Bab 7. Tunangan?

1382 Words
"Mampus! Kayaknya setelah ini aku bakal disiram jus sama mamanya si Udin. Udah gitu tatapannya tajam banget ke aku. Aku kan jadi takut, sekaligus gemas sama penampilannya yang kece itu. Bisa-bisanya aku kalah dalam hal fashion. Kayaknya setelah ini aku harus belajar fashion dari mamanya Udin." Kata Kalma dalam hatinya. Ia terus menunduk sembari tangannya yang terus berjelimat gugup, merasa begitu bersalah setelah diciduk kalau ternyata dia yang menarik pipi Arka karena pria itu enggan tertawa ataupun tersenyum setelah insiden di toko smartphone tadi. "Duh, gimana ini? Aku harus sapa dia atau diemin aja?" Kalma sengaja mendelik ke arah sampingnya, dimana Arka yang sedang fokus dengan HP baru Kalma. Pria itu begitu fokus, sampai-sampai dia juga tidak bicara dengan mamanya. Satu kata pun tidak keluar semenjak mamanya datang, bahkan sekedar menyapa pun tidak ia lakukan. Dia menganggap mamanya seperti orang asing. Hingga akhirnya membuat Kalma gemas dan mencubit paha Arka. "Aww! Jangan cubit gue, Ndut!" Seru Arka, spontan tangannya menepis tangan Kalma. Tahu kalau mereka menjadi pusat perhatian, Kalma melihat mama Arka yang masih memperhatikan mereka berdua. Dia hanya tersenyum canggung pada wanita paruh baya nan kece di depannya itu. "Gue gak nyubit lo, cuman gue bingung aja mau gimana sama keadaan ini. Masa kita diam-diaman terus sampai nanti malam? Gue kan paling gak bisa kayak gini." Arka menatap mamanya, tapi tidak membuatnya berniat untuk menyapa. "Memangnya kenapa? Lagian mama gue kesini cuman mau belanja aja, gak ngapa-ngapain kok. Dia juga gak ada niatan buat sapa lo." "Gue agak takut sama mama lo, Udin. Tatapannya tajam banget ke gue, kayak garpu yang siap nyolok mata gue gara-gara dekat sama lo, Udin. Gue takut jus yang ada di depannya itu nanti dipake buat siram muka gue, padahal gue gak salah apa-apa. Suka sama lo aja gak, apalagi mau rebut lo dari keluarga lo kayak di drama-drama itu." Kalma menunduk agak takut, tapi Arka tidak mengatakan apapun setelahnya. Suasana kembali hening, tidak ada yang mencoba menyela suasana yang begitu membingungkan ini. "Udin..." Panggil Kalma. Dia juga menyolek paha pria itu. Arka hanya mendehem saja. Dia tidak bertanya alasan kenapa Kalma memanggilnya. "Udin...." Panggil Kalma lagi. Arka menjadi jengah dengan sikap Kalma. "Apaan sih, Ndut? Gue tadi udah jawab lo, ya!" "Sapa mama lo dulu. Jangan diam terus kayak perempuan lagi menstruasi. Gak enak tahu kalau diam-diaman terus kayak gini. Atau jangan-jangan lo anak pungut ya? Makanya gak mau sapa mama lo?!" Arka tetap tidak melakukannya. Dia malah memberikan HP Kalma dan memakan makanan yang ada di depannya. Kalma yang melihatnya pun menjadi gemas sekaligus gedeg bukan main. "Ini si Udin kutu kumpret minta ditampol emang mulutnya pake cobek cabe. Di suruh sapa mamanya aja gak mau. Atau emang bener si Udin anak pungut? Gak bisa membayangkan sih kalau dia beneran anak pungut. Pasti masa kecilnya kurang bahagia." Batin Kalma. Menatap Arka dan mama Arka bergantian. "Lo anak pungut ya?" Tanya Kalma lagi dengan cara berbisik. "Enak aja!. Gue anak kandung!" Bantah Arka. Jawaban Arka sontak membuat Kalma menggebug punggung Arka sampai kentang goreng yang tadi dimakan oleh pria itu terpental menyedihkan. "Makanya kalau gue suruh sapa mama lo, sapa dong! Jangan diam-diaman terus kayak lo anak pungut. Ah elah, lelah gue. Jadi kesal kan gue!" Kesal Kalma. Dia meledak-ledak sampai harus menggebuk punggung Arka. Suara gebukan itu terdengar keras. Sepertinya Kalma mengeluarkan tenaga dalamnya untuk hal itu. "Kenapa lo yang kesal?! Gue sama mama gue aja gak mempermasalahkannya, kok." Balas Arka. Pertanyaan dari Arka membuat Kalma menjadi lemah. Dia menunduk sedih, tidak lagi emosi. Dan semua itu diperhatikan oleh Arka. "Kenapa lo?" Arka bertanya, bahkan pula ia sengaja menunduk untuk melihat wajah Kalma. "Nangis lo?" Tanya Arka lagi. "Gue hanya ingat mama gue. Beliau udah gak ada, dan buat gue jadi sedih. Seharusnya lo jangan gitu. Selagi mama lo masih ada, jangan sia-siakan gitu aja. Nanti lo nyesal, lo bisa dikutuk jadi maling Kundang." Ujar Kalma dengan nada yang sedih. Suara terdengar bergetar, tapi Arka masih tidak percaya kalau dia menangis. "Malin. Bukan maling Kundang. Tapi, Malin Kundang." Koreksi Arka. "Si Udin emang beneran kutu kumpret. Aku udah sedih, suasananya udah melo, dia malah buat aku malu setengah mati di depan mamanya. Kenapa dia gak setuju aja sih sama ucapan aku? Malin sama maling apa bedanya coba?!" Kesal Kalma dalam hatinya. Arka sedikit tertawa. "Gitu aja gak bisa. Atau mungkin pas SD lo sering bolos. Hayoo... Dah ketahuan." Arka mengejek Kalma. Dan lagi-lagi, Kalma mencubit lengan Arka. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya, sampai-sampai Arka berteriak minta ampun, tapi Kalma tidak mau melepaskan. "Ah elah lo! Gue kan gak jadi sedih. Udah melo, lo malah permaluin gue di depan umum. Gue sunat habis punya lo!" Tidak mau kalah, Arka balik mencubit Kalma. Keduanya saling cubit layaknya anak kecil yang sedang memperebutkan barang lucu di depan mereka. Tidak cukup dengan cubitan dua tangan, Kalma menggunakan giginya untuk mengigit bahu Arka. "Habis lo!" Ujar Kalma. Dia kembali mengigit bahu Arka yang terbungkus setelan jas lengkap. Kini, tempat mereka makan sekarang dipenuhi oleh suara teriakan Arka. Banyak yang kasihan dengannya, hanya saja tidak ada yang berani melerai, termasuk mamanya Arka. Mereka menganggap kalau mereka berdua pacaran, bahkan banyak pula yang tersenyum geli melihat kedekatan keduanya. Mereka berdua tidak menyadari kalau perdebatan unyu mereka ini kembali direkam oleh mamanya Arka, dengan senyuman misterius yang ia punya. "Cewek ini harus masuk jadi geng aku. Dia bisa buat Arka jadi seseorang yang berbeda." Batin mamanya Arka, tersenyum geli dengan tingkah dua orang di depannya kini. "Ndut, lepasin gue!" Arka sudah tidak mencubit Kalma, hanya saja Kalma lah yang tidak mau kalah. Dia masih memangsa Arka. "Bilang ampun dulu, baru gue lepas!" "Gak!" Bantah Arka. "Kalo gitu gue gak mau lepasin lo!" Kalma kembali mengigit bahu Arka. Kali ini bahu yang di sebelahnya, yang belum mendapatkan gigitan darinya. "Ampun!" Teriak Arka. "Ampun, Ndut! Lepasin gue!" Tidak digubris oleh Kalma. "Ndut, ampun. Gue nyerah!" "Awww!" Kalma langsung melepaskan dirinya dari Arka. Dan teriakan ringisan tadi adalah dari Kalma. Aneh. "Kenapa?" Tanya Arka melihat Kalma yang menyeka bibirnya. "Tepi bibir gue sepertinya sobek deh. Gigi gue juga berdarah." Jawab Kalma. Dia langsung mengambil tisu di depannya untuk menyeka sumber asin di bibirnya. Dan benar saja, begitu banyak bercak merah di tisu itu. "Tuh kan. Gigi gue berdarah. Semuanya gara-gara lo!" Kalma menyalahkan Arka atas apa yang ia dapatkan. "Lah, kok gue lagi?" Arka mempertanyakan kenapa dia selalu menjadi pihak yang salah. Arka membantah. "Kenapa gue terus yang disalahin? Gue juga gak tahu apa-apa, Ndut. Gue gak tahu kalau gigi lo cepet berdarahnya." "Karena gue cewek." Jawab Kalma singkat. Dia segera meminum es di depannya agar darahnya tidak keluar lagi. "Apa hubungannya, Ndut?!" "Cewek selalu benar. Dan lo harus catat itu!" Perdebatan yang begitu random dari keduanya selalu direkam oleh mamanya Arka. Perdebatan yang seakan-akan dunia adalah milik mereka berdua, namun tidak di isi dengan keromantisan dari pasangan yang sedang dimabuk cinta, melainkan dari dua orang yang gemar bertengkar bahkan sampai rela saling cubit-cubitan manja. Pertengkaran unyu antara si Udin dengan si Ndut. "Khemmm..." Suara deheman dari mamanya Arka membuat mereka berdua tersadar. Arka dan Kalma serentak memperbaiki letak duduk mereka, menjadi lebih sopan dari sebelumnya meski rasa malu itu masih mendarah daging dalam diri mereka. "Mampus. Aku yakin setelah ini dia gak hanya siram aku sama jus, tapi sama saos cabe. Aku udah bikin anaknya teriak kayak mau lahiran, pasti wibawa si Udin turun drastis. Duh... Mampus aku setelah ini." Ujar Kalma dalam hatinya. "Sakit, tapi seru." Pikir Arka, sembari tangannya yang meraba bekas gigitan Kalma sebelumnya di bahunya. "Arka, dia siapa? Cewek bar-bar d isampingmu itu siapa?" Tanya mamanya Arka. Arka menatap Kalma, hanya saja senyuman miringnya tidak bisa diabaikan begitu saja. "Dia babu aku, ma. Kalau dia babu aku, dia juga babu mama. Suruh saja dia, apapun itu pasti dia lakukan." Jawab Arka dengan enteng. Spontan, tangan Kalma menoyor kepala Arka setelah mendengar itu dari pria di sampingnya. "Eh, enak aja lo ya, Udin kutu kumpret!" Mereka hendak kembali saling bantai manja lagi, tapi terdengar suara manis dari belakang mereka hingga mau tidak mau mereka harus berhenti melakukannya. "Arka? Tante? Ngapain kalian di sini?" Kalma menatap perempuan itu, menilai dari atas sampai bawah. "Dia lagi." Batin Kalma. Arka sontak bangun dari tempatnya. Dia memeluk perempuan itu, baik dihadapan Kalma, mamanya atau bahkan dihadapan umum. "Ndut, kenalin dia Agnes, tunangan gue." Deg.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD