The Prisoner

1664 Words
"Selamat pagi, Tuan," sapaan itu serempak diucapkan oleh para pelayan dan pengawal yang berbaris rapi menyambut Marcel yang sudah tampak rapi memakai setelan kerjanya. Mereka membungkuk hormat saat Marcel melewati mereka untuk pergi ke ruang makan. Seperti biasa, Marcel tidak perlu repot-repot membalas sapaan mereka. Ia hanya memasang wajah datarnya dan mereka pun mengerti. Sesaat setelah Marcel sudah duduk di kursi kebesarannya, ia langsung memanggil Bik Mira. Wanita paruh baya itu pun segera datang menghampirinya dan membungkuk hormat padanya. "Bibik nggak perlu bangunin Mentari. Dia capek," Marcel memberitahu. "Nanti kalo dia lapar atau butuh sesuatu, dia bakal ambil sendiri. Jadi, jangan ada yang masuk ke kamarnya kalo bukan gue atau dia yang nyuruh. Paham?" Bik Mira mengernyit heran, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. "Saya mengerti, Tuan," ujarnya kemudian undur diri. Marcel hanya menggumam pelan kemudian memulai sarapan paginya. Ia harus segera pergi ke kantor setelah ini. Setumpuk pekerjaan sudah menanti di atas meja kerjanya. ***** Sementara itu, di ruangan lain dari mansion megah itu, seorang wanita sedang meringkuk seperti bayi di atas ranjang yang bak kapal pecah. Wanita itu menangis dalam diam sambil sesekali merintih akibat rasa nyeri dan perih di sekujur tubuhnya. Tubuh polos tanpa sehelai kainnya itu tampak mengenaskan. Luka lebam di mana-mana, baik di tubuh maupun wajahnya. Terdapat darah mengering pula di selangkangannya. Aroma khas b******a menempel di seluruh tubuhnya. Mentari tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan seburuk itu dari Marcel. Semalaman penuh Marcel memperkosanya bak sadisme. Benar, Mentari merasa kalau perlakuan Marcel padanya semalam pantas disebut sebagai p*********n walaupun faktanya Marcel adalah suaminya. Bagaimana tidak? Pria itu jelas-jelas memaksa Mentari, ditambah lagi pemaksaan itu disertai unsur kekerasaan. Wajar bila Mentari menganggapnya sebagai p*********n, 'kan? Parahnya lagi, setelah pria itu sudah puas menyetubuhinya, Mentari ditinggalkan begitu saja. Sumpah serapah dan berbagai macam u*****n tak henti-hentinya Mentari rapalkan dari plumnya yang membengkak. Akibat perbuatan Marcel itu, Mentari sama sekali tidak bisa memejamkan matanya untuk tidur akibat rasa sakit luar biasa yang ia rasakan di sekujur tubuhnya. Padahal, ia begitu lelah luar biasa akibat o*****e yang berkali-kali ia dapatkan semalaman. Menggerakkan kakinya untuk berjalan ke kamar mandi agar bisa membersihkan tubuhnya pun ia tidak mampu. Tubuh dan hati Mentari begitu sakit. Sakit sekali sampai rasanya mau mati. Mentari tertawa miris melihat kondisi tubuhnya. Ia benar-benar tampak seperti p*****r sekarang. Ya, Mentari memang merasa pantas disebut p*****r karena dia bersedia menikahi pria yang tidak dicintainya karena uang. Bahkan ia juga diperawani dengan cara yang begitu k**i tadi malam. Mentari mengepalkan tangannya kuat. Bayangan perbuatan Marcel semalam melintas di pikirannya. Mentari terisak. "Argh!" Mentari menjerit pilu kemudian memukuli dan menggosok-gosok tubuhnya sendiri. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia merasa kotor dan hina. "Gue benci lo, Marcel. Gue nggak akan pernah maafin perbuatan lo seumur hidup gue," Mentari berujar dengan bibir yang bergetar hebat. ***** Seperti biasa, Marcel sarapan dengan tenang di meja makan. Seperti biasa pula para pelayan berbaris di sekeliling ruang makan untuk mengawal Marcel makan. Dan yang dilihat para pelayan juga selalu sama; tuan mereka sarapan tanpa ditemani oleh istrinya. "Maaf, Tuan. Nyonya Mentari sudah dua hari ini tidak keluar kamar sama sekali. Dan sepertinya, Beliau juga tidak makan. Apa yang harus saya lakukan?" Bik Mira bertanya. "Biarin aja," jawab Marcel santai. Bik Mira membelalak samar mendapati sikap Marcel yang tampak biasa saja. Tidakkah Tuan-nya itu khawatir pada kondisi istrinya? Bayangkan saja, sudah dua hari Mentari tidak keluar kamar bahkan hanya untuk sekedar mengambil makan. Apakah Marcel tidak khawatir istrinya itu kelaparan? Atau justru pingsan? "Kalo Bibik khawatir, bawain aja makanan ke kamarnya. Itu pun kalo dia mau," Marcel berujar seolah ia bisa menebak isi pikiran Bik Mira. Bik Mira menatap Marcel terkejut. "Ya?" Marcel beranjak dari kursinya, tidak menghiraukan keterkejutan Bik Mira. Ia segera melangkahkan kakinya keluar dari mansion megahnya menuju mobil mewahnya yang telah menunggunya untuk bergegas ke kantor. ***** Sementara itu, di kamarnya Mentari duduk termenung di tepi ranjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela kamarnya yang terbuka. Berbeda dengan keadaannya yang begitu mengenaskan dua hari yang lalu, saat ini ia sudah membersihkan tubuhnya. Ia memakai dress selutut berwarna peach yang begitu pas melekat di tubuhnya. Lebam-lebam di seluruh tubuh dan wajahnya juga perlahan menghilang. Setidaknya ia sudah tidak terlihat seperti wanita yang habis diperkosa. Benar-benar jauh berbeda dari keadaannya dua hari sebelumnya. Tok tok tok! Mentari tersadar dari lamunannya saat mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Mentari menoleh sebentar ke arah pintu, kemudian kembali menghadap jendela. Ia berteriak agar orang yang mengetuk pintu kamarnya masuk ke sana. Seorang pelayan masuk ke dalam kamar Mentari dan terkejut saat mendapati kondisi kamar—khususnya ranjang— yang terlihat seperti kapal pecah. Pelayan itu menghampiri Mentari dengan langkah ragu sambil membawa nampan berisi makanan. Ia kembali dikejutkan oleh wajah sayu Mentari yang mirip seperti mayat hidup. Mentari melirik pelayan tersebut tanpa minat. "Gue nggak mau makan," Mentari berkata mendahului pelayan yang barus saja akan bicara. Pelayan itu tampak gelagapan. "Ta-Tapi, Nyonya—" "Gue bilang gue nggak mau makan!" Mentari membentak. Pelayan itu berjengit kaget kemudian segera pergi dari kamar Mentari. Selepas kepergian pelayan itu, Mentari menatap tajam pintu kamarnya. Air mata meluncur bebas di pipi pualamnya. Dalam hatinya, ia sudah bertekad untuk tidak keluar kamar dan makan sama sekali. Toh, ia tahanan Marcel di mansion ini. Marcel melarangnya untuk pergi keluar rumah dan bekerja. Ponselnya pun disita agar ia tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Apa lagi sebutan yang tepat untuknya kalau bukan tahanan, bukan? Jadi, sekalian saja Mentari mengurung diri di kamar dan mogok makan. Mungkin dengan begitu, ia akan mati secara perlahan dan Marcel akan merasa senang. ***** "Ngapain lo di sini?" Marcel bertanya pada seorang pria berkult tan yang duduk di sofa di sudut ruangannya. Nada bicaranya menegaskan kalau ia tidak suka dengan kehadiran pria yang notabenenya adalah sahabatnya itu. "Heh! Kok lo ngomongnya gitu sih? Emang nggak boleh gue ngunjungi sahabat gue sendiri?" Kevin mendengus kesal. Marcel masih menatapnya datar. Bahkan sekarang dia justru mengabaikan Kevin dengan memeriksa dokumen-dokumen yang menumpuk di meja kerjanya. Kevin menghela napas sambil mengacak rambutnya kasar. "Iya, iya, sori gue nggak dateng ke nikahan lo. Lo tau sendiri, 'kan kalo Las Vegas itu jauh dari Jakarta? Lagian, gue juga sibuk—" "—Sibuk nidurin p*****r-p*****r lo?" celetuk Marcel yang masih setia membaca dokumennya. Kevin melotot kesal padanya. "Heh, Marcelino Soebrata!" Kevin hendak membalas perkataan Marcel, tapi ia urungkan. Ia hanya memicing menatap sahabatnya itu. "Omong-omong, lo nggak pergi bulan madu?" Kevin menunggu jawaban Marcel. Namun, Marcel tak kunjung menjawab. Ia masih saja sibuk dengan dokumen-dokumennya. Kevin berdecak menatapnya sambil menggeleng tak percaya. "Ya ampun, gue nggak nyangka lo lebih milih dokumen-dokumen itu daripada istri lo sendiri. Kalau gue jadi lo, udah pasti gue milih b******a sama istri gue sepanjang hari. Apalagi kalau istri gue secantik Mentari—" "—lo mau gantiin gue bulan madu sama Mentari?" Pertanyaan Marcel—yang terdengar seperti sebuah penawaran— mau tak mau membuat Kevin membulatkan mata terkejut dan mulutnya ternganga sempurna. "Huh?" Marcel mengangkat wajahnya untuk menatap Kevin dengan seringai gelinya. "Lo nggak mau? Kenapa? Lo bilang dia cantik, 'kan? Gue pikir lo yang lebih pengin bulan madu sama dia daripada gue. Siapa tahu dia bisa lebih muasin lo soal 'menghangatkan' ranjang." Kevin kembali menganga tak percaya. Bahkan wajahnya ikut memerah karena malu. Sedetik kemudian, ia terbahak. "Lo gila!" Kevin mengutuk Marcel sambil menatap sang sahabat seolah pria itu sudah tidak waras. "Gimana bisa lo ngomong gitu tentang istri lo sendiri, hah? Lo pikir gue sampai hati nidurin istri sahabat gue sendiri? Kayak nggak ada cewek lain aja." Kevin melengos. Wajahnya tampak kesal. Ia tersinggung, sepertinya. Marcel masih belum menghilangkan seringai gelinya saat ia menatap Kevin yang merajuk seperti gadis remaja. Kevin yang merasa diperhatikan oleh Marcel, kini menoleh. "Stop starring at me like that, Mr. Soebrata! Bercandaan lo itu nggak lucu, tau?" Marcel tertawa. Kevin makin mendelik tak terima karenanya. Alhasil, Kevin yang semakin kesal pun bangkit dari sofa. "Ah, udahlah! Mendingan gue pergi aja daripada diketawain sama lo." Kevin menghentakkan kakinya meninggalkan ruangan Marcel. Marcel masih saja tertawa geli sampai Kevin menutup pintu di belakangnya. Tepat setelah punggung Kevin sudah sepenuhnya hilang dari pandangan, Marcel menghentikan tawanya karena mendengar sebuah suara. Dia melirik ke atas meja, ke tempat di mana ponselnya berada dan sedang berbunyi nyaring di sana. Dengan malas Marcel mengambil ponselnya. Wajahnya mengeras begitu mendengar apa yang sosok di ujung sana sampaikan padanya. "I'll be right there," Marcel mengakhiri pembicaran secara sepihak. Kemudian, ia segera bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari ruangannya dengan wajah penuh amarah. Dasar nyusahin! *** Marcel menatap benci pada sosok wanita yang sedang terlelap pingsan di atas ranjang di kamar tempatnya berada kini. Jarum infus tertancap sempurna di pergelangan tangannya. Wajahnya tampak sedikit pucat. Ia terlihat begitu lemah. Marcel melirik Rolex kesayangannya. Dua jam sudah ia menunggu wanita itu sadar dari pingsannya. Marcel ingin wanita itu sadar bukan untuk menanyakan keadaan wanita itu dan menunjukkan rasa khawatirnya. Ia menunggu wanita itu sadar untuk ... memarahinya? Entahlah. Marcel hanya merasa ingin berada di sana saat Mentari membuka hazelnya nanti. Ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak mati. Sekaligus memperingatkannya agar tidak lagi berbuat bodoh dengan mogok makan. Marcel sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat wanita itu menderita selamanya. Ia menikahi Mentari untuk ia hancurkan secara perlahan. Ia tidak sebaik itu membiarkan Mentari mengakhiri hidupnya sendiri dengan acara mogok makannya. Tidak secepat ini karena Marcel belum puas menyiksa wanita itu baik secara fisik maupun batin. Belum. Marcel menajamkan penglihatannya saat ia melihat Mentari mulai menggeliat samar dalam tidurnya. Ia sudah siap untuk menghampiri wanita itu kalau-kalau wanita itu benar-benar sudah sadar. Namun, saat mendengarnya mengigau memanggil sebuah nama, seketika Marcel mengepalkan tangannya kuat. "Bagas ... Bagas ...." Marcel menyumpah serapah lantas buru-buru melangkahkan tungkainya keluar dari kamar Mentari. Malam ini, ia belum bisa melampiaskan amarahnya pada wanita itu. Tidak, karena kalau ia melakukannya sekarang maka ia benar-benar akan membunuh Mentari malam ini juga. Marcel butuh pelampiasan. Maka dari itu ia akan mencari pelampiasan atas amarahnya yang semakin memuncak di tempat yang seharusnya. Heaven Club.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD