Akhirnya, hari ini tibalah saat di mana aku harus berangkat ke Korea. Tujuan utama ke sana memang untuk bekerja, tetapi aku tidak boleh menyia-nyikan kesempatan. Aku harus mencicipi kulinernya, juga menikmati beberapa destinasi wisatanya.
Jujur, aku sedikit merasa bersalah dengan Vina. Aku benar-benar seperti perngkhianat karena mau bekerja sama dengan orang yang dia benci.
Sebenarnya, alasan aku mau bekerja sama dengan Kak Alan adalah karena aku mendukung usahanya dalam mendapatkan Vina. Perkara dia memberiku uang ganti rugi, itu bonus.
Aku hanya merasa keduanya sepadan. Mereka sama-sama cantik dan tampan, sama-sama berpendidikan, sama-sama kompeten, sama-sama kaya, dan masih banyak lagi kesamaan yang membuat mereka semakin cocok. Yang paling penting, mereka sama-sama orang baik.
Tak terhitung berapa kali mereka membantuku di saat kesulitan. Vina yang sering mengirimiku makanan, juga Kak Alan yang pernah memberiku laptop setelah tahu aku tidak memiliki benda itu untuk simulasi menjelang lomba di Singapura. Belum lagi, dia juga beberapa kali menawariku kerja meski pada akhirnya kutolak. Kebaikan mereka tak bisa kulupakan begitu saja.
Tidak hanya perkara kesamaan, ada aspek yang berlawanan sehingga mereka bisa saling melengkapi. Itulah kenapa aku rela menjadi ‘pengkhianat’ demi mereka bisa bersatu.
“Aku ngerasa berdosa sama kamu, tahu, Sil. Masa aku naik kelas bisnis, kamunya naik kelas ekonomi?” Suara Vina membuyarkan lamunanku.
“Ekonomi premium, Nyah. Tenang aja kenapa, sih?”
“Hotel juga. Kamu milih yang beda lantai sama aku.”
“Harganya menggila yang lantai tujuh ke atas. Aku enggak tega buat laporannya. Udah, jangan bahas itu lagi.”
Saat ini aku dan Vina sedang berada di taksi menuju bandara. Kak Alan baru saja mengabari kalau dia sudah berangkat. Kemungkinan tiba di bandara hampir bersamaan.
“Kamu kenapa dari tadi cek hape mulu?” tanya Vina sembari melirik ponselku yang sejak tadi kugenggam.
“Aku cek jam, takut kita telat.”
“Bandaranya enggak terlalu jauh ini. Harusnya aman.”
“Iya, sih.”
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku yakin ada pesan dari Kak Alan. Benar saja, memang dari dia.
Kak Alan
Saya sudah sampai.
Kalian di mana?
Aku segera membalas, ‘Bentar lagi sampai. Maksimal lima menit.’
Empat menit kemudian, aku dan Vina akhirnya tiba di bandara. Aku tidak menemukan ada Mas Alan di dekat check in counter. Barangkali dia sudah melakukannya dan bersembunyi entah di mana.
“Check in sekarang aja, Nyah. Mumpung enggak begitu ramai. Antrian imigrasinya juga enggak terlalu banyak.”
“Oke.”
Aku dan Vina berpisah karena pesawat kami beda kelas. Setelah mengurus semuanya, aku langsung menuju ruang tunggu. Sesampainya di sana, aku menghubungi Kak Alan. Ternyata dia menunggu di sudut—entah sudut mana. Katanya sengaja agar Vina tidak tahu keberadaanya.
“Ehm!” tiba-tiba saja, terdengar deheman yang agak keras. Aku refleks menoleh, kini ada laki-laki bermasker berdiri satu meter di sampingku.
“Masnya mau duduk sini?” Aku bergeser. “Silakan.”
Laki-laki itu duduk di sebelahku, padahal masih banyak tempat kosong. Seketika, wangi maskulin langsung menyerbu indra penciumanku. Wangi parfumnya enak sekali. Aku yakin harganya pasti mahal.
“Saya sekretarisnya Alan.” Laki-laki itu mengulurkan secarik kartu nama. Aku menoleh lagi dan menerima kertas mungil itu.
Fendi Atma D. Bumi-Tech.
Mataku mendelik begitu membaca nama itu. Ini bukannya nama yang ada di stiker mobil hitam di panti asuhan? Aku buru-buru merogoh ponsel dan mengecek hasil jepretanku waktu itu.
Ternyata benar! Laki-laki sore itu adalah orang ini, yakni sekretaris Kak Alan.
“Kamu mau diam saja seperti itu?”
“O-oh, maaf, maaf.” Aku meraih dompetku dan balik menyerahkan kartu nama. “Saya Sisil, sekretarisnya Vina.”
Laki-laki itu menerima kartu namaku, lalu manggut-manggut. Entah kenapa, tiba-tiba aku berdebar tanpa alasan yang jelas.
“Alan sudah kasih tahu kenapa saya ada di sini sekarang?”
Aku mengangguk. “Sudah, tapi sebenarnya enggak harus sampai seperti ini, sih.”
“Uang ganti ruginya lumayan. Sayang kalau tidak diambil.”
Mendengar itu, mau tak mau aku tersenyum. “Benar. Bukan lumayan lagi. Itu banyak sekali!”
Hening. Aku diam, laki-laki di sebelahku juga diam.
Tak biasanya aku segrogi ini dengan orang asing. Dia bahkan belum menunjukkan wajahnya karena masih mengenakan masker.
Untuk beberapa saat lamanya, kami benar-benar tak saling bicara. Aku masih tetap diam, dia pun tak berinisiatif membuka obrolan.
“Sudah waktunya kita naik.”
“A-ah, iya.” Aku buru-buru berdiri dan jalan lebih dulu. Aku jalan cepat, sementara dia jalan pelan di belakang.
Setibanya di pesawat, aku segera mencari kursiku. Aku senang karena bisa dapat kursi dekat jendela. Tidak perlu naik kelas bisnis. Naik kelas ekonomi premium pun menurutku sudah cukup bagus. Mungkin karena selama ini aku selalu naik di kelas ekonomi biasa. Jadi, sekalipun hanya naik satu tingkat sudah membuatku bahagia.
“Kamu duduk di sini ternyata.”
Laki-laki itu datang lagi dan duduk di sebelahku. Jujur, aku masih kikuk menyebut namanya sekalipun sudah tahu.
“Ya bagus. Nanti kalau turun kan enak. Lagian satu hotel juga, kan?” aku berusaha membalas sesantai mungkin.
Aku tidak mungkin terus kikuk, sedangkan besar kemungkinan kami akan terlibat banyak interaksi selama di Korea. Aku yakin seratus persen, Kak Alan akan mencari seribu cara untuk mengajak Vina keluar dengannya. Dengan kata lain, aku akan banyak menghabiskan waktu sendiri. Dengan kata lain lagi, dia mungkin akan meminta sekretarisnya mengurusku.
Kak Alan itu tipe orang yang sangat peduli. Casing-nya saja yang terkesan angkuh. Dulu saat dia menjadi mentorku dan teman-teman, dia selalu memastikan kami tidak telat makan. Tak jarang pula dia merogoh kantongnya sendiri. Ya, dia memang sebaik itu.
“Iya. Kamar kita pun bahkan satu lantai dan berdampingan.”
Aku berhedem pelan, lalu duduk menyerong menghadapnya. Aku harus melakukan sesuatu agar tidak serba canggung seperti ini.
“Ngomong-ngomong, saya harus manggil apa? Pak Fendi?”
“Pak?” Matanya melebar sesaat. “Memangnya saya setua itu? Jangan panggil saya dengan sebutan Pak. Saya dan Alan seumuran”
Aku meringis. “Tapi enggak mungkin, dong, saya manggil dengan sebutan Kak juga kaya ke Kak Alan? Kalau Kak Alan, itu karena ada cerita di baliknya. Mau ngubah, udah sulit. Dia juga baik-baik saja dipanggil begitu.”
“Tadi kamu manggil saya apa waktu di ruang tunggu?”
Aku terdiam sejenak. Memangnya aku manggil dia dengan sebutan apa?
“Ah ... Masnya, ya?”
“Hm. Panggilan itu terdengar lebih masuk akal daripada panggilan Pak.”
Aku tersenyum, lalu mengangguk. “Baiklah, Mas Fendi. Salam kenal.” Aku mengulurkan tangan. “Salaman dulu, biar afdal.”
Dia akhirnya mengulurkan tangan dan menjabat tanganku, baru setelah itu menarik turun maskernya. Kini, aku mendadak nge-freeze. Pasalnya, aku baru tahu kalau ternyata sekretaris Kak Alan setampan ini.
“Salam kenal juga. Senang bertemu ... denganmu, Sisil.”
“I-iya.” Aku tersenyum lagi, lalu buru-buru menarik tanganku. Aku juga bergeser ke samping, sengaja menjauh.
Kenapa jantungku berdetak sangat cepat begini? Tidak, harusnya ini tidak boleh!
***
Sayup-sayup aku mendengar pengumuman dari pihak pesawat. Sepertinya sebentar lagi sampai. Tujuh jam perjalanan jelas bukan waktu yang sebentar.
Aku menguap pelan. Tidak perlu menutup mulut karena aku mengenakan masker. Aku sudah terbiasa mengenakan benda ini saat di transportasi publik. Jujur, aku takut tidurku menganga dan dijadikan bahan bercandaan.
“Aduh, pegel bangeeet.” Niat hati aku hendak meregangkan tangan, tetapi aku malah meninju sesuatu yang kenyal dan keras di saat bersamaan.
Seketika, mataku terbuka lebar. Mataku semakin melebar lagi begitu menyadari posisiku. Aku langsung menegakkan badan, tetapi di saat yang sama leherku seolah ketarik.
“Argh!” aku refleks memegangi leher karena rasanya sakit bukan main.
“Makanya pelan-pelan.”
Aku melirik laki-laki— maksudku Mas Fendi, lalu memunggunginya. Aku mukuli dahiku berkali-kali karena malu. Bagaimana mungkin aku dengan santainya tidur di pundaknya?
“Lehermu masih sakit?” tanya Mas Fendi pelan.
“I-iya. Sakit banget.”
“Hadap sini.”
“Hah?”
“Cepat!”
Aku patuh.
“Diam dan tahan.”
Aku refleks menahan napas ketika Mas Fendi meraih kepalaku. Dia menyentuh beberapa titik, lalu menariknya sampai menimbulkan bunyi ‘krek’.
“Coba sekarang gerakkan kepalamu.”
Aku menuruti permintaannya. Ajaib! Rasa pegal dan sakit yang sebelumnya, kini sudah hilang tak berbekas.
“Wah … udah enggak sakit sama sekali.” Aku menggerakkan kepalaku lagi. “Makasih, M-mas …”
“Ya.”
Aku memperbaiki posisi dudukku, lalu meliriknya. Dia kini sudah kembali mengenakan masker.
“Kenapa? Apa yang mau kamu katakan?” tanyanya pelan. Dia mungkin sadar betul sejak tadi aku berkali-kali meliriknya.
“S-saya mau minta maaf untuk yang b-barusan. Saya enggak sengaja.”
“Oh, itu. Tidak perlu minta maaf. Bukan masalah besar.”
Aku hanya mengangguk, tidak membalas lagi. Aku memutuskan untuk bergeser dan menatap jendela. Sampai pesawat benar-benar mendarat dan kami keluar, kami tidak lagi berbicara sepatah kata pun.
***
“Dinginnya bikin mau nangis.” Aku menggigil begitu keluar Bandara Incheon. Padahal, jaket yang kukenakan sudah sangat tebal. Aku membeli jaket ini khusus karena akan pergi ke Korea. Kalau tidak, aku mungkin tidak akan pernah membelinya.
“Ini pertama kalinya ke negara bermusim dingin, Sil?”
“Iya, makanya kaget banget.”
“Bibirmu sampe biru. Tunggu taksi datang, kita langsung ke hotel.”
“I-iya.”
Tadi begitu keluar pesawat, Vina sudah menungguku. Aku tidak lagi mempedulikan Mas Fendi ke mana. Besar kemungkinan dia mencari Kak Alan.
Setelah naik taxi, kami hanya butuh dua puluh menitan sampai tiba di hotel. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya gigiku bergemeretak. Suhu udara Jakarta dan Seoul benar-benar kontras. Aku tidak pernah membayangkan dinginnya akan sampai seperti ini.
Ngomong-ngomong, aku sempat panik ketika Vina curhat kalau dia duduk berdampingan dengan Kak Alan. Untungnya, aku bisa cepat menyahut kalimatnya dengan balasan yang spontan dan aman. Dia juga kelihatannya tidak curiga sedikit pun. Aku bersyukur karena tidak ketahuan.
“Lantai berapa, Vin?” tanyaku setelah kami masuk lobi. Sebenarnya, pemesanan hotel dilakukan olehku, tetapi pemilihan kamar dilakukan oleh Vina. Jadi, aku lupa dia menginap di lantai berapa.
“Aku sembilan.”
“Aku lima. Ya udah, kita pisah di lift.”
“Besok jam enam kamu harus udah naik ke kamarku.”
“Siap, Nyah.”
Setelah mengurus check in, kami bergegas menuju lift. Aku sudah tak sabar ingin cepat sampai di kamar. Pasti nyaman sekali bergelung di bawah selimut tebal.
“Tunggu-tunggu!” Tiba-tiba, terdengar suara laki-laki yang kukenal. Aku dan Vina refleks menekan tombol lift agar kembali terbuka.
Ternyata, Mas Alan dan Mas Fendi. Tak kusangka mereka datang lebih lama. Aku langsung bergeser ke sudut, memberi ruang untuk mereka. Kulihat Mas Fendi sempat menatapku, tetapi aku langsung mengalihkan pandangan. Jujur, aku masih malu kalau ingat kejadian di pesawat.
“Ketemu lagi, Vin,” ucap Mas Fendi yang membuatku ikut menoleh.
Mas Fendi kenal Vina? Kok aku baru tahu? Bukannya waktu itu Vina juga tidak tahu siapa sekretaris Kak Alan?
“Iya, Mas.”
“Eh, harusnya aku enggak boleh panggil kamu Vina aja, ya?”
“Oh, enggak papa. Panggil kaya biasanya aja.”
“Kalian kenal?” tanya Kak Alan.
“Kenal. Mas Fendi asdos saya dulu.”
Kak Alan mengangguk. “Oh ...”
Ah, ternyata asdos. Pantas saja namanya terdengar tak asing. Wajar kalau Vina kenal sementara aku tidak. Pasalnya, dulu saat kuliah kami sering beda kelompok.
Aku juga tidak tahu Mas Fendi ini asdos mata kuliah apa. Aku hanya ingat asdos-ku saja, bukan asdos kelompok lain. Aku bahkan tak yakin Mas Fendi ini kakak tingkatku berapa tahun.
Lift akhirnya berhenti di lantai lima, lantai tempat aku menginap. Aku keluar lebih dulu, dan Mas Fendi menyusul kemudian.
“Lho? Nginep di lantai lima juga, Mas?” tanya Vina pada Mas Fendi.
“Iya, patuh sama yang mesenin.” Mas Fendi melirik Kak Alan dan Vina langsung mengangguk paham.
Lift kembali tertutup, suasana seketika hening. Sungguh, aku benci atmosfer ini!
“Ehm!” aku berdehem pelan, lalu pergi ke lorong sebelah kiri. Namun, baru dua langkah, tas ranselku sudah ditarik. “Kenapa tarik-tarik, Mas?
“Kamu menginap di 505, kan?”
“Kok tahu?”
“Bukannya kamu bilang ke Alan?”
“Eh ... iya juga.”
“Kamu lihat panah itu.” Mas Fendi menunjuk papan panah yang ada di dekat dinding. “Kamar 501 sampai 510 ada di kanan. Yang kiri untuk 511 sampai 520.”
“Oh iya.” Aku meringis. “Ya udah, saya ke sana dulu.”
Aku buru-buru berjalan ke arah kanan dan mencari kamar nomor 505. Dapat! Kamarnya ada di paling ujung.
“Saya menginap di 507,” ucap Mas Fendi begitu dia berdiri di pintu yang berada tepat di sebelah pintu kamarku. “Kalau butuh apa-apa, jangan ragu untuk bilang. Kata Alan, ini pertama kalinya kamu ke Korea.”
“Iya, ini memang pertama kalinya. Ya sudah, saya masuk dulu—”
“Bagaimana kamu akan menghubungi saya kalau nomor saja tak punya?”
“Oh! Benar juga.”
Aku langsung gerak cepat mengambil ponselku dan menyerahkannya pada Mas Fendi. Seolah-olah, ini gerak refleks.
Mas Fendi pun langsung menerima ponselku dan mengetik nomornya dengan cepat. Begitu selesai, dia memanggil nomor itu dan menyudahinya dalam hitungan detik. Ya, hanya miss call.
“Oke, cukup.” Mas Fendi tersenyum dan mengembalikan ponselku. “Selamat malam, Sisil.” Dia menempelkan card lock pada pintu lalu segera masuk kamarnya.
Aku sendiri masih berdiri mematung di tempat. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa ada yang aneh di sini.
Sebentar ... kenapa aku merasa seperti baru saja dirayu? Atau aku saja yang berlebihan?
***