang di jaga oleh dua orang polisi dengan kedua tangan ter borgol. "Ibuu.. Pakkk.. Tolong Rudi!" "Tolong, Pak. Lepas anak saya. Dia tidak bersalah." Tuti berlari menghampiri Pras dan berlutut dengan wajah yang tampak pucat pasi. Dia memohon ampun, namun Pras yang muak, dia memilih mendekat dan meraih dagu Tuti secara paksa. "Membusuklah kamu dan keluargamu di balik jeruji besi." Guman Pras yang mampu membuat kulit Tuti berdesir karena takut. Ya, Pras kini tampak bukan Pras yang ia lihat pagi tadi. Pras yang ini tampak terlihat begitu mengintimidasi dan menakutkan. Lalu tak lama, dua orang polisi memborgol tangan mereka dan menarik paksa mereka keluar dari rumah. Saat akan melewati Pras, Haryo berlari ke arah pria itu dan bersujud di depan Pras. “Pak Pras. Saya mohon ampuni saya! Saya tidak tahu kalau Bapak atasan kami.” “Lalu kalau pria itu bukan saya. Kamu tetap melakukan hal amoral seperti yang kamu lakukan kemarin begitu?” “Pak Pras.. tolong ampuni saya.” Pras menyeringai. Seringai yang tampak cukup menakutkan, lalu pria itu sedikit menunduk dan berbisik pada Haryo, “Selamat mendekam di balik jeruji, Haryo. Tebus semua kesalahanmu, termasuk eksploitasimu terhadap karyawan pabrik selama ini.” Ujar Pras dengan dingin namun mampu membuat bulu kuduk Haryo merinding.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD