Desember 2016
“Bagaimana rasanya hidup tanpa memori?
Mimpi ini apakah memang karena aku begitu merindukanmu.
Ataukah hanya gambaran keputusasaanku?
I miss you so bad, my Love.”
Daniyal – Kembali Mengingatnya
⠀
“Jadi …, gadis ini akan menjadi istri seorang dokter bedah saraf sepertiku.”
Daniyal mengecup pundak istrinya. Kulit Kirani yang eksotis dengan aroma mawar yang semerbak memenuhi rongga penciumannya. Begitu memabukkan.
Malam ini mereka sedang mengobrol sambil berbaring di ranjang. Kirani melukis sambil menelungkup dan Daniyal memandangi wanita itu, yang menurutnya berkali-kali jauh lebih cantik dari lukisan yang sedang digambar istrinya. ‘Mana ada wanita lain yang melebihimu, Cinta,’ sanjungnya dalam hati.
"Ya. Dan mereka akan punya kisah romantis, pengorbanan, kekuatan cinta yang akan membuat siapa pun jadi iri." Kirani bercerita penuh semangat. Ia mendesah puas, merasa sudah membuat akhir paling bahagia untuk tokoh khayalannya.
Daniyal terkekeh. Apa imajinasi wanita memang seperti ini? Semuanya selalu tentang cinta dan romantisme?
Hah! Benar-benar emosi yang rumit dan lebay.
“Well, sekarang kamu berubah profesi jadi novelis atau komikus?" kekehnya.
Kirani tersedak. Terkikik menatap Daniyal dengan mata melebar, namun sayu. "Boleh juga," timpalnya.
Daniyal berbaring menyamping, menopang kepalanya dengan siku. Begitu santai mempermainkan ikal rambut istrinya yang panjang. Kemudian ikut-ikutan melongokkan kepala ke buku sketsa.
Gambar gadis berambut lurus hitam sepinggang tengah menatap keluar jendela memenuhi netranya. Cahaya mentari yang membias dari kaca jendela menerpa wajah gadis dalam gambar itu. Daniyal mengejabkan mata. Ia akui, lukisan istrinya memang sangat indah. Tampak begitu hidup. Mirip potret malah.
"Let me see," tukas Daniyal penasaran seraya menarik buku sketsa di tangan Kirani.
Ia membalik halaman berikutnya. Gambar gadis yang sama tengah terlelap di atas sofa. Rambutnya terlihat menjuntai mencacah lantai.
“Ini mirip sofa di kamar kita,” komentarnya tanpa menoleh pada Kirani. Wanita itu hanya tertawa kecil.
Selanjutnya Daniyal melihat wanita dalam lukisan yang sedang mandi tanpa busana. Sudut bibirnya seketika terangkat. Daniyal tergelak.
"What is it …? Ini mencemari mataku."
Tapi pandangannya tak juga lepas dari gambar.
Kirani menonjok bahu Daniyal. "Lihat beginian baru ketawa, ya!"
"Are you jealous, sugar, hum ...?" kekeh Daniyal seraya mengecup puncak kepala Kirani. "Wanita ini kelihatan biasa saja. Aku lebih suka yang berambut ikal bergelombang. Seperti ini," rayunya sambil memelintir rambut Kirani ke jemarinya.
Kirani hanya mencebik, menanggapi.
“I’m serious, honey. Gadis di lukisan ini kelihatan kurus dan ... uhm … agak rata."
Daniyal mendengus, mengusap bagian yang rata dari gambar. Lalu tergelak kencang hingga memegangi perutnya. Kirani hanya memutar bola matanya sebal.
"Seperti dia kurang makan atau malah kekurangan gizi. Aku akan menganjurkan minum multivitamin kalau bertemu dengannya.
Siapa pun suaminya – si dokter ‘sarap’ itu …,” ledek Daniyal, “… harus memberinya makan sepuluh kali sehari. Itu pun belum tentu juga bakal berhasil jadi semolek ini." Daniyal mengusap-usap b****g istrinya dengan senyum menggoda.
"Mase ...," protes Kirani terkekeh mencubit Daniyal. "Berhenti menghinanya dan jangan mengusap pinggulku!" Ia menepis tangan Daniyal. "Genit!"
Daniyal terbahak.
Kirani merebut buku sketsa kesayangannya dari tangan Daniyal. Menggores garis-garis di lembaran baru.
"Wanita ini adalah segalanya buat pria itu." Kirani menatap Daniyal lagi dengan wajah sendu. "Dia adalah hidupnya, semangatnya, kekuatannya, masa depannya. Dia wanita yang paling dicintai. Wanita kesayangan. Pria itu akan mengorbankan apa pun demi wanita ini, bahkan nyawanya sendiri. Tanpa wanita ini, hidup pria itu tak berarti lagi. Mereka tak boleh terpisahkan."
Kirani mendesah berat dengan tatapan menerawang. Seakan cerita yang ia buat benar-benar nyata. Seolah tokoh imajinasinya ini teramat ia kenal begitu dekat. Raut mukanya tampak sedih. Entah dari mana datangnya rasa sakit ini. Namun … muncul setitik rasa cemburu di hatinya.
"Kenapa seserius gitu …." Daniyal mengusap muka istrinya. Mencoba menyadarkan Kirani untuk tidak terlalu hanyut dalam fantasinya. "Memangnya perempuan ini sepertimu ...?"
Kirani menggeleng.
"Lalu apa menariknya dia buat pria itu?" lanjut Daniyal dengan nada meremehkan.
Kirani tersenyum kecil, menggores sketsa lingkaran wajah wanita imajinasinya.
"Dia sangat berbeda dibanding wanita lain yang dikenal pria itu. Segala hal tentangnya berbanding terbalik dengan si pria.
Wanita ini punya sifat yang keras kepala, sang dokter orang yang otoriter. Jalan pikirannya, hobinya juga sangat berbeda. Mereka bertentangan tapi saling melengkapi. Di situ letak manisnya hubungan mereka."
"It's impossible," Daniyal mendengus. "Come on, sweetie ..., mereka bakalan berantem terus nantinya.
Pria dengan sikap otoriter, lebih cocok dengan wanita penurut, seperti ini!" Ia mendaratkan tubuhnya di atas Kirani. Membuat perempuan itu terkesiap merasakan sesuatu yang keras mencoba menusuk sela pahanya.
Kirani mengerang protes. "Berat! Berat!" Ia berusaha mengibas Daniyal dari atasnya.
Pria besar itu hanya terkekeh. Mengecup tengkuk Kirani. Semakin menggesekkan tubuhnya pada wanitanya.
"Nah, lupakan gambar bodoh ini dan perhatikan aku. Silahkan pilih, mau di atas atau di bawah? Dari depan atau belakang?" Ia berbisik menggoda. Kirani tertawa. "Sambil duduk atau berbaring?"
Daniyal melempar buku sketsa tadi sembarangan, kemudian membalik tubuh Kirani menghadapnya. Dengan senyum nakal, tangannya menyibak gaun tidur putih itu. Berbisik perlahan, "Your answer, my Queen?"
Kirani tersenyum, mengalungkan lengannya ke leher suaminya. Menariknya mendekat dan memberi jawaban di bibir pria itu.
"Hmm ... atas."
***
Daniyal tersentak.
Kegelapan menyambutnya.
Senyum yang masih tersisa di bibirnya seketika surut.
Ia meraba sisi ranjangnya.
Dingin.
Binar matanya menjadi hampa. Ia menjangkau tombol lampu tidur di atas nakas. Berharap mimpi indahnya masih bisa terus berlanjut.
Sayangnya harapannya kandas.
Sisi ranjangnya memang dingin. Sudah kosong sejak semula. Ia sendirian di sini.
Daniyal mengerang menahan sakit dan sesak di dadanya. Kembali menyadari fakta bahwa Kirani memang telah lama tiada. Padahal baru sekejab tadi ia merasakan pelukan wanita kesayangannya seolah begitu nyata. Sentuhan jemari Kirani yang halus, suaranya yang lembut ....
Tubuhnya berguncang hebat. Daniyal terisak, mengerang melepaskan kekecewaannya. Ia menyeka kasar wajahnya. Air matanya masih terus menetes semakin deras tanpa bisa ia tahan.
Goddamn!
Ya Tuhan …!!!
Segela protes, umpatan serta penyesalan menguasai hati dan pikirannya. Mengacaukan kewarasannya. Netra cokelat kemerahan itu menatap nanar ke seluruh penjuru ruangan. Memastikan di mana ia berada.
Kamar ini masih sama seperti lima tahun yang lalu. Seprai pink muda, gorden pink muda bercampur kuning gading. Perabotan, foto-foto, bunga hias. Bahkan bidangan sulaman Kirani masih berada di atas bantal sofa kamar. Masih separuh jadi. Semua aroma kenangan Kirani semakin menguat dan lebih kuat dibanding sebelumnya.
Harusnya Daniyal tidak perlu kembali ke mansion ini lagi hanya untuk mencari buku sketsa sialan itu!
Sekarang ia jadi menderita lagi karenanya.
Mimpi kejadian masa lalu ini sungguh mengganggunya. Meski akhirnya ia ingat cerita istrinya tentang gadis di lukisan. Gadis yang sekarang masih berada di rumah sakit. Gadis yang nantinya akan ia tampung. Lalu selanjutnya apa?
Daniyal mendengus, terkekeh sinis. Menggelengkan kepala tak habis pikir, kemudian menunduk.
Huff ….
Dan harus diapakan ini?
Ia mengusap wajahnya kesal. Menatap sebal pada saudara seperjuangan di bawahnya. Benda itu masih terbawa halusinasi alam mimpi.
"Tch!"
Rupanya masih bisa berdiri. Daniyal kira sudah tidak berfungsi. Ia benar-benar harus mandi air dingin. Kapan perlu air es saja! keluhnya.
***
Hari ini mood Daniyal luar biasa buruk. Matanya cekung karena semalaman setelah bermimpi, ia tidak bisa tidur lagi. Penasaran, ia berusaha mencari kembali buku sketsa Kirani. Tetapi benda itu tidak jua ditemukan di mana pun.
Kejadian dalam mimpi semalam sudah teramat lama berlalu. Mungkin sekitar tiga bulan sebelum Kirani mengandung putri mereka, Kirana.
Di mana Kirani menyimpan buku sketsa itu?
Daniyal sudah memeriksa seluruh isi kamar. Bahkan ia juga beredar ke seluruh penjuru mansion. Menggeledah ruangan yang satu ke yang lain. Ia juga sampai naik ke menara di mana Kirani sering mengerjakan keterampilan tangannya. Daniyal mencari di seluruh penjuru yang menurut perkiraannya buku sketsa itu bisa saja terselip. Laci, lemari, kotak-kotak bahan craft, di balik buku, majalah dan kain-kain, semuanya tak ada. Buku itu hilang, raib begitu saja.
Mana mungkin Kirani membuang buku sketsanya yang berharga?!
Daniyal tahu pasti, Kirani orang yang sangat rapi dan teratur. Bahkan buku sketsa dan diary-nya sewaktu SD saja Kirani simpan dan jaga dengan baik. Ia bahkan menatanya di rak khusus.
Sungguh, Daniyal paling benci mencari sesuatu, namun tidak berhasil menemukannya. Menyebalkan!
⠀
Daniyal menggertakkan gigi. Matanya menyipit, melangkah lebar menyusuri koridor Rumah Sakit Dharma Mitra. Raut wajahnya yang terlihat dongkol menambah keangkerannya di mata para staf di Rumah Sakit.
Front Office yang tadinya ingin menyapanya langsung mengurungkan niatnya, menunduk di balik meja mereka. Berusaha tak kasat mata. Perawat magang yang hampir berpapasan dengannya menyembunyikan diri di balik dinding koridor yang lain. Office boy yang tengah mengepel lantai, jadi berhenti sejenak menatapnya, kemudian cepat-cepat menggosok lantai lebih keras lagi. Mereka sudah tahu, Dokter Alfaraz tidak boleh disapa dalam kondisi seperti itu, kecuali kalau mereka pasien.
Temperatur di sekitar Daniyal seolah melonjak naik. Hanya satu orang yang berani menyikutnya disaat-saat seperti itu.
⠀
Dokter Raoul Keanu Reinhardt — mengalungkan lengannya santai pada pundak Daniyal. Senyumnya merekah dengan binar jahil kekanakan. Tidak ada rasa takut sama sekali di mata safirnya melihat temperamen Daniyal yang bisa saja meledak tiba-tiba.
"You know, cousin," bisiknya. "Kalau saja aku tidak mengenalmu dengan baik, aku akan bilang kamu seperti orang yang tidak dapat jatah ...."
Daniyal mendelik sebal pada bocah degil itu.
Dokter Reinhardt dengan cepat mengangkat kedua tangannya, menyerah. Cengirannya membuat Daniyal semakin dongkol saja.
"Jadi, Mase, wajah seperti apa yang dipasang hari ini, huh?" ia berkata cuek. "Coba lihat di sekitarmu," pria itu menunjuk ke sekeliling Daniyal. "Mereka semua ketakutan, bersembunyi ke dalam cangkang!" Dokter Reinhardt terbahak. "Kamu seram sekali!"
Daniyal memutar bola matanya.
"Ketakutan mereka nggak ada hubungannya denganku," ia mengibas lengan dokter yang lebih muda darinya itu.
"Itu kenyataan, Mase. Jangan tunjukkan muka begitu lagi. Ini Rumah Sakit. IGD penuh sekarang. Jangan sampai ada pasien yang masuk emergency karena melihatmu."
Daniyal berdecak.
"Untung saja ada aku yang selalu bisa menetralisir suasana. Lihat, sekarang awan hitam sudah disinari cahaya mentari yang cerah ceria." Ia mengedip pada salah seorang perawat yang lewat menyapanya, membuat wajah perawat itu semburat merona. Itu tidak lepas dari pandangan Daniyal.
"Tunggu saja sampai aku menceritakan kedipanmu tadi pada Selva-mu. Lalu matahari akan mengalami yang namanya gerhana total."
Dokter Reinhardt menganga. Matanya dibuat semelotot mungkin, seakan teramat ngeri.
"Please don't do that, Bro .... Aku tidak akan betah mengalami gerhana total seperti kamu lalui selama ini, Mase. Aku terlalu berharga. Aku masih ingin bermesraan dengan wanitaku. Malam-malam yang sibuk," matanya berbinar-binar menatap langit-langit koridor. "Desahan-desahan yang panjang ...."
Daniyal naik pitam, menendang b****g dokter nakal yang masih cekikikan itu.
Dokter Rainhardt hanya tergelak sembari mengusap-usap bokongnya.
Bisa-bisanya bocah ini bercerita tentang hal itu di sini. Di koridor rumah sakit. Dengan pria jomblo setia sepertinya pula! rutuk Daniyal.
"Jadi, gimana kondisi wanita amnesia itu? Apa Neil tahu sesuatu? Apa kamu jadi menampungnya?" tanya Dokter Reinhardt setelah tawanya mereda.
"Neil belum memberi kabar apa pun. Dan ... yeah, aku akan menampungnya di mansion buat sementara waktu."
"Di mansion?”
"Yeah."
“You must be kidding, right?!"
“I’m not.”
"Gila! Di mansion yang tak terjamah itu?” Dokter Reinhardt menatap Daniyal tak percaya. “Kenapa nggak diserahkan ke ...."
"Nope. Dia sakit dan cuma aku yang bisa merawatnya. Just keep this a secret, Raoul."
Netra safir Dokter Reinhardt menyipit curiga.
"Your acting is so weird. Apa ada sesuatu yang janggal dengan gadis itu?"
"Nggak usah dipikirin, Raoul," desah Daniyal lelah.
Dokter Reinhardt mengangkat kedua alisnya. Dibilang begini, dia malah makin penasaran.
“Anyway, boleh aku mengunjungi Monalisa-mu, Mase?"
Daniyal mendelik. Ia memang sudah menceritakan tentang Chana pada Dokter Reinhardt. Tapi ia belum punya keinginan untuk mempertemukan mereka berdua.
"NO," tolaknya sambil menggeleng tegas.
"Why? Apa kamu berniat menyimpannya dariku?"
"YES. ABSOLUTELY!"
Kalau Raoul tahu, itu artinya kakaknya Daimon juga bakalan tahu. Kalau Daimon tahu, semua adik-adik Daniyal ikut tahu. Tidak tunggu waktu lama, kedua orang tua dan keluarga besarnya pasti tahu. Sangat beresiko untuk kenyamanan hidupnya.
"Aku tidak akan membiarkan dia didekati pria flamboyan sepertimu, Brother." Daniyal menepuk-nepuk pundak Dokter Reinhardt.
"Aku sudah punya istri, Mase ...," protesnya.
"Yeah ... itu tidak akan merubah sifat alamimu."
"Ouch ...!" Dokter Reinhardt meringis, sontak mendekap jantungnya dengan wajah shock. Seakan ada pancang yang menancap di sana. “You’ve been hurting me.”
Daniyal tergelak, melambai pada sepupunya yang degil. Lalu menaiki tangga menuju lantai dua, meninggalkan Dokter Reinhardt yang masih terkekeh berbelok ke koridor lain.