Punishment

1313 Words
Mentari dan Mario refleks berdiri saat Marcel berjalan mendekat. Mereka tampak gugup, seperti baru saja tertangkap basah sedang berselingkuh. "Selamat datang, Tuan," sapa Daffa seraya membungkuk hormat pada Marcel. Marcel membalasnya dengan gumaman. Namun, tatapan matanya yang setajam pisau ia tujukan pada Mentari seorang. Melihat hal itu, Mario berinisiatif memecahkan ketegangan yang tercipta di antara mereka. "Hai, Bro ! Udah pulang lo?" Mario menonjok pelan bahu Marcel. Ia tertawa canggung. "Gue kira baru pulang besok." Marcel melirik Mario tajam. Lantas, ia menyeringai saat berkata, "Meetingnya selesai lebih awal, jadi gue buru-buru pulang buat ketemu istri gue tercinta." Marcel mengalihkan pandangannya pada Mentari seraya beringsut mendekatinya. Tubuh Mentari langsung menegang tatkala Marcel merengkuhnya ke dalam pelukan posesif lalu menyatukan kedua material basah milik mereka. Marcel tidak sekedar mengecup bibir Mentari singkat, tetapi melumatnya. Ia mencium Mentari dengan penuh gairah, seakan ingin menunjukkan pada Mario bahwa Mentari adalah miliknya. Sementara itu, Mentari hanya bisa pasrah menerima semua perlakuan Marcel. Ia bertahan sampai akhirnya kehabisan napas kemudian mendorong pelan bahu Marcel agar pria itu menghentikan aksinya. Karena Marcel bergeming,  ia lantas memukul pelan bahunya. Marcel lantas sedikit menjauh dan menatap wajah Mentari yang memerah dengan tatapan menggelap. Mentari menunduk. Lalu, Marcel kembali menatap Mario yang mengalihkan pandangannya ke arah lain selama Marcel dan Mentari berciuman. Ia memutar tubuh Mentari lalu memeluknya dari belakang dengan mesra. "Lo sendiri ngapain di sini?" Marcel bertanya pada Mario disertai senyum sinisnya. Mario terkesiap, lalu menoleh pada Marcel. Marcel sedang mengecupi leher Mentari. Sementara Mentari tampak risih dan tidak nyaman dengan perlakuan Marcel. Mario berusaha mengabaikannya. "Oh, gue cuma ngunjungin Mentari." Mario menyengir. "Gue tadi bawain dia spaghetti  terus kami makan bareng." Marcel mengangkat alis curiga. "Gue nggak tau kalo ternyata kalian sedeket itu?" Mario mengibaskan tangannya. "Bukan gitu, gue tadi kebetulan mampir ke restoran Itali trus inget Mentari. Lo tau, 'kan kalo gue nggak suka makan sendiri? Gue pikir Mentari mungkin juga ngerasa kesepian makan sendiri soalnya kan lo lagi ke Dubai, jadi—" "—Dan kenapa lo peduli Mentari kesepian atau nggak? Apa urusan lo?" Rahang Mario tampak mengeras. Marcel juga melihat kalau pria jangkung itu mengepalkan tangannya kuat. Ia menyeringai sinis. "Nggak ada," jawab Mario kaku. "Benar. Lagian, apa lo lupa? Mentari emang selalu makan siang sendiri karena gue selalu sibuk di kantor. Jadi nggak ada bedanya kalo gue pergi ke luar negeri." Mario tertohok dengan perkataan Marcel. Sebab, perkataan pria itu memang guerat. Tanpa Marcel pergi ke Dubai pun, Mentari memang selalu sendiri di mansion itu. Ia hanya ditemani pelayan dan pengawal setiap harinya. Jadi, wanita itu tidak akan kesepian secara harfiah. Jiwa Mentari lah yang merasa kesepian. Dan jiwa Mentari lah yang ingin ia hibur dengan kehadirannya di hari-hari wanita itu. Tentu saja Mario tidak ingin mengakui hal itu di depan Marcel. Ia tidak ingin menyulut perang, apalagi dengan sepupunya sendiri. Bagaimanapun, Marcel berhak atas Mentari yang notabenenya adalah istrinya. Alhasil, ia hanya mampu bungkam. "Terus, kenapa lo masih di sini? Gue udah dateng, jadi gue rasa lo udah bisa pergi karena udah ada gue, suaminya." Mario memperhatikan Marcel dan Mentari bergantian kemudian menghembuskan napas perlahan. Ia tersenyum. Senyumnya tampak dipaksakan. "Oke. Marcel, Mentari, gue pulang dulu." Mario pun melangkahkan kakinya meninggalkan sepasang suami-istri itu. "Lain kali, lo nggak perlu ke sini kalo gue nggak ada, Yo," Marcel bersuara saat Mario lewat di sampingnya. Mario berhenti dan menoleh pada Marcel yang menatap lurus ke depan. Sedetik kemudian, Marcel menoleh pada Mario yang masih setia menunggu kelanjutan ucapannya. Ia menatap Mario dengan tatapan tajam. "Lo tau? Mengunjungi seorang wanita yang sedang ditinggal pergi oleh suaminya itu nggak sopan karena bisa menimbulkan fitnah. Lain kali, datengnya kalo gue juga lagi ada di rumah. Lo ngerti, 'kan?" Mario menatap Marcel lama sebelum menjawab, "Gue ngerti. Lain kali nggak bakal gue ulangi. Maaf karena bikin lo nggak nyaman." "Bagus." Sepeninggal Mario, Marcel melepaskan pelukan posesifnya pada Mentari kemudian menarik kasar tangan wanita itu. "Ikut gue!" Marcel menyeret tubuh Mentari ke lantai dua. Mentari mengikuti langkah lebar Marcel dengan tertatih. Ia ingin meronta, tapi ia juga tahu kalau penolakannya pasti akan berakibat buruk. Maka dari itu, ia lebih memilih untuk menurut. Dalam hati, ia hanya bisa berdo'a agar Marcel tidak akan melakukan hal buruk padanya. ***** Marcel membawa Mentari ke ruang kerjanya lalu mengunci pintunya rapat. Ia merapatkan tubuh Mentari ke meja kerjanya sehingga membuat pinggang wanita itu membentur tepian meja. Mentari memekik tertahan. Marcel menghimpit tubuh Mentari. Ia meletakkan kedua tangannya masing-masing di samping pinggang wanita itu. "Ngapain Mario di sini?" Marcel mendesis. Mentari menelan saliva gugup kemudian menggeleng. "Nggak ada. Lo denger sendiri penjelasannya tadi, 'kan? Dia cuma bawain gue makanan terus kami makan bareng, itu aja." Marcel terbahak sebentar, kemudian menatap Mentari lama. Tatapan yang ia tunjukkan pada Mentari adalah jenis tatapan mencemooh. "p*****r," desisnya. Mentari membeku mendengar perkataan Marcel. Tatapan takutnya pada Marcel berubah menjadi tatapan terluka dan marah. Itu bukanlah pertama kalinya Marcel mengatainya dengan cacian sekasar itu, tapi tetap saja ia merasa sakit hati. Mentari mengepalkan tangannya kuat, berusaha menahan diri agar tidak menampar atau memukuli Marcel saat ini juga. Ia tidak ingin memberontak. Apakah serendah itu dirinya di mata Marcel? Memang apa yang telah diperbuat olehnya? Ia sama sekali tidak berselingkuh dengan Mario, tapi Marcel mengatainya seakan-akan Mentari adalah tukang selingkuh dan tukang tebar pesona pada setiap lelaki yang dekat dengannya. Marcel sepertinya menyadari tatapan penuh luka dan amarah yang dirasakan oleh Mentari. Ia menertawai Mentari dengan tawa mengejek. "Kenapa lo natap gue kayak gitu? Lo sakit hati? Mau marah?" Marcel kembali tertawa. Mentari semakin tersinggung karena perkataan Marcel, tapi ia masih berusaha menekan amarahnya dalam-dalam. Namun, hal itu justu membuat air matanya menggenang di pelupuk mata. Mentari menangis dalam diam. Marcel menyeringai melihat Mentari menangis. Ia menyeka air mata Mentari dengan ibu jarinya disertai senyum sinis. "Lo pikir dengan lo nangis gue bakal iba?" Marcel tersenyum sinis lalu menggeleng. "Sayangnya, gue nggak tersentuh sama sekali. Jadi sekarang, lo harus gue hukum." Hazel Mentari langsung melebar. Ia mendorong kasar Marcel saat pria itu hendak menciumnya secara paksa. Namun, hal itu tidak bertahan lama karena Marcel kembali mencoba merengkuh tubuh Mentari yang terus meronta. "Lepasin! Lo nggak bisa hukum gue seenaknya! Gue nggak ngelakuin kesalahan apa pun!" Mentari berontak saat Marcel dengan piawai berhasil menahan kedua tangannya yang sejak tadi berusaha mendorong tubuh pria itu. Wajahnya terlihat begitu panik. Apalagi, saat Marcel mulai mendorong tubuh Mentari agar setengah berbaring di meja kerjanya. "Diam, p*****r!" Marcel berteriak marah. "Makan dan ketawa bareng Mario itu salah satu bentuk kesalahan lo ke gue. Jadi lo harus tetap gue hukum." Mentari tetap memberontak di tengah rasa panik yang melandanya. Tangannya terus memberontak dan bibirnya terus-menerus berteriak. Akhirnya, Marcel yang sudah jengah mencengkeram kasar rahang Mentari lalu membungkam plum Mentari dengan sebuah ciuman penuh gairah. Awalnya, tangan Mentari masih aktif  bergerak saat Marcel melumat kasar bibirnya. Namun, semenit kemudian sepertinya cara Marcel mulai berhasil karena kini tubuh Mentari melemas karena kehabisan napas. Tangannya yang dicengkeram oleh Marcel terkulai lemah di kedua sisi kepalanya. Ia pun sepertinya sudah pasrah dengan apa yang akan perbuat pada dirinya. Benar saja, saat Marcel menyudahi ciuman panasnya dan mulai melucuti celana dalamnya, ia diam saja. Marcel menyeringai puas lantas mengangkat kedua kaki Mentari sehingga wanita itu kini dalam posisi mengangkang di atas meja kerja Marcel. "Akh!" Mentari berteriak kencang saat Marcel memaksakan ereksinya untuk memasuki kewanitaannya yang sama sekali belum siap. Tangisnya pecah saat Marcel menghujamkan 'milik'nya secara kasar pada lubang madunya itu. Mentari bersumpah kalau rasanya teramat sakit di 'sana'. Bahkan, rasanya jauh lebih sakit daripada saat pertama kali Marcel melakukan hal 'itu' pada dirinya dengan cara yang sama. Bedanya, kali Marcel tidak melakukan 'pemanasan' lebih dulu. "Berengsek!" Mentari tak kuasa menahan segala macam u*****n yang ia rapalkan pada Marcel yang sedang sibuk menyetubuhinya. Namun, sepertinya hal itu tidak berefek apa pun pada Marcel. Marcel tetap sibuk menghujam titik sensitif Mentari berkali-kali hingga akhirnya kegelapan menyapa hazelnya dan membuat wanita itu tak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD