CILY, CEO 5

1470 Words
Selepas makan ia segera turun ke lantai bawah bersama sang Mama. Disana sudah ada Papa dan kedua kakaknya, Gwen akan berangkat sekarang. Kedua kakaknya memeluknya dan memberi kata-kata standar dalam perpisahan karena tak bisa mengantarkannya ke bandara. Yang mengantarnya adalah kedua orangtuanya disertai seorang supir. Selama di perjalanan sang Papa terus memberikan wejangan untuk tidak berbuat ini itu dan apapun yang tidak disukai dikeluarga ayahnya, pria yang menjadi ayah kandungnya itupun mengatakan akan terus mengawasi Gwen. “Ingat dengan semua yang Papa katakan, baik-baik disana.” Gwen memeluk Papanya lalu bergantian dengan Mamanya. Lalu ia segera masuk karena pesawat akan take off. Selama di pesawat Gwen hanya terlarut dalam pikirannya sendiri, ia berharap Tasya baik-baik saja nanti setelah sampai disana Gwen berencana untuk menghubungi sahabatnya itu. Dan untuk pria itu… Gwen harap mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Gwen akan memulai hidupnya yang baru dan penuh perencanaan, masa lalu kelam seperti pria itu tidak harus lagi muncul untuk menghancurkan semuanya. Ia akan menjadi Gwen yang baru, Gwen yang diinginkan keluarganya. ###Miss Sudah 3 tahun berlalu dan Max masih belum bisa menemukan dimana Gwen-nya pergi. Ia tak tahu nama lengkap Gwen bahkan nomor ponselnya sama sekali, semua begitu sulit untuk ditemukan meskipun ia sudah menelusuri kemana Gwen pergi setelah dari apartemennya. Padahal Max sudah merencanakan untuk menjalin hubungan dengan perempuan muda itu, tetapi ia malah ditinggal begitu saja. Max sudah dua tahun ini kembali lagi ke negara asal ibunya Los Angeles, ia memiliki perusahaan disana dan memutuskan pulang setelah tidak menemukan Gwen dimana-mana. Max tidak punya alasan kuat lagi menetap di Indonesia setelah urusan pekerjaannya usai dan tidak bisa menemukan Gwen. “Bagaimana? Apa kau menyukai Kate?” Max menggelengkan kepala pelan tanpa sekalipun menatap lawan bicaranya karena fokus dengan email-email yang sampai di tablet miliknya. “Mana mungkin, Kate wanita yang cantik juga berpendidikan. Semua laki-laki menyukainya, ia anak dari salah satu pejabat disini. Apa yang membuatmu tidak tertarik dengannya Max?” “Ibu sudahlah, tidak usah membuang waktumu. Dia bukan tipeku.” Elleana melipat kedua tangannya didepan menatap menantang pada anaknya, "Kalau begitu beritahu ibu seperti apa tipemu. Semua gadis-gadis populer di L.A, salah satunya tidak ada tipemu sama sekali? Hah, jangan bilang jika kau menyukai pria Max. Aku akan potong kemaluanmu.” “Tidak usah berpikir yang aneh-aneh, Aku normal.” “Max, aku hanya khawatir denganmu. Aku hanya memiliki dua anak, kakakmu Margareth sudah menikah dan memiliki anak. Kau sendiri sudah hampir berusia tiga puluh tahun dan sudah beberapa tahun ini aku tidak melihat kau menggandeng wanita manapun.” “Aku sedang tidak ingin berkencan, jadi ku mohon ibu berhenti menggangguku.” Elleana hanya bisa menghela nafasnya seraya memijat kepalanya yang pusing, mengambil duduk disalah satu sofa yang ada diruang keluarga dimana mereka berada saat ini. “Sejak ayahmu tiada, aku merasa bahwa aku yang harus memastikan keluarga kita baik-baik saja. Aku hanya ingin yang terbaik untuk anak-anakku, maafkan ibu Max sudah memaksamu untuk kencan buta dengan wanita-wanita itu.” “Sudahlah ibu, aku tidak marah denganmu. Aku tahu kau hanya ingin memberi yang terbaik untuk keluarga kita. Tetapi aku benar-benar tidak bisa dengan wanita-wanita itu.” “Baiklah, ibu janji tidak akan memaksamu lagi untuk kencan buta tetapi ibu akan tetap memaksamu untuk ikut dengan ibu disetiap acara pesta.” “Aku menyesal bilang tidak marah dengan ibu.” “Ayolah Max, jangan kesal begitu. Siapa yang tahu kan, kau akan menemukan wanita yang kau suka di pesta yang akan kita hadiri.” “Ibu, aku sibuk dengan pekerjaanku mana sempat untuk datang ke pesta.” “Max mengapa kau begitu tidak mau mencari kekasih? Atau ada seseorang yang kau sukai? Atau mungkin kau belum move on dari Martinez itu?” Akhirnya Max tak lagi fokus pada pekerjaannya, menaruh tabletnya dan menatap sang ibu. “Ini tidak ada urusannya dengan Alli.” Sayangnya Elleana makin mencurigai anaknya itu dengan menyipitkan mata penuh selidik, “Max kau masih memanggilnya dengan nama akrab. Jadi benar kau masih mencintainya? Apa kau lupa dia tunangan orang?” “Namanya memang Alli Martinez, lalu bagaimana aku harus menyebutnya jika bukan dengan namanya?” “Kau masih mencintainya?” “Tidak.” “Jangan coba berbohong pada ibumu Max, aku sangat tidak setuju kau bersama dia lagi. Cukup dia kemarin mempermalukan aku didepan teman-temanku dengan bermesraan bersama pria lain di Mall. Astaga mengingat itu aku semakin kesal, apa yang dipikirkan saat berselingkuh dari putraku yang kaya dan tampan ini sebenarnya.” “Ini benar-benar tidak ada hubungannya dengan perempuan itu ibu, sudahlah lupakan saja hal yang sudah berlalu.” Ucapan Max membuat Elleana tiba-tiba merasa iba, wanita paruh baya itu berpindah posisi duduk lebih dekat dengan anaknya. Menggenggam tangan Max yang sangat berbeda saat Elleana menggenggam pertama kali, anaknya ini sudah menjadi pria dewasa yang hebat. “Mungkinkah karena hal ini kau mengalami trauma Max? Bagaimana jika kita pergi konsultasi ke psikolog saja? Hal ini tidak akan bagus jika berlangsung lama, kau harus memiliki kehidupan baru dan cinta baru. Ibu tidak bisa melihatmu dirundung kesedihan dan trauma asmara berkepanjangan.” Max menatap aneh ibunya, apakah ia sebegitu memprihatinkan sekarang? Ia hanya tidak berkencan tiga tahun tetapi ibunya sudah begini. Dulu Max sering sekali berganti pasangan, sang ibu pun banyak komentar. Max merasa serba salah, entah apa yang benar dimata ibunya ini. “Ibu punya kenalan seorang psikolog cantik, dia muda dan ramah sekali. Ibu yakin kau segera sembuh setelah beberapa kali konsultasi dengannya, mungkin setelahnya aku akan mendapatkan cucu ketiga.” “Ibu, sudah cukup. Aku tidak trauma atau apapun karena aku sehat secara mental dan fisik. Apa yang ibu harapkan antara aku dan psikolog itu tidak akan pernah terjadi, jadi berhenti bicara.” Elleana mendengus sebal mendengar ucapan Max, Max sama sekali tidak memberi Elle celah untuk memasangkan anaknya itu jodoh. “Kau memang keras kepala seperti mendiang ayahmu. Ibu lebih baik pergi mengunjungi cucu-cucu ibu daripada berdebat dengan bujangan tua sepertimu.” Kemudian Elle pergi meninggalkan Max yang sedikit tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Apa tadi? Ibunya menyebut Max bujangan tua? Max berdecak pelan seraya menggelengkan kepala tak habis pikir, ia memilih untuk merebahkan tubuh di sofa yang ia duduki sekarang meskipun tubuhnya terlalu besar untuk sofa ini. Matanya menatap langit-langit ruangan ditemani keheningan sepeninggal ibunya. Dirumah besar ini ia hanya tinggal berdua dengan ibunya saja setelah kakaknya menikah. Dalam pikirannya ia kembali terbayang wajah cantik Gwen, wajah memerah itu terus saja terlintas dalam benak Max. Max sama sekali tak pernah bosan dan berharap takdir bisa membuatnya kembali bertemu dengan Gwen karena mungkin Max sudah jatuh hati. Jujur saja Max adalah tipe pria yang sulit jatuh cinta, dengan mantan-mantan pacarnya pun bisa dihitung pakai jari kekasih yang ia miliki perasaan dan itupun hanya sebatas sayang yang tidak terlalu. Jika bicara tentang cinta pertama, ya Max memilikinya bahkan cinta kedua dan ketiga. Tetapi tipe pria macam Max sangat tidak suka mengulang hal yang sudah menjadi masa lalu atau balikan dengan mantan pacar karena artinya itu mengulangi kesalahan yang sama. Sudah tiga tahun sejak malam itu, malam pertama dan terakhir ia bertemu Gwen. Max sangat ingat jika ia tidak memakai pengaman sama sekali dan mengeluarkannya didalam Gwen, mungkinkah Gwen telah mengandung anaknya dan melahirkannya? Jika ia berarti anak mereka sudah berusia sekitar dua tahunan, tapi kenapa Gwen tidak datang dan meminta pertanggung jawaban Max sama sekali? == Gwen sudah menahan diri selama ini. Ia terjebak dalam rasa bersalahnya pada keluarga dan ia hanya bisa menuruti setiap perintah juga apa apa yang diatur oleh Neneknya. Nyatanya dalam tiga tahun Gwen tidak bisa berbuat apapun, hanya bisa pasrah. Ia tidak pernah pulang ke Indonesia sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di Australia. Sebagai gantinya keluarganya yang akan datang untuk mengunjungi dirinya kemari. Jika bisa menentukan pilihan, Gwen akan dengan mantap menjawab ia ingin tinggal dengan Eyang di Jogja daripada dengan Granny di Aussy. Eyang nya meskipun cukup disiplin tetapi masih bicara cukup lembut. Memberikan pengertian yang tidak memaksakan dan mudah diterima siapapun. Tidak dengan Neneknya yang satu lagi. Dia cerewet dan akan terus berkomentar pedas jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Waktu tiga tahun dengan cepat Gwen gunakan untuk lepas dari Neneknya, ia sudah mendapatkan gelar sarjana beberapa hari lalu dan keluarganya pun masih ada disini. Ayahnya memberi usul agar Gwen kembali ikut mengurusi perusahaan ayahnya bersama kakak-kakaknya atau tetap disana bersama Nenek untuk melanjutkan study. Tetapi Gwen menolak, secara diam-diam ia sudah mengirim lamaran kerja melalui email ke beberapa perusahaan besar di Amerika. Gwen sudah gatal kaki ingin cepat-cepat kabur dari sana. Lihat saja pakaian yang Gwen pakai disini, sudah seperti anggota kerajaan Inggris sungguh bukan gaya Gwen sama sekali. “Gwen sudah melamar pekerjaan di beberapa perusahaan, dan sudah mendapatkan panggilan.” Hans menatap putrinya itu dengan tatapan tak terbaca, entah hal apa lagi yang sebenarnya ada dalam pikiran putri bungsunya itu Hans sama sekali tidak mengerti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD