9. Tuan Putri

2070 Words
Akhirnya, tibalah hari di mana aku harus pulang dari Korea. Sejak bangun tidur, aku langsung berkemas. Untungnya, sejak awal koperku besar dan masih banyak space kosong. Jadi, untuk pulang aku tidak perlu repot-repot menambah koper atau tas baru. “Ah, yang itu belum kuurus.” Aku berlari kecil menuju meja rias. Di sana, ada paper bag besar dari Mas Fendi semalam. Aku membuka paper bag itu, dan lagi-lagi tertegun. Persis seperti semalam. Bagaimana tidak? Dalam satu paper bag ada sepasang sepatu dan dua tas. Iya, dua tas. Makanya tak heran jika paper bag-nya berukuran besar. Tas pertama adalah tas hitam yang kupilih setelah memilih tas untuk Ibu dan Kakak Mas Fendi, sedangkan tas kedua adalah tas yang menggantung di manekin. Untuk sepatu, dia memilih sendiri. Aku bahkan tak tahu kapan dia membelinya. Herannya, ukurannya sangat pas di kakiku. Warnanya cream, ada sedikit aksen pita dan manik-manik mungil di bagian depan. Ada heels-nya, tetapi tidak terlalu tinggi. Benar-benar cantik! “Aku balikin atau enggak, ya? Kalau balikin, aku enggak ngehargain niat baik orang. Tapi kalau diterima, ini mahal banget! Kalau ditotal, puluhan juta! Aku enggak bisa nerima pemberian semahal ini dari orang baru.” Aku meraup wajah frustasi. Kenapa Mas Fendi harus memberikanku semua ini? Kami bahkan belum cukup dekat untuk saling memberi kado. Apalagi kado yang semahal ini. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan pada Mas Fendi. Dipikir berkali-kali pun, aku tidak bisa menerima ini semua. Aku merasa tertekan. ‘Mas, saya enggak bisa nerima barang-barang ini. Paper bag-nya saya taruh di gagang pintu, ya!’ Setelah mengirim pesan itu, aku buru-buru keluar dan menaruh paper bag dari Mas Fendi di gagang pintu kamarnya. Aku sedikit mengikatnya agar tak lepas. Setelah cukup, aku langsung kembali masuk ke kamarku. Pesanku masih centang satu. Sepertinya Mas Fendi masih tidur. Aku bahkan tak tahu dia ikut penerbangan jam berapa. Bisa jadi sama, bisa jadi lebih lambat. Kalau lebih cepat, sepertinya tidak mungkin. Aku sendiri ikut penerbangan jam sebelas lebih. Nyaris setengah dua belas. “Udahlah, enggak usah dipikirin.” Aku merebah di ranjang karena acara packing-ku hampir selesai. Katakan sudah delapan puluh persen. Aku bisa menyelesaikannya nanti kalau sudah selesai mandi dan sarapan. Ngomong-ngomong, perihal insiden semalam, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Sekalipun sulit, akan kuusahakan. Bagaimanapun juga, insiden itu ada tanpa disengaja. Semua itu terjadi karena segerombolan muda-mudi berisik itu. Tiba-tiba saja, ponselku bergetar. Kuharap itu pesan dari Mas Fendi. Ternyata aku salah. Itu pesan dari Vina. Vina Jam tujuh tepat turun buat sarapan ya, Sil. Aku laper. Dari tadi udah bolak-balik ke kamar mandi. Pesan dari Vina langsung kubalas dengan emotikon jempol. Aku sedang malas mengetik panjang. Bahkan satu kata pun rasanya enggan. Saat ini masih pukul enam kurang. Masih banyak waktu sampai jam sarapan. Akhirnya, aku memutuskan untuk memejamkan mata. Aku ingin tidur sedikit lebih lama. *** “Buset, kamu ambil makanan banyak banget, Sil!” sudah kuduga, Vina akan mengomentari porsi sarapanku. Aku memang sedang lapar, jadi banyak sekali makanan yang kuambil. Kulihat-lihat, menunya juga enak. “Terakhiran, Vin.” Aku terkekeh. “Namanya memanfaatkan yang ada.” Aku sengaja menjawab seadanya agar tak menimbulkan pertanyaan baru. “By the way, semalam kencan sampai jam sebarapa?” Aku yang baru saja menyeruput kuah—tampak seperti kuah sup daging ayam, langsung terbatuk. Vina malah dengan menyebalkannya tertawa. Dia memberiku tisu dan air putih sebagai gantinya. “Kaget amat. Nanya doang, Sil.” Vina memang tahu kalau aku keluar dengan Mas Fendi, tetapi aku sama sekali tak menduga kalau dia akan meledekku dengan istilah kencan. Istilah yang jelas-jelas lebih cocok untuk dirinya dan Kak Alan. “Justru aku yang mau tanya itu, Nyah. Kamu sampai jam berapa kencan sama Ayang?” aku balik meledeknya. Aku jelas tak mau kalah soal ini. “Sampai malam, dong. Kami sampai hotel udah jam dua belas lewat dikit.” “Wow! Enggak nyanggah, nih, aku nyebut Kak Alan Ayang?” “Karena aku udah tahu kamu enggak akan berhenti meledek. Sekarang aku udah ada counter. Semalam aku lihat kamu sama Mas Fendi di pusat perbelanjaan. Dilihat dari kejauhan, kalian udah macem suami istri lagi belanja bersama.” Aku menghela napas pelan. Sebenarnya aku tidak kaget kalau Vina melihatku di pusat perbelanjaan karena memang semalam tempat kami keluar berdekatan. Apalagi, dia juga pasti membeli oleh-oleh untuk orang rumah. “Itu terpaksa karena ada orang jahat yang meninggalkan sahabatnya demi pacar pura-pura yang katanya enggak guna itu. Eh, enggak tahunya betah amat kencannya sampai tengah malam.” Vina malah tertawa lagi. Sepertinya dia mulai baik-baik saja kuledek soal Kak Alan. Bagus, sih, itu artinya ada kemajuan. Tapi jadi sedikit menyebalkan karena di sini dia sudah tahu cara membalas ledekanku. “Sorry, Sil. Ini juga termasuk misi dalam mendapatkan proyek.” “Heleh! Alibi!” Di saat aku dan Vina sedang asik ngobrol, tiba-tiba ada dua orang datang bergabung di meja kami. Aku menoleh, dan aku hampir saja menyemburkan makananku. Untungnya, aku bisa menahan diri. Aku juga masih cukup sigap membekap mulutku. Kini, Mas Fendi sudah duduk di sebelahku dengan wajah santainya. Kak Alan apalagi. Dia sudah menggigit waffle besar dan tersenyum lebar ke arah Vina. “Apa, senyum-senyum? Pergi, sana! Meja makan masih banyak!” Vina mengusir Kak Alan sembari mendorongnya. “Meja ini lebar. Buat berenam saja cukup. Enggak usah serakah. Saya enggak mau pindah.” Seperti biasa, Kak Alan tidak akan mudah menyerah. Apalagi hanya karena dorongan tak bertenaga dari Vina. “Dih! Meski lebar, bukan berarti kami mau berbagi!” “Vina bener, lho, Kak. Meja yang lain masih banyak banget. Kenapa harus gabung di sini?” Aku yang biasanya berada di tim Kak Alan, kali ini sedang ingin berada di tim Vina. Pagi ini aku benar-benar ingin sarapan dengan tenang. Orang yang duduk di sebelahku membuatku tak nyaman. Keberadaannya membawa kembali ingatan semalam. Itu benar-benar menggangguku! “Kamu keberatan, Sil?” tanya Kak Alan. “Iya, keberatan.” Aku meringis. “Nanti kita sampai Jakarta sudah malam. Kamu ikut dengan saya saja, Vin.” Kak Alan si manusia semaunya sendiri ini malah langsung mengalihkan topik pembicaraan. “Enggak mau. Saya sama Sisil mau pesan gocar aja.” “Saya bawa mobil di bandara.” “Ya terus?” “Sekalipun mampu membayar gocar, kenapa menolak kebaikan orang yang sudah menawarimu tumpangan?” “Terima kasih atas tawarannya, tapi saya sama Sisil enggak tertarik.” “Ya sudah. Lihat nanti.” Vina tiba-tiba menatapku, dan aku langsung menggeleng pelan. Aku harap dia menangkap kodeku kalau aku benar-benar tidak mau ikut mereka. Keputusannya menolak sudah sangat tepat. Serius, aku masih sangat malu kalau ingat semalam. Mau berusaha seperti apa pun untuk tidak memikirkannya, tetap saja ingatan itu masih fresh from the oven. Bahkan tekstur bibirnya masih terasa sampai detik ini. Oke, sepertinya aku mulai ngaco! Lupakan kalimat terakhirku! Ngomong-ngomong, Mas Fendi masih diam saja soal paper bag yang kukembalikan padanya. Dia sudah membaca pesanku, tetapi tak membalasnya. Kini, dia malah sibuk sarapan dan tak terlalu menanggapi ocehan orang-orang di sekelilingnya. “Kalian check out jam berapa?” tanya Kak Alan beberapa saat kemudian. Dia pasti sedang berusaha membuka topik baru. “Kenapa mau tahu banget?” Vina menjawab ketus. Diam-diam aku tersenyum. Kujamin, Kak Alan pasti kesal mendengarnya. “Vin, bisa atau enggak kalau saya tanya itu langsung jawab, bukannya malah balik tanya?” lihatlah, rahangnya langsung menegas. “Jam sembilanan.” Akhirnya Vina menjawab, tetapi nadanya ogah-ogahan. “Oke. Kita bareng saja. Nanti Naeun mau mengantar ke Bandara sekalian saya balikin mobil.” “Oke.” “Vin!“ Aku mendelik. Bisa-bisanya dia bilang oke di saat tadi sudah menolak? “Biar lebih praktis karena ini di negara orang. Beda lagi kalau di Jakarta.” Ketika aku hendak melawan, Vina sudah menggeleng pelan. Akhirnya, aku hanya bisa pasrah. “Ya udah, iya.” *** Aku tidak jadi ikut pulang Vina ke apartemennya. Aku memutuskan untuk langsung pulang ke kos dan minta dijemput teman. Untungnya dia setuju. Perkara motorku yang ada di basement apartemennya, bisa kuambil besok. Setelah kupikir lagi, istirahat di kos jauh lebih bebas dan nyaman. Apalagi besok juga langsung kerja. Aku tidak bisa minta libur karena cutiku juga sudah habis untuk pulang kampung waktu itu. “Nyah, duluan, ya! Aku mau dijemput Wiwik,” ujarku begitu balasan dari temanku datang. Dia sudah on the way ke bandara karena kebetulan dia juga sedang di luar. “Ya.” Aku buru-buru pergi mendahului Mas Fendi yang pamit lebih dulu. Aku sengaja melewatinya tanpa megatakan sepatah kata pun. Tadi saat di pesawat kami tidak lagi duduk berdampingan. Namun, masih satu kelas. Kalau tidak salah, dia duduk dua baris di belakangku. Setibanya di luar, aku mengecek pesan dari Wiwik. Dia hampir tiba. Dia sedang antri di lampu merah terakhir sebelum bandara. “Sisil ...” Aduh! Mas Fendi menyusulku. Kini dia sudah berdiri tepat di sampingku. “Apa?” balasku pelan, tanpa menoleh. Aku malah sengaja memalingkan pandangan. “Jadi setelah apa yang kita lalui selama di Seoul, kamu memilih untuk kembali merasa canggung seperti ini?” “E-enggak, kok.” Aku menggeleng pelan. “Perasaan biasa aja.” “Biasa aja apannya? Kamu mengabaikan saya sejak tadi pagi. Pemberian dari saya juga kamu tolak. Kalau