Tinkerbell Story

2307 Words
Pagi ini, Mentari bangun lebih awal dari biasanya. Jika biasanya ia akan melewatkan sarapan pagi bersama Marcel, kali ini lain ceritanya. Ia dan Marcel bisa sarapan di meja yang sama. Jangan tanyakan mengapa karena biasanya ia dan Marcel terlibat dalam pergulatan panas semalaman yang membuat Mentari kelelahan. Sedangkan semalam Marcel sibuk dengan pergulatan panas bersama wanita lain yang menurut perkiraan Mentari adalah seorang PSK. Bicara soal wanita itu, sepertinya Marcel langsung menyuruhnya untuk pergi setelah berhasil memuaskannya. Bukan tanpa alasan Mentari berpikir seperti itu karena Mentari tidak melihat wanita itu lagi pagi ini. Diam-diam, Mentari mencuri pandang ke arah Marcel yang sedang membaca sesuatu di tabletnya. Entah kenapa, Mentari merasa ada sesuatu yang janggal pada dirinya saat ia menatap pria itu. Bayangan kejadian semalam saat ia tanpa sengaja melihat adegan panas Marcel bersama wanita lain terus menghantui benaknya. Ia ingin mengenyahkan bayangan itu, tapi semakin Mentari ingin melupakannya, bayangan itu justru semakin teringat olehnya. Astaga, sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya? "Kenapa lo merhatiin gue kayak gitu?" Bariton Marcel membuat Mentari terhenyak seketika. Dilihatnya kini, Marcel sedang memperhatikannya tajam. "Nggak. Gue cuma lagi ngelamun kok. Gue nggak lagi merhatiin lo," Mentari menjawab dengan nada ketus. Ia melengos kemudian kembali menyantap panekuknya. Marcel menyeringai. "Lo liat, ya?" Pertanyaan Marcel seketika membuat gerakan Mentari yang hendak menyuapkan panekuk ke mulutnya terhenti. Mentari mengarahkan atensinya pada Marcel. "A-Apa?" "Tadi malam, waktu gue tidur sama PSK, lo liat, kan?" Wajah Mentari memucat setelah mendengar pertanyaan Marcel yang sudah diperjelas itu. Ia tidak menyadarinya, tapi Marcel sadar akan hal itu. Seringai Marcel makin lebar. "Kayaknya tanpa perlu lo jawab, gue udah tahu jawabannya," seloroh Marcel. "Lo liat, 'kan?" Mentari mendengus. Ia membanting garpu dan pisau yang dipegangnya sedikit kasar di atas meja. "Iya, gue liat. Kenapa? Apa lo pikir gue cemburu? Maaf, tapi gue sama sekali nggak cemburu." Marcel terkekeh mendengar jawaban Mentari. Mentari mengernyit heran melihat tawa Marcel. Wajahnya semakin merengut kesal. Ia mengalihkan pandangannya dengan segera dari wajah tampan yang begitu menyebalkan di matanya itu. "Astaga, Mentari ... siapa yang nuduh lo cemburu? Kayaknya, gue ngomong apa-apa soal itu-oh! Atau jangan-jangan, lo emang cemburu, ya?" Kini, Mentari mendelik mendengar perkataan Marcel. Ia merutuk dalam hati. Benar juga, Marcel tidak mengungkit-ungkit soal cemburu, jadi kenapa ia mengungkitnya? Kenapa juga ia bertingkah seolah-olah ia memang merasa cemburu karena kejadian semalam? Dasar bodoh! Marcel berhenti terkekeh. "Ingat, Mentari! Lo emang milik gue, tapi bukan berarti gue juga milik lo." Perkataan Marcel yang begitu dingin membuat Mentari menoleh. Tak hanya perkataannya, tatapan mata Marcel juga tampak dingin dan tajam padanya. "Semua yang ada di dalam diri lo adalah milik gue, tapi semua yang ada di dalam diri gue adalah milik gue sendiri. Jadi, lo nggak berhak ngerasa cemburu, marah, ataupun sakit hati atas apa pun yang gue lakuin. Paham?" Tepat setelah Marcel menuntaskan kalimatnya, pria itu bangkit dari kursinya dan beranjak pergi dari ruang makan menuju teras utama dimana mobilnya telah siap di sana. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara menyapa gendang telinganya. "Lo bener, gue emang nggak berhak ngerasa cemburu, marah, ataupun sakit hati sama lo karena sejak awal lo nggak pernah anggap gue sebagai istri, kan? Lo cuma anggap gue sebagai objek pemuas nafsu atau pelampiasan amarah lo." Mentari menghela napas kasar. Kedua tangannya terkepal kuat di atas meja makan. "Lo nggak perlu khawatir. Gue sangat mengerti akan hal itu, Marcelino Soebrata." Mentari mendorong kasar kursi yang didudukinya dan berjalan cepat menuju kamar. Marcel perlahan membalikkan badannya dan menatap punggung Mentari yang menjauh dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah punggung wanita itu benar-benar menghilang, barulah Marcel berbalik pergi menuju kuda besinya, berusaha tidak menerka-nerka apa yang sedang dirasakan atau dipikirkan oleh wanita yang berstatus sebagai istrinya itu. ***** "Wah, tumben banget lo ke sini?! Sekarang lo lebih suka bau obat daripada alkohol?" Vino tersenyum miring pada Mario yang baru saja duduk di kursi di hadapannya. Saat ini, mereka sedang berada di ruang Direktur Utama Rumah Sakit Medika milik keluarga Vino. Mario membalas Vino dengan cengiran khasnya. "Kenapa? Lo nggak suka gue ngunjungin?" Vino berdecih. "Ngunjungin gue atau perawat-perawat cantik di sini?" "s****n!" Mario dan Vino sama-sama terkekeh karena gurauan itu. "Omong-omong, gimana kabar Tinkerbell lo? Lo udah berani nemuin dia?" tanya Vino sesaat setelah ia meredakan kekehannya. Ya, Mario memang bercerita tentang sosok Tinkerbell  di masa kecilnya itu pada Vino, tapi tentu saja ia tidak mengatakan jika sosok Tinkerbell-nya itu adalah Mentari. Mario yang mendengar pertanyaan itu langsung menghembuskan napas lesu. "Udah. Gue nemuin dia lima minggu yang lalu. Dan dugaan gue mengenai suaminya benar." "Serius? Terus, apa rencana lo selanjutnya? Lo nggak akan ngerebut dia dari suaminya, kan? Kalo aja lo sadar lebih awal dia gadis cilik yang lo cari selama ini sembilan tahun yang lalu, bisa aja dia nggak akan menikahi suaminya, kan? Mungkin aja justru lo yang akan nikahin dia. Sayangnya, lo baru sadar akhir-akhir ini setelah dia resmi jadi istri orang lain." Vino menggeleng prihatin. Mario menggeleng sambil terkekeh pelan. "Nggak lah. Lagian, gue cuma peduli sama dia, bukan jatuh cinta atau suka. Perasaan yang gue bukan perasaan kayak gitu, Vin. Gue cuma merasa berhutang budi sama dia." Lagian, apa pun yang terjadi, Marcel udah mengklaim Mentari sebagai miliknya bahkan sejak awal ketemu, Mario menambahkan dalam hati. Vino memicing curiga. "Lo yakin lo cuma peduli sama dia? Bener, lo nggak suka atau bahkan cinta?" "Ng-Nggak. Gue murni cuma peduli. Oke, gue emang ngerasa kalo naluri gue untuk ngelindungin dan bikin dia bahagia itu begitu kuat, tapi ... gue rasa itu bukan cinta, Vin." Mario mengernyit ragu setelah mengatakan hal itu. Benarkah perasaannya hanyalah perasaan peduli? Sebenarnya, ia tidak begitu yakin akan hal itu. Tapi, mungkinkah juga itu cinta? Entahlah, Mario belum berani menetapkan perasaan apa yang sebenarnya ia rasakan pada Mentari. Bagaimanapun, Mentari bukanlah miliknya. Wanita itu sudah diklaim sebagai milik Marcel. Ia istri Marcel. Ikatan mereka sebagai sepasang suami-istri sah di mata hukum maupun Tuhan, walaupun pernikahan itu dilakukan atas dasar benci dan paksaan. Vino mengangguk mengerti sebagai respon dari perkataan Mario. Ia mengusap dagunya penasaran. "Sungguh, sebenarnya siapa sih wanita itu? Gue begitu penasaran dengan sosoknya. Memangnya sespesial apa dia hingga bisa membuatmu terus mengingatnya bahkan hingga belasan tahun lamanya?" Vino tampak berpikir serius. Sementara Mario hanya bisa mengulum senyum. ***** "Mama ...." Seorang bocah laki-laki berumur sepuluh tahun tampak sedang duduk menangisi sebuah makam yang masih baru. Sepuluh menit sudah ia menangis sambil memanggil-manggil ibunya. Ia hanya sendirian di pusara ibunya itu. Semua pelayat sudah pergi, termasuk sepupu dan sopir pribadinya yang ingin membiarkannya sendiri dulu pasca pemakaman ibunda tercintanya. Mereka tahu, kalau ia sedang merasa sangat sedih saat ini. Saat sedang sibuk menangis, tiba-tiba seorang gadis cilik yang tampak seumuran dengannya datang menghampirinya. Gadis cilik itu datang membawa dua buah es krim di tangannya. "Ini!" Gadis cilik itu menyodorkan salah satu es krim miliknya pada bocah laki-laki yang sedang menangis itu. Bocah laki-laki itu menatap gadis cilik itu tak mengerti. "Apa?" "Ini buat kamu. Kalo aku sedih, Papa selalu beliin es krim biar aku nggak nangis lagi. Nih!" Lantas, dengan ragu-ragu bocah itu mengambil es krim yang disodorkan padanya. "Makasih." Gadis cilik itu membalas dengan senyuman manis. Lalu, ia ikut duduk di samping bocah itu. Ia makan es krim dengan lahap, sementara si bocah laki-laki masih setia menatap sendu makam ibunya. "Kenapa kamu nangis? Ini makam siapa?" tanyanya polos. "Aku nangis karena Mama aku baru aja meninggal. Dan ini adalah makamnya," bocah itu menjelaskan. Kini, ia sudah tidak menangis lagi. Tapi, raut wajahnya masih tampak sedih. Gadis cilik itu menepuk pelan bahu si bocah laki-laki. "Nggak papa. Jangan sedih lagi. Mama kamu masih tetap berada di dekat kamu kok walaupun dia udah meninggal" Bocah laki-laki itu menoleh cepat pada si gadis cilik. Matanya menegerjap lucu, "Beneran?" Gadis cilik itu mengangguk dengan semangat. Senyum manis kembali menghiasi bibir mungilnya. "Mama aku juga udah meninggal sejak aku baru dilahirin. Tapi, Papa selalu bilang kalo Mama masih selalu berada di dekatku walaupun dia udah tiada. Papa bilang Mama jadi bintang paling terang di langit. Makanya kalo kangen aku liat bintang di langit. Eh beneran, di langit ada bintang yang paling terang dan itu adalah Mama. Dia selalu ngawasin aku dari atas langit," jelas gadis cilik dengan wajah berbinar. Bocah laki-laki itu tampak diam mendengarkan. Diam-diam, ia merenungkan perkataan si gadis cilik. Apakah ibunya juga menjadi bintang yang paling terang di langit? "Jangan khawatir! Mama kamu pasti juga jadi bintang di langit." Gadis cilik itu berujar seakan dapat membaca isi hati si bocah laki-laki. Bocah laki-laki itu tersenyum tipis lalu mengangguk. "Oh ya, Papa kamu mana? Kenapa kamu sendiri? Papa kamu nggak datang ke pemakaman?" Pertanyaan itu membuat senyum si bocah laki-laki luntur dalam sekejap mata. Wajahnya tampak murung. "Papa nggak mungkin datang. Dia cuma sibuk ngurusin kasus kliennya di luar negeri. Lagian, Papa nggak suka  Mama. Dia juga nggak sayang aku. Setiap hari dia sibuk kerja dan kalo di rumah dia sama sekali nggak peduli sama aku dan Mama. Bahkan, pas Mama meninggal, dia juga nggak datang. Aku benci Papa.." Gadis cilik itu menggeleng tak setuju. "Kamu nggak boleh ngomong gitu soal Papa kamu sendiri. Nggak mungkin Papa kamu nggak suka Mama kamu. Nggak ada Papa yang nggak sayang anak sama istrinya sendiri. Mungkin aja Papa kamu cuma nggak bisa ungkapin perasaannya ke kamu sama Mama kamu dengan baik." Bocah itu menatap si gadis cilik dengan tatapan aneh. "Kamu ngomong kayak orang dewasa." Gadis cilik itu hanya terkekeh. Bocah laki-laki itu ikut tersenyum melihat kekehan si gadis cilik yang tampak manis di matanya. "Sayang, kamu di sini?" Sebuah suara menginterupsi momen antara si gadis cilik dan bocah laki-laki itu. Si gadis cilik menoleh ke sumber suara lantas tersenyum semringah. "Papa!" Gadis cilik itu berlari meninggalkan bocah laki-laki itu dan menghambur ke pelukan ayahnya. Dia dan ayahnya saling tersenyum gembira. Bocah laki-laki itu iri dibuatnya. Gadis cilik itu bicara sebentar pada ayahnya kemudian kembali menghampiri bocah laki-laki itu. "Ini buat kamu!" Gadis cilik itu memberikan sebuah medalion berbentuk bintang pada bocah laki-laki itu. "Ini apa?" tanya bocah itu tak mengerti. "Medalion ini sebagai jimat keberuntungan. Kamu juga bisa anggap itu sebagai pengingat akan Mama kamu yang udah meninggal kalo kamu rindu Mama kamu saat kamu nggak bisa liat bintang. Ingat, kamu nggak boleh sedih lagi dan jangan benci Papa kamu, ya?  Kamu harus jadi laki-laki yang kuat, oke? Dadah!" Gadis cilik itu pun berlari meninggalkan bocah laki-laki yang masih tertegun sambil memperhatikan medalion di tangannya. Saat ia mendongak untuk berterima kasih, gadis cilik itu dan ayahnya sudah pergi. Bahkan, ia juga belum tahu nama gadis cilik yang telah menghiburnya itu. Matanya berpendar mencari gadis cilik itu, tapi ia tidak dapat menemukannya. Bocah itu menghembuskan napas lesu. Lantas, ia kembali memperhatikan medalion ditangannya. Senyum lebar terkembang di bibirnya. "Terima kasih udah hibur aku, Tinkerbell." ***** Mario menatap prihatin seorang pria muda yang terbaring koma di ranjang rumah sakit dengan dengan berbagai macam alat medis yang terpasang di tubuhnya. Sebenarnya, inilah tujuan utama mengunjungi rumah sakit milik Vino. Ia ingin menjenguk pria yang berstatus sebagai kakak dari sepupu iparnya, Aditya Rafael Danendra. Pria itu beserta ayahnya mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu, tepat setelah kebangkrutan melanda perusahaan keluarga Mentari. Naas, sang ayah langsung meninggal di tempat, sementara Adit jatuh koma. "Apa Marcel atau Mentari pernah ke sini setelah mereka menikah?" Mario bertanya pada Vino yang ikut bersamanya. Vino menggeleng. "Nggak. Menurut dokter dan perawat yang menangani Adit, cuma asisten Marcel yang sering ke sini untuk mengecek kondisi terkininya." Mario mengangguk mengerti. Namun, batinnya merasa miris. Bahkan, Marcel juga tidak mengizinkan Mentari mengunjungi ayahnya sendiri. Keterlaluan, Mario membatin kesal. "Lalu, apa ada perkembangan dari kondisinya?" "Kondisinya nggak banyak berubah sejak hari pertama dia dirawat. Tapi, kondisinya bisa dibilang stabil." Mario kembali mengangguk. Ia memperhatikan wajah Adit lekat. Ia berbicara pada Adit lewat tatapan mata dan suara hatinya. Adit, tolong bertahanlah dan cepat sembuh. Mentari sangat membutuhkan lo. ***** "Ini apa?" Mentari bertanya pada Bik Mira yang memberikan sebuah kotak berukuran sedang dengan hiasan pita di atasnya kepada dirinya. Bik Mira tersenyum lalu menjawab, "Itu dari Tuan Marcel, Nyonya. Silakan dibuka." Mentari pun membuka kotak itu. Betapa terkejutnya dia saat melihat apa yang tersimpan di dalamnya. "Gaun?" "Benar, Nyonya. Itu sebuah gaun. Tuan Marcel ingin Nyonya memakainya untuk pesta malam ini." Lagi-lagi, Mentari terbelalak. "Pesta apa?" "Malam ini adalah peresmian hotel baru milik Tuan Kevin. Tuan Marcel ingin Nyonya menemaninya pergi ke sana." Mentari terpaku mendengar penjelasan Bik Mira. Marcel mengajaknya ke pesta Kevin? Ya ampun, mimpi apa dia semalam? Bukankah Marcel melarangnya pergi keluar rumah? Tapi, kenapa sekarang pria itu justru mengajaknya ke pesta? Dan lagi, gaun yang Marcel berikan padanya itu cukup ... err, seksi. Mentari mendengus. Sebenarnya, apa maksud Marcel berbuat seperti ini? "Nggak boleh ya kalo aku nolak? Aku nggak suka pesta, jad—" "Nggak ada penolakan, Mentari." Sebuah suara menginterupsi, tapi itu bukanlah suara Bik Mira. Mentari menatap si pemilik suara yang berdiri angkuh di ambang pintu kamarnya dengan tatapan dingin. Marcel berjalan menghampiri Mentari yang duduk di tepi ranjang dengan wajah datar andalannya. Bik Mira segera enyah dari kamar Mentari, meninggalkan kedua orang yang berstatus sebagai suami-istri itu. Marcel dan Mentari saling melempar tatapan tajam. Marcel menyeringai. "Lo tau betul kalo gue paling nggak suka penolakan, kan? Jadi, suka nggak suka, mau nggak mau, lo harus ikut gue nanti malam, atau—" "—Atau apa? Lo mau hukum gue? Silakan! Gue udah biasa sama hukuman lo, jadi gue sudah nggak takut lagi sama ancaman lo." Mentari mengalihkan pandangannya dari Marcel yang kini justru terbahak karena perkataannya. Marcel berhenti tertawa kemudian membungkukkan tubuhnya. Ia berbisik di telinga Mentari, "Lebih parah dari itu, Mentari. Kalo lo nggak mau nurutin kata-kata gue, gue ...." Mentari berusaha untuk terlihat tidak peduli dengan perkataan Marcel selanjutnya. Namun, ia tetap mendengarkan dengan seksama karena penasaran oleh apa yang akan pria itu lakukan pada dirinya. Hazelnya membelalak tak percaya saat Marcel mengatakan kata-kata kejam dan terkesan tidak berperikemanusiaan itu. "... akan lenyapin kakak lo."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD