2007
“Berhati-hatilah bercanda tentang takdirmu.
Karena apa yang kamu ucapkan,
meski hanya sekadar banyolan,
bisa saja terkabul dengan cara tak terduga.
Mungkin bukan sekarang.
Tetapi nanti.
Saat itu … bisa jadi kamu sudah lupa segalanya."
Chana – Pertama Kali Bertemu
⠀
Kedua remaja itu berlarian melintasi taman. Tawa dan senyuman merekah di bibir mereka. Kilat di mata mereka berbinar ceria. Salah seorang gadis mengenakan kacamata, berambut ikal sebahu dengan kulit kecoklatan. Bibirnya yang penuh, berkedut cemberut dengan mata melotot pada gadis satunya yang tengah meleletkan lidah ke arahnya. Bergoyang-goyang senang.
“Aku duluan yang cup!” sorak gadis satunya sambil menunjuk sebuah rumah megah dengan menara. Menandai wilayah kekuasaannya.
Rumah itu paling mewah dan paling asri di antara semua rumah yang telah mereka temukan di komplek perumahan elite ini. Walaupun … yeah …, sudah ada beberapa rumah sebelum ini yang mereka klaim menjadi milik mereka.
Perumahan Elite Puri Nirwana aka Nirvana Castle. Lebih dari 90.000 kalangan milyarder baik dari deretan pengusaha, selebriti, sampai pejabat baik lokal maupun internasional berebut mendapatkan rumah atau bangunan usaha di sana. Bukan hanya karena letaknya yang strategis, namun juga pemandangan asri yang disuguhkan menambah daya tarik tempat itu sendiri. Fasilitas di dalamnya juga begitu lengkap.
Sementara itu, dua gadis nakal ini jelas bukan termasuk dari kalangan atas tadi. Mereka hanya anak dari keluarga sederhana yang kebetulan beruntung mendapat kesempatan diizinkan bermain sebentar di area ini. Semua itu karena Paman gadis yang berkacamata adalah Kepala Security Puri Nirwana. Kalau bukan karena itu, jangan harap mereka bisa melangkahkan kaki, bahkan mengintip sekali pun di tempat ini.
Gadis yang merasa menjadi pemilik baru rumah tadi, dengan penuh percaya diri melangkah ke depan pagar besi yang tinggi dan megah.
“Ayo cepat masuk ke rumahku. Maaf kalau masih berantakan, aku baru pindahan soalnya,” aktingnya sok serius. Matanya yang sipit mengedip membuat gerakan mengundang untuk masuk. Ia merogoh kantongnya, seakan meraba kunci rumah.
Gadis berkacamata terkikik kecil memegangi perutnya. Temannya ini memang kadang suka sok aksi, tapi lucu.
“Rumah kamu bagus banget, ya …,” ucap gadis berkacamata mengimbangi akting temannya.
Mereka menatap takjub hamparan pemandangan di hadapan mereka.
Pekarangan di balik pagar besi yang tinggi dan kokoh ini begitu luas. Ditumbuhi banyak pohon cemara, tanaman hias, berbonggol-bonggol bonsai membentuk toppiary bulat, melengkung, oval, ada yang tinggi, ada yang rendah, ada pula yang menyerupai gua. Jalan menuju rumah juga berkelok-kelok laksana badan ular yang bergerak. Di tengahnya dihiasi jembatan mugil yang di bawahnya terdapat kolam buatan.
Di ujung kanan sana, setelah melewati jembatan, terlihat pendopo yang dihiasi tanaman gantung. Di sisi kiri dan kanannya ditumbuhi pohon cemara yang seakan menaungi pendopo tersebut. Terlihat sejuk dipandang.
Dari jauh, tampak beberapa tangga kecil sebelum masuk area teras beranda. Pagar kayu berwarna putih melingkari teras tersebut. Beberapa tanaman hias menggantung di eternit. Menampikan bunga-bunga gantung beraneka warna yang menjuntai anggun.
Kedua gadis tadi melongo tanpa mereka sadari. Istana di hadapan mereka tampak begitu nyata. Ralat, bukan istana. Ini pemandangan surga!
“Senangnya … kalau bisa tinggal di sini …,” desah gadis bermata sipit kagum. “Suatu saat nanti aku ingin tinggal di rumah seperti ini.”
Temannya turut mengangguk sepakat. “Pamanku bilang, rumah di tempat elit ini disebut mansion.”
“Oo … begitu ….”
“Jadi …,” ucap gadis berkacamata serak. Ia membentulkan posisi kacamatanya yang merosot. “Boleh aku menginap di sini?” Ia mengedip pada temannya.
Keduanya saling pandang, mendengus dan sama-sama terkikik geli.
“Kayaknya kita norak banget, ya. Tapi baiklah,” balas gadis bermata sipit kembali sok serius. “Sorry, lupa. Yuk, masuk. Kamu boleh menginap di sini sampai kamu bosan.” Ia kembali berakting, pura-pura memasukkan kunci tak kasat mata pada pagar yang seharusnya dibuka dengan remote.
Belum lama ia beraksi, terdengar suara gonggongan yang mengagetkan mereka berdua, menyerbu ke arah pagar. Kedua gadis tadi membelakak, menjerit panik dan mundur terbirit-b***t ketakutan. Tanpa sengaja saling tabrak dan terjerembab dengan pose yang teramat memalukan. Begitu ngeri melihat serigala berbulu putih kelabu yang berdiri menjulang, hampir satu setengah meter di hadapan mereka.
Geraman keluar dari moncong makhluk ganas bertaring besar dan runcing dengan cakar yang mencoba menggapai-gapai ke luar pagar. Seolah berhasrat menerkam mereka berdua. Sementara itu, kedua gadis yang terduduk tadi hanya bisa saling berpelukan ketakutan. Takut si serigala berhasil melompat keluar, kemudian mencabik-cabik tubuh mereka.
⠀
Tiba-tiba terdengar langkah berlari cepat dari kejauhan dan seruan, “Hey, Lock! Lockey, come back here …! Here, buddy. What are you doing there?!”
Serigala sangar itu berbalik menghampiri tuannya. Sedangkan kedua gadis tadi masih berpelukan dengan mata membelalak berkaca-kaca dan wajah pucat pasi. Belum sembuh dari keterkejutan mereka.
Si pemilik mansion keluar dari pagar, mengunci si serigala di dalam. Ia menghampiri dua bocah yang kelihatannya masih SMP dan terus menatap nanar ke arahnya, kemudian pada peliharaannya. Lalu padanya lagi, kemudian piaraannya. Senyum sang pemilik serigala buas mengulas tipis.
Kedua gadis tadi ternganga melihat sosok yang menghampiri mereka. Begitu jangkung dan luar biasa … wow … cakep banget! Sepertinya bule atau setidaknya berdarah blasteran. Umur mungkin sekitar 25 atau bawah 30 tahun. Kulitnya tidak terlalu putih, tapi juga bukan coklat. Rambut cokelat pekat, hidung lurus mancung dengan bibir kemerahan yang sedikit tebal di bagian bawahnya. Alisnya melengkung bagus dan bertaut. Mata yang seperti elang menukik tajam menghujam mereka. Membuat kedua gadis tadi menyimpulkan, pangeran tampan ini pasti lebih mematikan dibanding peliharaannya.
“Manusia macam apa … yang memelihara serigala di rumah …?” bisik gadis bermata sipit spontan. Lalu segera menutup mulutnya. Semakin cemas menatap lelaki di hadapannya.
Bukannya tersinggung, laki-laki itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Siberian Husky, bukan serigala. Sedangkan aku … hanya manusia biasa,” ucapnya setelah berhasil meredakan tawanya. “Jadi, bocah kecil, kalian siapa …? Ada keperluan apa berdiri di depan pagar rumahku, hum …?”
Yang ditanya saling pandang, semakin mengkerut. Tidak mungkin mereka bilang rumah pria itu sudah mereka klaim milik mereka, ‘kan?
Apa pria besar ini bakal melaporkan mereka ke polisi? Mereka ‘kan bukan maling. Mereka cuma remaja yang terpukau melihat jejeran rumah mewah.
“Hey, kok diam?” Pria itu mengusap hidungnya, menyamarkan senyum. Memperhatikan kedua remaja kurus yang masih terlihat gemetaran di hadapannya. Harusnya ia tidak membiarkan anjing besar milik saudaranya itu dititipkan di rumahnya. Lockey benar-benar melibas mental kedua remaja ini, kekehnya dalam hati. Ia yakin kedua gadis ini bakalan trauma, bahkan hingga mereka dewasa.
Gadis berkacamata terus menundukkan wajah, tidak berani menatap pria tadi. Sementara itu, gadis bermata sipit dengan wajah tirus dan kulit putih merona, masih menatapnya tegang. Perawakannya memang lebih mungil dibanding temannya, tetapi keberaniannya saat balas menatap si pria cukup bisa dihargai. Sepertinya, wataknya keras kepala.
Apa yang dipikirkan bocah-bocah ini? Kenapa bisa masuk ke tempat ini? Penampilan mereka yang sederhana sama sekali tidak menunjukkan warga komplek sini. Tidak mungkin kesasar, ‘kan?
“Apa kalian berniat mencuri di sini?” cetus pria itu menguji.
Kedua gadis di hadapannya seketika tersentak. Gadis berkacamata tampak ingin menangis, sementara gadis bermata sipit berjengit marah.
“Kami memang miskin, tapi kami tidak pernah diajarkan mencuri karena kemiskinan kami, Om!”
Pria besar itu terperangah.
Om?
Apa dia tampak setua itu?
Apa ia barusan dibentak oleh bocah sekurus lidi di hadapannya?
Ia mendengus, terbahak. Gadis mungil ini berani melawannya? Menarik!
⠀
“Daniyal …, mereka siapa?”
Panggilan lembut itu berhasil mengejutkan mereka bertiga. Mereka beralih menatap sosok yang baru datang itu.
Gadis bermata sipit terlihat terpesona pada wanita cantik di balik pagar. Wanita berambut hitam bergelombang itu luar biasa menawan. Walaupun kulitnya sedikit kecoklatan di banding pria di hadapan mereka, namun tidak mampu merusak daya tarik wanita itu sendiri. Hidungnya mancung dengan alis melengkung cantik, mata sayu yang hitam kelam menatap lembut. Wanita itu tersenyum ramah pada mereka.
“Apa mereka dari Panti? Aku belum pernah melihat mereka sebelumnya,” tukas wanita itu sambil memiringkan kepala. Mengamati kedua gadis yang masih terduduk menyedihkan di depan pagar.
“Apa kalian dari Panti Asuhan?” tanya pria bule tadi.
Kedua gadis itu saling berpandangan, menggeleng bersamaan.
Pria itu mengerutkan alis menatap mereka berdua.
Wajah kedua gadis tadi semakin memerah dipandangi sedemikian rupa, dari atas hingga ke bawah. Seakan mereka benar terbukti bersalah karena mencuri di rumah pria itu. Sebelum mereka sempat menjelaskan, terdengar bunyi gemerisik bising. Kedua pemilik mansion tadi beralih menatap ke arah tangan gadis berkacamata.
Handy Talky.
⠀
“Nia! Bocah bandel! Kalian ke mana? Sekarang sudah lewat jam pulang. Kembali ke Pos Jaga atau Pakde nggak jadi ngajak kalian makan bakso!”
Kedua gadis tadi saling lirik, kemudian menatap gugup pria di hadapan mereka. Pria itu menyeringai usil, kemudian langsung merebut HT di tangan gadis berkacamata.
“Security. Di sini saya menemukan dua gadis kecil sedang terkapar karena kaget,” ucapnya nyengir. Wanita cantik di belakangnya memutar bola matanya. “Sepertinya mereka ketakutan karena digonggongi anjing peliharaan saya. Mungkin mereka perlu di jemput, karena … saking shock-nya, mereka bahkan tidak bisa bersuara apalagi berdiri. Mereka butuh pertolongan segera. Saya cemas … jangan sampai mereka pingsan.”
Kedua remaja di hadapan pria tadi meringis dengan bibir berkedut cemberut. Menatap pangeran tampan menyebalkan di hadapan mereka.
Mengapa orang jahat seringnya dikarunia wajah tampan?! Apakah demi menutupi jeleknya tabiat asli mereka?
“Daniyal …,” tegur wanita cantik tadi. Mencubit pria itu. Merasa tidak enak hati menatap dua gadis di hadapannya.
“What? Honey … it’s true.” Pria itu terkekeh, lalu melanjutkan bicara. “Jemput mereka di mansion Daniyal Rafan Alfaraz.”
Pria itu bicara sejenak dengan Kepala Security. Kemudian kembali berpaling pada kedua remaja tadi.
⠀
“Jadi, siapa di antara kalian yang bernama Nia?” ucap pria itu lagi, namun mata cokelat kemerahan itu melirik sekilas pada gadis bermata sipit.
Gadis berkacamata mengangkat tangannya gugup. Tetap menundukkan wajah.
“Nia apa?”
“Lavenia Andara,” cicit gadis itu lirih.
Daniyal mengalihkan tatapannya pada gadis berwajah tirus bermata sipit. Gadis itu menantang matanya balik. Berani sekali! Apa dia tidak tahu siapa yang berkuasa di sini?
“Dan kamu?” desisnya dingin, menyipitkan mata elangnya.
Gadis itu menggingit bibir mungilnya. Melengos. Tampak sama sekali tidak terintimidasi.
Hah?
“Kamu tidak akan memberitahu namamu?” dengusnya takjub.
Gadis itu menggeleng. “Aku akan memberi nama palsu kalau Om memaksa.”
Daniyal terpana. Dalam waktu sekejab tawanya kembali membahana.
Istrinya ikut terkikik di belakangnya. Ia yakin, ini pasti pertama kalinya buat Daniyal ada yang menantangnya seperti ini. Bocah kecil ini lucu sekali, pikirnya.
“Hey, little girl! Beberapa tahun ke depan, kamu pasti bakal menyusahkan suamimu dengan sikap pembangkang seperti tadi,” ceplos Daniyal.
“Selama orang itu bukan Anda, suamiku akan tetap bahagia dan mensyukuri aku yang seperti ini. Aku tidak akan menyusahkan di matanya. Walaupun aku pasti menguji kesabarannya!”
SHOOT.
Gadis ini penembak jitu ...!