“Masa lalu sangat berpengaruh besar dalam berubahnya karakter seseorang.
Luka, kesedihan, trauma, amarah dan dendam menjadi racun meski tanpa disadari.
Katanya waktu bisa menyembuhkannya.
Tapi kurasa, peran seseorang yang istimewa lebih kuat menjadi detoksifikasi-nya.
'Let's see then.'”
R. K. Reinhardt – Terapi Liliput
⠀
“Hallo, Miss Chana. Apa kabar?"
Chana tercengang menatap mata safir dokter bule di hadapannya. Rambut burgundy dengan tinggi yang sepantaran dengan Dokter Alfa. Hidung pria itu lurus dan mancung. Bibirnya juga tipis, tersenyum manis pada Chana. Luar biasa. Tampan sekali. Benar-benar keren.
Ini benarkah dia dokter? Bukan artis?
Apa ini pertama kalinya Chana bertemu dengan turis?
Sebelum ingatannya hilang, pernahkah Chana bertemu bule secara langsung?
Kenapa ia terlihat norak sekali?
⠀
"Jangan lupa ngedip, nanti dikira mati!" Daniyal mengusap wajah Chana dengan tissue di atas meja dokter bule. “Liurmu menetes, tuh! Norak!”
Chana mendelik jengkel mendengar ucapan ketus Dokter Alfa yang ternyata masih berdiri di sampingnya. Kenapa ia bisa lupa dengan keberadaan dokter menyebalkan itu? Mereka berdua saling melotot tajam.
Dokter bule di hadapan Chana hanya mendengus dengan bahu berguncang, kelihatan kesusahan menahan tawa. Sementara itu Dokter Alfa terus menatap Chana sinis. Kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada si dokter bule.
"Loe udah baca laporannya?" tanya Dokter Alfa.
Loe?
Apa kedua dokter ini sudah bersahabat dekat, sampai menggunakan panggilan 'loe', 'gue' di sini? pikir Chana heran.
"Yeah. Hasil tes darah, MRI, CT-Scan, EEG, semuanya sudah tampak normal.” Dokter bule itu membolak balik file yang sepertinya berisi data diri dan riwayat pemeriksaan Chana sebelumnya. “Dia masih minum suplemen dan vitamin, 'kan?"
"Yeah, masih."
Kemudian kedua dokter tadi mulai bicara dengan istilah-istilah medis yang membuat Chana bingung. Tersengar seperti bahasa alien. Sampai akhirnya Dokter Alfa kembali melirik ke arahnya sambil bicara, "Gue serahin dia sama loe."
Hah?
Chana tercengang, menelan ludah panik begitu Dokter Alfa berjalan pergi meninggalkannya ke ruangan sebelah yang dibatasi dinding kaca. Gordennya sedikit tersibak, jadi Chana masih bisa melihat sosok Dokter Alfa dari ruangan ini. Tetapi tetap tidak mengurangi kecemasannya.
Chana mulai merasa grogi kembali. Ia menggigit bibir melirik ke desk name bertuliskan : dr. Raoul Keanu Reinhardt, Sp. S — Spesialis Saraf. Jantungnya berdebar kencang memikirkan terapi seperti apa yang akan diberikan padanya? Apakah sejenis diberi alat kejut listrik?
Ia menelan ludah ketakutan, melihat ke sekeliling ruangan. Dinding yang di cat putih, penuh poster-poster bertajuk himbauan atau penyuluhan tentang kesehatan. Begitu banyak peralatan medis juga lemari arsip yang dipenuhi map. Obat-obatan di etalase kaca. Jarum suntik!
Hah?
Matanya menatap ngeri benda di kotak atas meja sang dokter.
Dokter Reinhardt tersenyum menatap wajah pucat pasi di hadapannya. Tangannya menjangkau kotak jarum suntik dari atas meja, kemudian memasukkan benda menakutkan itu ke dalam laci. Pandangan Chana kembali terfokus padanya.
"Well, kita tidak ada sesi suntik menyuntik hari ini, Miss Chana," ia tersenyum menenangkan, membuat Chana lega. "Just, take a breath — tarik napas, lepaskan perlahan, relaks. Jangan pikirkan apapun yang susah-susah. Kita mulai hari dengan senyuman karena senyum bisa memperbaiki mood. Just try ...," ujar pria itu dengan logat bule yang masih sedikit kentara.
Dokter itu menatap Chana lembut, membuat si pasien tanpa sadar mengikuti anjurannya. Chana mulai menarik napas dan menghembuskannya perlahan.
"Now smile ...," Dokter itu ikut tersenyum memperhatikan.
Chana juga tersenyum, sedikit canggung, namun sudah lumayan relaks. Gampang sekali dokter ini membuatnya nyaman. Kenapa Dokter Alfa tidak mencoba belajar darinya?
"Hari ini kita hanya akan berkenalan. Nama saya Raoul Keanu Reinhardt. Silahkan panggil Keanu saja. Saya bukan bule, jadi ... walaupun perawakan dan wajah saya sangat western, tolong jangan panggil 'Dokter Bule' karena banyak yang memanggil saya begitu."
Ucapan dokter itu sontak membuat wajah Chana sontak merona malu. Ia juga memanggil Dokter Keanu 'bule' tadinya, meski dalam hati.
"Jadi ..., saya cuma blasteran Jerman, dari Ibu saya dan Indonesia-Belanda dari Ayah saya. Dan, saya tidak menggigit, jadi tidak perlu takut. Kita hanya perlu mengobrol santai saja, layaknya teman," tambahnya sembari tersenyum.
Chana mengangguk paham. Merasa bertambah nyaman.
"Jadi, bisa perkenalkan dirimu, Miss?"
"Namaku Chana," lalu ia terdiam beberapa saat. Menggigit bibirnya. Apalagi yang harus ia ucapkan. Ia tidak ingat apapun lagi tentang dirinya. "Ya, hanya itu. Maaf."
Dokter Keanu tertawa kecil, lalu melanjutkan. “Don’t worry. Just chill up.”
Chana tersenyum, menunduk. Setidaknya terapi ini tidak seburuk yang ia bayangkan. Dokter Keanu juga sangat ramah. Dan Chana tidak akan disuntik.
"Dulu waktu saya kecil, saya bercita-cita menjadi penyanyi. Tapi banyak yang mencoba membuat saya insaf untuk melupakan impian itu. Mereka kurang menghargai bakat saya," Dokter Keanu mendesah pasrah. Chana tersenyum sopan. "Sekarang saya hanya menyanyi untuk diri saya dan istri saya. Dia pendengar yang paling tabah."
Chana terkekeh.
"Bagaimana denganmu, Miss Chana. Mau cerita hobi, cita-cita, kesukaan dan hal yang tidak disukai?"
Chana berpikir sejenak.
"Aku suka bernyanyi, tapi aku tidak tahu ada yang suka atau tidak mendengarnya. Aku ragu aku punya cita-cita, aku tidak ingat sama sekali. Hobi ...," Chana menerawang. Ia terbayang semua bahan keterampilan di menara. "Aku suka membaca, menjahit, membuat keterampilan. Aku suka seni."
"Wow ... amazing. Mungkin di terapi selanjutnya kamu bisa perlihatkan hasil keterampilan yang kamu buat,” puji Dokter Keanu.
Chana hanya tersenyum sendu. Teringat mungkin ia tidak bisa melakukannya. Semua bahan di menara, terlarang untuk ia sentuh. Sungguh menyedihkan.
“Tadi kamu bilang, kamu suka menyanyi. Lagu apa yang kamu suka, by the way?"
"Hum ...," Chana menatap langit-langit ruangan. "Macam-macam. Lagu Indonesia, barat, banyak."
"Kamu hafal lagu-lagu itu? Di mana kamu dengar?"
Chana mengeluarkan handphone yang diberi Dokter Alfa padanya. Memperlihatkan list musik yang ada di dalam sana.
"Kalau begitu, mana lagu favoritmu? Just share, siapa tahu saya juga suka."
Chana menunjuk judul lagu di layar.
"Okay ..., Demi Lovato - Give Your Heart A Break, hum? Bisa kamu nyanyikan?"
Chana menunduk. "Aku malu, suaraku nggak bagus."
"Saya bahkan belum dengar," Dokter Keanu bersandar santai di bangkunya. Manatap Chana dengan wajah baby face-nya. "Go on ...," bujuk pria itu lagi.
"Kalau gitu, dikit aja, ya?" Chana mendehem. Mulai bernyanyi. Sejenak ia lupa dengan kecemasannya. Hanya fokus menguntai irama lagu. Menghayatinya.
Sementara itu Dokter Keanu terus memperhatikannya. Ikut mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. Mengikuti nyanyian Chana. Terlihat begitu santai.
⠀
"Awesome!” Dokter Keanu bertepuk tangan senang. "Suara kamu bagus banget. I really like it. Seandainya ada gitar di sini, kita bisa kolaborasi,” tawanya.
Chana semakin tersipu.
“Kamu mengerti arti lirik lagu tadi?"
Chana mengangguk cepat.
"So, can you understand what I am talking to you now?"
"Yes, sure."
“That’s good.”
Dokter Keanu menyipitkan mata. Melirik sekilas ke arah ruangan di mana Dokter Alfa berada.
"Okay, Chana. Lanjut." Dokter itu menopang dagu, begitu santai mendengarkan Chana. "Bagaimana dengan hal yang tidak disukai?"
Senyum ceria Chana langsung menghilang seketika.
"Aku tidak suka dibentak, diperintah-perintah, diancam-ancam."
"Whoa ... what happened? Who is that extraordinarily evil person ...?" sang Dokter menggeleng takjub. "Teganya dia mengancam wanita cantik seperti kamu."
Wajah Chana seketika merona. Dokter itu pandai merayu, walaupun Chana tahu, Dokter Keanu hanya sedang menghiburnya.
Chana mengarahkan pandangannya ke kaca pembatas ruangan sebelah. Ruangan pribadi Dokter Keanu. Ada Dokter Alfa menunggu di sana. Melirik dengan mata membara dari balik kaca.
Dokter Keanu terbahak. "Oh ... apa dia si pria jahat itu?" bisiknya.
"Ya!" jawab Chana mengangguk tegas.
Dokter Keanu semakin terkekeh geli. "Dia memang kelihatan sangar ya," ucapnya diikuti anggukan Chana. "Begitu temperamental, mudah naik darah, perfeksionis, suka mengatur dan kalau bercanda, dia begitu sarcasm. Sungguh menyakitkan." Dokter Keanu membuat raut muka merajuk. Mengusap dadanya seakan ia jauh lebih sering tersakiti.
Chana nyengir. "Dia benar-benar membuatku kesal!"
"Bagaimana bisa? Coba ceritakan. Biar nanti saya yang akan memarahinya!" ucap Dokter Keanu membesarkan hati Chana.
Chana cemberut. Teringat betapa menyebalkannya kejadian kemarin. Masih begitu segar dalam benaknya saat berlari dalam hujan. Dokter itu menangkapnya dan memanggulnya seakan ia seringan … apa katanya?! Gulali??? Pria itu bahkan menampar bokongnya! Penjahat!
Belum lagi apa yang terjadi di kamar malam itu. Chana mengusap tengkuknya. Merasa seakan jemari dan telapak tangan lebar dan hangat Dokter Alfa masih membekas di punggungnya. Pipinya memanas. Spontan Chana menggeleng, mengusir bayangan pria bernetra cokelat kemerahan nan tampan itu.
Chana menengadah, menatap mata safir Dokter di hadapannya dalam-dalam.
"Dia memanggilku LILIPUT...!"
Uhuk ... uhuk ....!
Dokter Keanu berusaha mengubah tawanya menjadi batuk. Lalu mendehem. Ia mengulum senyumnya.
"Jadi, Chana membalas apa?"
"Aku menyebutnya Raksasa Buto Ijo!" balas Chana berapi-api.
Dokter Keanu tak kuasa lagi menahan tawa. Ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi Daniyal ketika mendengar ucapan itu. Belum pernah ada wanita mana pun yang berani mengata-ngatainya. Kebanyakan dari mereka malah berusaha melemparkan diri dengan cuma-cuma serta menyanjung Daniyal setinggi langit. Tapi Liliput ini ..., ya ampun ..., kenapa juga ia juga ikutan menyebut wanita kecil menggemaskan ini 'Liliput'?
"Apalagi yang dikatakannya, yang membuatmu marah?"
"Dia bilang aku ringan seperti gulali. Aku cuma makan angin dan aku kerdil! Lalu dia memuji dirinya sendiri, tingginya sesuai standar internasional! Dan menertawakan aku dengan senang hati!" ucap gadis itu lagi penuh emosi.
Dokter Keanu terkekeh lagi sampai memegangi perutnya. Melirik ke arah Daniyal yang tertunduk. Bahkan dari jauh pun ia bisa melihat sepupunya itu mengulum senyum.
Eh!
Wait a second!
Ada yang aneh!
Alisnya mengernyit heran. Dia tidak salah dengar, ‘kan?
"Uhm ... tadi kamu bilang, Niyal tertawa?"
"Niyal?" Chana melongo.
"Maksudku Dokter Alfa. Dia benar-benar tertawa?"
Chana mengangguk.
"Ya! Dia tertawa terbahak-bahak seperti Raksasa Buto Ijo!"
Hmm ....
Senyum terukir di bibir Dokter Keanu. Sinar netra safir itu berkilat mencurigai sesuatu. Bolehkah ia membuat beberapa dugaan sederhana?
"Apa Dokter Alfa seburuk itu?"
Chana mengangguk cepat.
Dokter Keanu mendesah. Mempermainkan tombol-tombol entah apa di atas mejanya.
"Tapi Chana," lanjut pria itu menatap Chana serius. "Seiring berjalannya waktu, aku harap nantinya kamu mau membuka pikiran. Memberi kesempatan untuk mencoba mengenal Dokter Alfa lebih dalam. Dia bukanlah orang yang seburuk itu.”
Chana tercenung. Jelas hal ini agak betentangan dengan yang ia pahami.
“Apa tidak ada kebaikan Dokter Alfa yang nampak di matamu? Yang bisa kamu ... lihat dan ingat? Aku mengatakan ini bukan karena aku ... sepupunya," Dokter Keanu mengajak Chana berpikir positif. "Coba kamu pikirkan sejenak."
Chana ternganga. Jadi mereka sepupu.
"Dokter Alfa adalah orang yang sangat serius dan menghargai orang lain. Apalagi menyangkut nyawa. Ketika dokter lain sudah pasrah dan mem-vonis pasien tidak mungkin diselamatkan, Dokter Alfa lah yang tetap berjuang mencari cara lain untuk menyelamatkan si pasien. Itu sangat sering terjadi. Dan sudah banyak yang sehat juga beraktifitas kembali."
Dokter Keanu berhenti sejenak. Menilai apakah Chana menyimak perkataannya.
"Dokter Alfa tidak pernah tanggung-tanggung dalam menolong orang. Terkadang dia bahkan bersedia menanggung biaya pengobatan pasien yang ia tahu kesulitan ekonomi. Namun sangat membutuhkan pengobatan. Dia tidak pernah menghitung jasanya. Dia berbuat baik, kemudian melupakannya begitu saja. Rata-rata pasiennya bahkan tidak mengenal siapa yang telah menolong mereka."
Chana tercenung, merasa bersalah. Mengingat kembali semua kebaikan Dokter Alfa terhadap dirinya. Menanggung biayanya selama di rumah sakit, menampungnya di mansion seindah itu. memberinya makanan yang lezat. Bahkan ketika Chana kabur dari mansion pun, pria itu masih peduli dan mencari Chana di tengah hujan badai. Sekarang, Dokter Daniyal bahkan menyediakan waktu dan biaya lagi untuk melakukan terapi terhadap Chana. Hal yang sama sekali tidak ada untungnya bagi pria itu.
"Hanya saja, sikap sinisnya itu memang sangat menyebalkan!" Dokter Keanu menambahkan. Tersenyum menenangkan Chana.
Namun, Chana merasa seakan sedang dimarahi dengan kata-kata yang sangat halus. Tapi yang dikatakan Dokter Keanu memang benar. Semua kebaikan Dokter Alfa itu ... Chana belum pernah berterima kasih pada pria itu. Ia bahkan tidak bertanya, berapa biaya yang sudah dikeluarkan Dokter Alfa selama perawatannya di rumah sakit sampai sekarang untuk terapi ini. Pantas saja Dokter Alfa sangat murka ketika Chana menyebut kata 'mati'.
⠀
"Miss Chana," Dokter Keanu mengembalikan kesadarannya. "Apa kamu paham?"
Chana mengangguk.
"Dokter Alfa sudah menolong sangat banyak orang. Tapi dia sendiri sebenarnya sangat butuh pertolongan."
Chana tercengang. "Pertolongan ...?"
"Ya," jawab Dokter Keanu seraya menatapnya tajam. "Saya mengharapkanmu untuk menolongnya juga."
"Bagaimana bisa? Aku bukan dokter."
Dokter Keanu tersenyum. "Kamu tidak perlu harus menjadi dokter untuk menolong orang. Bahkan dokter pun bisa memiliki kondisi mental yang kurang bagus. Dan Dokter Alfa, juga seorang manusia biasa, yang memiliki kekurangan itu."
Chana ternganga. "Mental? Apa dokter Alfa sebenarnya ... gila?" ucap Chana sedikit berbisik.
Dokter Keanu tersedak, ia tertawa cukup lama sebelum akhirnya menjawab.
"Miss Chana, kondisi mental itu bukan selalu menyatakan seseorang gila atau bagaimana. Dalam hal ini saya merujuk pada sikap, masa lalu, trauma, kesedihan, yang mengubah kepribadian seseorang menjadi berbeda dibanding sebelumnya."
"Jadi …, apa yang harus aku lakukan?"
"Hal yang paling gampang. SABAR. Bersabar menghadapinya. Membuka hati, untuk melihat bagaimana dia yang sebenarnya dibalik topeng sinis itu. Ketika kamu mencoba menolong dia, Chana, aku punya firasat kamu juga sedang menolong diri sendiri."
Chana meringis. Bagaimana bisa begitu?
"Jadi ... bisakah kamu mencoba memberi kesempatan untuk mengenal dirinya? membuka hatimu, dan mengetuk pintu hatinya?"
Pintu hati? Chana menunduk. Apa maksud ucapan Dokter Keanu barusan? Haruskah ia mencobanya? Ia saja tidak paham situasi yang terjadi pada diri Dokter Alfa.
Dokter Keanu juga menolak menjelaskan lebih jauh seperti apa Dokter Alfa yang dulu. Ia ingin Chana yang mencari tahu sendiri. Mengenal lebih baik daripada sekedar mendengar.
Kemudian sesi terapi kembali dilanjutkan. Dokter Keanu sudah membaca beberapa hasil tes nya tadi dan Chana dinyatakan sudah sehat. Kecuali dalam hal ingatan. Kemungkinan besar akan kembali secara berangsur-angsur. Tidak usah terlalu dipaksakan.
Kemudian dia menyuruh Chana menunggu di ruangan itu, sementara Dokter Keanu menemui Dokter Alfa di ruang pribadinya. Entah apa yang mereka bicarakan.
Chana menatap langit-langit ruang terapi. Pikirannya melayang-layang.
Dokter Alfa sakit mental ...?
Apa itu gawat?
Tentu saja gawat. Mungkin itu sebabnya pria itu menggila kemarin?
Bayangkan. Chana harus tinggal bersama pria gila di mansion mewah itu.
***
Dokter Alfa mengajak Chana makan malam di cafe kecil dekat Klinik. Kemudian mereka mampir ke mini market untuk membeli ice cream berbagai rasa yang sudah dijanjikan. Banyak sekali ice cream yang diborong oleh Dokter Alfa.
Sekarang mereka sudah berada di dalam mobil. Beberapa kali Chana melirik Dokter Alfa yang tengah menyetir. Rahang pria itu tampak tegas dengan bulu-bulu halus yang baru tumbuh. Iris cokelat kemerahannya berkilat menyipit fokus menatap jalan. Bibirnya berkedut setiap kali melihat remaja yang kebut-kebutan di jalanan.
Mereka hanya diam-diaman sejak masuk ke dalam mobil. Benar-benar canggung. Apalagi ucapan Dokter Keanu tentang semua kebaikan Dokter Alfa membuat Chana semakin merasa rasa bersalah. Ia sejak tadi hanya berani mencuri pandang ke arah Dokter Alfa.
Tiba-tiba Dokter Alfa menoleh padanya, membuat Chana sontak menunduk.
"Gimana terapinya?" tanya pria itu.
"Bagus. Dokter Keanu juga baik dan ramah orangnya."
Dokter Alfa terdiam sejenak, mendengus. "Yeah. Tentu saja. Kalian banyak tertawa tadi."
Chana tidak menanggapi komentar sinis itu. Mereka kembali diam.
"Dokter Alfa," Chana memecah keheningan.
Dokter Alfa kembali menoleh padanya.
"Maafkan aku ...."