kamu malu karena insiden yang terjadi kemarin malam, jadi siapa yang akan kita salahkan? Mereka? Memangnya akan mengubah apa yang terjadi setelahnya? Enggak, kan?” Aku menarik napas pelan, lalu kuberanikan diri menoleh. “Kalau gitu, kita lupakan saja yang kemarin malam. Oke?” “Sayang sekali, saya bukan tipe orang yang mudah melupakan. Entah suatu hal, atau seseorang. Bahkan yang sudah bertahun-tahun sekalipun.” Entah kenapa, aku menangkap sorot tak biasa dari mata Mas Fendi. Seolah-olah, dia sedang menyampaikan maksud tertentu. Ataukah aku saja yang sok tahu? “A-ah ... kalau gitu, gimana kalau pura-pura enggak pernah terjadi apa-apa? Seperti kemarin, enggak bahas lagi soal saya yang ... mabuk.” Suaraku melirih di ujung kalimat. Jujur, sampai detik ini aku masih sangat malu kalau mengingat soal aku yang sempat mabuk. Sekalipun tak disengaja, tetapi tetap saja efeknya nyata. “Oke, tapi dengan satu syarat.” “Syarat lagi? Mas Fendi ini apa-apa ada syaratnya.” “Lagi pula, syarat dari saya menguntungkanmu.” “Apa memangnya?” “Terima pemberian saya kemarin. Tolong jangan ditolak.” “Tapi itu banyak banget, Mas. Memangnya kita udah cukup dekat buat saling kasih hadiah? Enggak, kan? Enggak, dong!” Mas Fendi malah tersenyum. “Memang belum, tapi bagaimana kalau saya usahakan?” “M-maksudnya gimana—“ “Sisil! Gue udah sampai, nih!” Pembicaraanku dan Mas Fendi terinterupsi suara Wiwik. Ternyata anak itu sudah datang. “Wihhh, pacar baru, nih!” seru Wiwik yang membuatku mendelik. “Kenalin, dong, Sil!” “Ssst! Diem!” Aku kembali menatap Mas Fendi. “Teman saya udah jemput. Saya pulang dulu—“ “Syaratnya masih berlaku. Kamu pilih terima syarat dari saya, atau saya ungkit kejadian selama di Korea ke Alan dan Vina? Termasuk mabuk, muntah, juga insiden—” “Jangannn!” mataku melebar marah. “Awas aja kalau Mas Fendi berani!” “Makanya terima.” “Ya udah, buruan. Kasihan teman saya nunggu lama.” Mas Fendi membuka koper besarnya, lalu mengambil kotak besar warna hitam. Serius, isi koper Mas Fendi rapi sekali. Dia memilah-milah barangnya dengan travel pouch, dari yang besar sampai yang kecil. “Ini.” “Aseeek! Dapat hadiah dari pacar!” “Diem, Wik!” Aku mendelik. “Sil, cepet ambil.” “Iya, ih!” Aku menerima kotak besar dari Mas Fendi, lalu menatapnya sejenak. “Terima kasih. Udah, ya, saya mau pulang.” Aku buru-buru mengahmpiri Wiwik yang sejak tadi tak turun dari mobil daihatsu ayla-nya. Mobil mini yang sering dia bawa kemana-mana. “Eh, pacarmu ke sini, Sil!” “Hah?” Aku yang baru saja masuk mobil setelah sebelumnya meletakkan barang bawaan di jok belakang, langsung menoleh. Benar saja, saat ini Mas Fendi sedang berjalan ke arahku. “Mau apa lagi, Mas?” tanyaku mulai kesal. “Saya mau bicara dengan temanmu.” “Lah! Kok?” “Gimana, Mas, gimana?” sahut Wiwik. Anak itu sudah mengulum senyum penuh ejekan. Mas Fendi kini menunduk, seolah-olah dia benar-benar ingin bicara dengan temanku ini. Dia menatapku sejenak, lalu tersenyum pada Wiwik. “Tolong hati-hati bawa mobilnya. Pastikan Tuan Putri pulang dengan selamat.” Demi apa pun, rahangku hampir saja longsor mendengarnya. Maksud dia apa bilang begitu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD