**
Mereka begitu dekat dan mesra. Bak kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Suamiku memeluk pinggangnya dan tangan yang satunya membelai bagian belakang wanita itu dari balik gaun punggung terbukanya. Sedangkan si wanita melingkarkan kedua tangannya di leher Mas Aldo. Mereka saling pandang dan lalu saling menukar rasa rindu satu sama lain lewat pagutan asmara dan sentuhan-sentuhan penuh rasa.
Tungkaiku lemas, menyaksikan adegan mereka. Pandanganku mengabur oleh air mata, serangkan telingaku terasa tuli dengan keramaian sekitar, bagai adegan slow motion semua, yang ada di sekitarku kabur dan hanya mereka sebagai fokus. Sepasang kekasih yang tak saling melepaskan.
Aku ... bisa saja aku menghampiri dan melabrak mereka, menumpahkan segala rasa emosi dan kecewa yang berkecamuk dan wanita itu, aku juga bisa memukulnya hingga babak belur, namun mempertimbangkan kehormatan diriku yang harus bergelut di sebuah lounge hotel bintang lima bersama kekasih suamiku, menggelikan.
Belum lagi jika respon Mas Aldo malah membela kekasihnya, maka harga diriku akan sukses berkeping-keping.
Kuseret langkah dengan berat menuju parkiran, mencari mobil, membuka pintunya lalu menghempaskan diriku di kursinya. Kutatap wajahku di kaca mobil, amat menyedihkan. Sekelebat bayangan adegan barusan dan kilauan cincin di tangan yang baru suamiku sematkan, membuatku semakin hancur.
"Arrgg ... tega kau, Mas!" teriakku di mobil.
Kututup wajahku dengan kedua belah tangan, hatiku sesak sekuat apa pun menahan, tetap saja aku akhirnya tergugu dengan nada yang amat menyayat memilukan.
Katanya,
"Aku akan selalu mencintaimu dan menyayangimu sayang, tidak akan kubiarkan kamu merana sedetikpun oleh perlakuanku," begitu ucapnya di malam pertama pernikahan kami.
Dan sekarang, aku semakin mengingat semua kenangan manis yang ia lakukan padaku, cara ia merangkul, cara ia menyentuh dan cara ia menatapku dengan mata tajamnya yang penuh cinta, mampu menghipnotisku untuk berbuat apapun demi mereguk madu asmara dan mengarungi bahtera kehidupan, hanya dengannya saja.
Kini apa?
Semuanya musnah, terbakar sudah.
Tring ...
Ponselku berdering.
Ada namanya tertera di layar ponsel. Kugeser tombol gagang dan meletakkan gawai di telinga.
"Halo," desisku lirih.
"Sayang kamu dimana? Kok pergi ga bilang-bilang sih?"
Jujur aku ingin muntah mendengarnya, palsu.
Dengan menahan Isak tangis kujawab, "aku merasa gak enak badan, jadi kuambil kunci mobil dari penitipan dan pulang duluan."
"Biar aku antar ya, sayang," pintanya.
"Gak usah, aku sudah jalan duluan." Aku membual.
"Ya udah, kebetulan aku di telpon kawan, jadi mereka mau reunian di club', aku boleh pergi yah," katanya.
Masa bodoh! Aku sudah muak.
"Terserah ... ," Jawabku lemah.
Kututup telpon dan masih terpaku di dalam mobil, di parkiran. Aku terlalu lemah untuk mengemudikan mobil saat ini.
Tak lama berselang ia dan wanita itu datang dari arah depan menuju parkiran. Berjalan mesra dan tangan wanita itu terkait di lengan suamiku. Manja sekali dia.
Mereka memasuki mobil merah, tapi sebelum masuk mereka bermesraan lagi, dengan saling ... .
Menjijikkan. Tak tahu malu.
Perlahan mobil meninggalkan basement, kunyalakan juga mesin mobilku. Menarik persneling lalu menginjak gas, mengikuti kemana arah mereka akan pergi.
Sekarang mobilnya tepat berada di depan mobilku. Lampu mobil mereka menyala dan aku bisa melihat adegan di dalamnya.
Ya Tuhan, mereka bahkan tidak berfikir bahwa ini jalan raya dan lampu merah. Dimana ada banyak mobil dan pengendara yang bisa saja mereka memperhatikan kegiatan Mas Aldo dan kekasihnya. Wanita itu begitu beringas bagai macan lapar yang baru menemukan mangsanya.
Terus bergelayut, menarik, mencium, dan ...
Ya Allah, memalukan sekali!
Dasar wanita jal***
Mobil memasuki halaman sebuah rumah di komplek yang tidak begitu padat. Tempat tinggal wanita itu bukan komplek elit, sehingga aku dengan mudah bisa mengikuti mereka sampai depan rumahnya. Mobilnya masuk dan garasinya ditutup.
Perlahan kutepikan mobil, kulepas sepatu dan mengendap-endap, membuka gerbang perlahan lalu memasuki pekarangan rumah wanita itu.
Pintunya tertutup, namun jendelanya terbuat dari kaca sehingga aku masih bisa melihat kegiatan mereka di balik gorden yang tersingkap sedikit.
Mereka saling peluk, saling memadu kasih, mesra. Perlahan wanita itu melucuti kancing jas suamiku dan begitu pula Mas Aldo dengan aksi buasnya segera melepas penutup tubuh wanita itu.
Di ruang tengah, di sofa itu, mereka berkasih mesra dan aku di luar rumahnya, terduduk lemas di kegelapan, menyender di dinding dingin dan tergugu sendiri. Tanpa teman atau kekasih yang mendampingi.
Sakit ... Sakit sekali.