Setelah lulus wisuda, Alexa langsung gencar mencari pekerjaan karena tak mau lama bergelar sebagai pengangguran. Sedangkan Aisha masih gitu-gitu saja, tak ada kemajuan. Dia jadi malu pada om dan tantenya karena terus menjadi beban bagi mereka berdua. Walau begitu, Daffa dan Luna tak masalah. Mereka malah berkata kalau untuk sekarang Aisha fokus saja berusaha mendapatkan haknya.
Hari ini, lebih tepatnya saat jam makan siang, Aisha sudah berada di sebuah restoran ternama. Dia tidak makan siang sendirian, tapi berdua dengan seorang pria tua di depannya yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya, Theo.
"Harusnya kamu legowo sejak awal untuk melepaskan Harris. Jadi tak perlu ada drama membosankan." Theo berucap pada Aisha yang masih menyantap makanannya.
"Seorang p*****r melahirkan seorang jalang murahan. Lalu jalang murahan itu akan melahirkan seorang apa selanjutnya?" Aisha melemparkan pertanyaan pedas seraya menyimpan garpunya dengan gerakan kasar di atas meja. Dengan berani dia menatap tajam ke arah ayahnya yang sudah sangat marah karena perkataannya barusan.
"Tutup mulutmu! Tidak seharusnya kamu bicara buruk seperti itu pada keluargamu sendiri!" sentak Theo marah. Aisha tertawa mendengar itu.
"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kira-kira, siapa yang menurunkan sifat buruk ini padaku? Bisa beritahu?" tanya Aisha lagi dengan senyuman sinis. Theo memicingkan mata ke arah Aisha. Mata hatinya benar-benar sudah tertutup. Pikirannya sudah diracuni oleh istrinya, tentang dia yang tak boleh mempedulikan Aisha.
"Aku mendengar kabar kalau bisnismu mengalami penurunan setelah dikelola oleh Bara. Yakin mau menyerahkan perusahaan pada orang yang tidak ahli? Bisa-bisa dalam tiga tahun ke depan kalian malah guling tikar nantinya," ujar Aisha. Ya, dia memiliki dua kakak tiri. Yang pertama berjenis kelamin laki-laki, bernama Bara. Yang kedua adalah Dinara, yang dihamili oleh mantan pacar Aisha.
"Daffa dan Luna sangat buruk mendidikmu." Theo berujar. Aisha tertawa lagi mendengar itu.
"Mereka mendidik aku dengan sangat baik. Hanya saja sekarang aku bersikap rasional saja. Untuk apa menghormati seseorang yang tak pantas mendapatkan penghormatan?" Aisha berujar disertai dengan seringai. Yap, beginilah dia. Dia akan menjadi anak yang baik dan lemah di depan om dan tantenya. Dan dia akan menjadi anak yang sangat menjengkelkan di depan ayahnya sendiri.
"Sebaiknya kamu pikirkan lagi tentang keputusan menyerahkan perusahaan pada Bara, yang jelas tak memiliki hak apa-apa. Jika kamu tetap pada pendirian tersebut, maka kita akan bertemu di pengadilan. Aku akan menuntutmu karena tak melaksanakan kewajiban menafkahi aku." Aisha berucap dengan tenang. Sebutan 'kamu' yang dia pakai pada Theo menandakan kalau dia tak sudi menyebut sosok itu dengan sebutan 'ayah'. Sebutan itu terlalu berharga bagi pria semacam Theo.
"Kamu mau menuntut ayahmu sendiri? Memangnya apa yang kamu punya? Sanggup menyewa pengacara?" Theo bertanya dengan nada yang meremehkan. Kemudian dia tertawa, membuat Aisha sangat muak.
"Seharusnya kamu ikut mati saja dengan ibumu. Kelahiranmu malah membuat keluargaku kacau. Benar-benar tak berguna." Theo mengatakan itu tanpa mempedulikan bagaimana sakitnya Aisha sekarang. Dia lalu berdiri dan merapikan jas mahalnya.
"Anak bodoh dilahirkan oleh seorang wanita bodoh juga." Setelah mengatakan itu, Theo melenggang pergi dari hadapan Aisha. Tangan Aisha mengepal kuat di atas meja, dengan mata yang berkaca-kaca. Dia masih tahan saat dirinya dihina dan direndahkan oleh ayah kandungnya sendiri. Dan jelas dia tak akan terima jika ibunya yang direndahkan.
"Selamat atas kehamilan putri tersayangmu. Selamat atas kehamilan diluar nikahnya. Semoga bayi tersebut lahir dan tidak menuruni sifat murahan ibu beserta neneknya. Sifat seperti sampah yang sangat menjijikkan."
Aisha mengatakan itu dengan suara bergetar menahan tangis. Setelah berucap seperti itu, dia melangkah keluar dari restoran, melewati Theo yang berhenti melangkah saat mendengar perkataan terakhirnya. Aisha langsung masuk ke dalam taksi, mengabaikan Theo yang menatap sangat tajam ke arahnya, seperti ingin menelannya hidup-hidup.
***
Aisha duduk di balkon kamar dengan laptop yang menyala di depannya. Dia baru saja membuka sebuah file yang dikirimkan oleh Senna lewat email. File itu berisi tentang biografi Alfan, juga segala macam hal tentang Alfan yang Senna ketahui. Senna berusaha membantu Aisha sebisa mungkin, karena jujur saja dia sangat geram dengan perlakuan Theo terhadap Aisha.
"Terima kasih, Kak. Btw, untuk bertemu dengannya memang susah kah? Aku bisa bertemu dengannya hanya dengan memperlihatkan kartu identitas saja."
"Iyakah? Kamu beruntung berarti. Banyak orang yang kesulitan untuk bertemu dengan beliau."
Aisha mengerutkan kening saat membaca balasan dari Senna. Dia pikir, Senna ada campur tangan agar memudahkannya bertemu dengan Alfan. Ternyata tidak. Mungkin, memang dia yang beruntung.
Kembali pada biografi Alfan, Aisha agak kaget sebenarnya setelah membaca keseluruhan informasi yang Senna berikan.
Nama lengkapnya adalah Alfan Gerald Wijaya. Dua bulan lagi, usianya menginjak angka 38. Itu berarti usianya dengan Alfan terpaut 16 tahun. Alfan pernah menikah, namun istrinya meninggal dunia tujuh tahun yang lalu karena sebuah penyakit. Dari informasi yang Senna berikan, pernikahan Alfan hanya berlangsung selama satu bulan saja. Dan istrinya meninggal dunia dalam keadaan hamil.
Jujur saja, Aisha merinding saat mengetahui itu.
Info lainnya adalah Alfan sudah tak memiliki orang tua. Ibunya meninggal 20 tahun yang lalu, dan ayahnya meninggal lima tahun yang lalu. Alfan memiliki ibu tiri yang masih hidup sampai sekarang. Dan infonya lagi, Alfan masih menganggap ibu tirinya sebagai keluarga walau orang yang menyatukan mereka sebagai keluarga sudah tiada.
"Pasti ibu tirinya baik," gumam Aisha.
Pak Alfan menikah secara mendadak dengan mendiang istrinya. Ada yang bilang karena mendiang istrinya terlanjur hamil. Tapi berita itu simpang siur dan tak pernah ada yang meluruskan.
Itu adalah paragraf terakhir yang Senna tulis. Dan entah kenapa Aisha jadi bete setelah membacanya.
"Mungkin benar mendiang istrinya hamil duluan jadi mereka menikah secara mendadak." Aisha bergumam. Bukan sok tahu ingin membenarkan, tapi alasan tersebut terasa nyambung dengan isi kertas yang Alfan berikan tadi padanya.
Aisha diam beberapa saat dan berpikir harus mengambil keputusan bagaimana. Yang jelas sih, dia tak boleh menyerah sekarang karena secara tak langsung dia sudah mengibarkan bendera perang pada ayahnya sendiri. Jika dia mundur, ayahnya pasti akan tertawa.
Setelah berpikir lumayan lama, Aisha lalu masuk ke dalam kamar dan mengambil kertas dari Alfan tadi. Dia mengetik nomor Alfan di ponselnya dan menyimpannya juga. Aisha juga langsung mengetik sebuah pesan yang akan dia kirimkan pada pria itu.
Tak apa. Menjatuhkan ayahnya untuk sekarang adalah yang terpenting.