MTTE -- PROLOG
.... Leon POV....
Busyiitt ... Cinta itu apaan, sih? Kok gue nggak pernah ngerasain yak? Terkadang gue sesekali bisa mengagumi sosok seseorang, namun untuk mengatakan itu cinta sepertinya enggak deh, yahh.... gue emang selalu seperti ini, jika Fahri mengajak gue untuk bertemu seseorang yang sengaja ingin ia perkenalkan, gue selalu saja menolaknya, pengalaman patah hati? Oh.. tidak, gue enggak pernah ngerasain yang namanya patah hati, gue ini jomblo sejak dulu, kapan patah hatinya? Hahaha ... jika mengingat perkataan Fahri, bahwa gue bakal jomblo seumur hidup... yahhh jangan sampai juga sih, perasaan gue tetap ada kok, nggak mungkinlah sampai jomblo seumur hidup.
Apa kata orang? Pria tampan seperti gue nih nggak cocok memiliki predikat presiden jomblo.. eakkkk.
Dan ... Luvina, selalu saja berusaha menjodohkan gue sama si lampir itu. Lampir? Gue nggak suka sama dia, dia terlalu lebay, kasar, mirip mak lampir, egois dan terkadang suka banget marah-marah nggak jelas, walaupun dia cukup cantik tapi gue nggak pernah ngeliat wanita itu dari segi penampilan aja, gue tuh suka wanita yang lembut, wanita yang selalu tahu kapan dia akan tersenyum, wanita yang tahu menempatkan dirinya dan, wanita yang mampu membuat orang lain tersenyum.
Dan ... semua yang gue inginkan nggak ada dalam diri lampir. Gue sama dia? Masih seperti dulu, berantem dan selalu beradu pendapat. Fahri dan Luvina selalu stress setiap kali melihat kami berantem atau beradu pendapat. Lagian lampir itu nggak pernah mau ngalah, selalu saja nyosor nggak jelas setiap kali agye ngomong.
Sewaktu ulang tahun ketiga Rafki, aku dan lampir itu sepakat taruhan, hadiah siapa yang paling di sukai Rafki, itu akan menentukan pemenangnya dan yang menang akan selalu menyuruh si kalah sampai seminggu dan tentu saja Rafki lebih suka hadiah dari gue, karena aku tahu banget Rafki suka sama robot transformer lengkap dengan remote control nya dan kesukaan Rafki hanya gue yang tahu... hahaha anggap saja gue curang yaa karena sebelum taruhan gue menanyai Rafki diam-diam, wkwkwk...
Tentu setiap kali gue menyuruh si lampir itu untuk melakukan apa yang gue inginkan, itu pasti membuat dia manyun nggak jelas, membuat gue selalu saja tertawa di atas penderitaannya dan gue sangat suka itu.
"Ehh lo.. gue udah ngelakuin apa yang lo mau, gue udah masakin nasi goreng tuh", ujar lampir menepuk pundak gue membuat lamunan gue buyar seketika.
"Ahh.. apaan sih, gue bakal makan kalau gue mau, nggak usah ganggu deh, Lampir", kata gue membuat matanya berkabut amarah.
Lampir menendang kaki gue, membuat gue jingkrak memelas kesakitan, sungguh ini sakit banget, membuat gue kepengen banget nyekek lehernya, selalu saja kaki gue yang di tendangnya, bukan hanya sekali tapi berkali-kali.
"Ishh.. lo apaan sih?"
"Ehh. Gue udah capek-capek ya masakin lo, kalau saja gue nggak professional dan melupakan kesepakatan kita, gue bakal nggak perduli dengan suruhan lo, dasar Badrun", ujarnya.
"Di kesepakatan kita, nggak ada yang namanya memaksa, yang ada itu di perintah, bukan kah begitu? Waktu lo tuh baru aja empat hari, tersisa 3 hari lagi", kata gue menantang.
"Gue nggak mempermasalahkan waktu dan kesepakatan kita, yang gue perdulikan itu adalah sikap lo yang semena-mena, gue udah melakukan apa yang lo mau, setelah gue ngelakuin hal itu, lo malah bilang sebentar."
"Terserah gue donk, mau ngomong apa, mulut ini mulut gue, gue berhak mengatakan apa pun yang gue mau jadi nggak usah maksa, ya."
"Wahh.. lo emang b******k ya?"
"Apa? b******k? Hahaha... lo ngatain gue?""Lo nggak denger barusan? Pengen di ulang?"
"Apaan sih, kok galakan lo, seharusnya di sini gue yang berkuasa, bukan lo"
"Berkuasa? Dan gue kacung lo, gitu?"
"Nah lo tahu, 'kan?"
Dia melempar serbek yang ia genggam sejak tadi, melemparkannya tepat di depan mata gue.
"Apaan sih lo?"
"Lo yang apa-apaan, mulai hari ini gue bakal ngelanggar kesepakatan yang menurut lo itu harus terus di sepakati tanpa mengenal waktu", ujarnya menunjuk gue kasar... nah ini yang selalu membuat gue menjengkelnya karena dia pantas di jengkel.
Nenek lampir itu berjalan meninggalkan gue, dasar perempuan.
****
.... Gita POV ....
Karena kekesalanku pada si Badrun itu, aku sampai nggak makan karena begitu males melihat wajahnya, selalunya yang ia kerjakan adalah mengejekku dan mengintimidasiku.
Aku sampai nggak memiliki selera makan karena harus berhadapan dengan si Badrun itu, kampret emang.. pria apa wanita sih dia? Giliran sama orang lain dia begitu lembut, tapi sama aku? Dia begitu kasar dan ga menghargaiku.
Suara ketukan pintu terdengar, aku menoleh melihat Luvina tersenyum.
"Ada apa Git? Gue tungguin lo di bawah, kenapa ga nongol?", tanya Luvina duduk tepat di sampingku.
"Gue lagi ga nafsu makan aja"
"Apa karena Leon?", tanya Luvina membuatku menatapnya, jangankan menatap si Badrun itu, mendengar namanya saja membuatku jengkel.
"Lo kok ga jawab?", tanya Luvina.
"Hmm? Ga sih.. bukan hanya karena si Badrun itu, tapi gue emang ga nafsu makan aja,"
"Sudah hampir 4 tahun, lo pasti udah tahu banget gimana lagaknya, gimana sikapnya dan karakternya, jadi lo ga mungkin masih ga ngerti kan Git?", tanya Luvina menyentuh pundakku.
"Menurut gue, si Badrun itu makin para deh ga sukanya sama gue, entah ya kenapa dan motifnya apa tapi dia ga pernah berubah, sebelumnya kan gue sama dia tuh ga ada masalah, tapi kok makin kesini dia makin agak membingungkan", kataku Membuat Luvina menggeleng.
"Leon emang gitu Git, lo tahu, kan?"
"Mulai nggak suka gue."
"Bukannya sejak dulu, lo emang ga suka?"
"Iya sih, tapi makin kesini makin menjengkelkan tahu ga?", kataku menggerutu.
"Haha.. ishh, apaan sih Git, kalau lo Baper itu artinya lo emang ada perasaan Sama Leon"
"Whatt? Idih.... perasaan? Kok Sama si Badrun itu, gue ga pernah berperasaan ya? Jangan menyimpulkan sesuatu, Vin, lo kan ga tahu isi dalam hati gue"
"Ya udah.. kalau emang lo ga mau turun kebawah untuk makan, gue bakal nyuruh Yana untuk membawakan lo makanan"
"Ahh males gue, ga usah makan deh sekalian"
"Ishh.. apaan sih, Git, jangan nyiksa diri lah, lo tuh butuh makan"
"Iya iya.. tapi, Vin, gue mau nanya"
"Apaan?"
"Yana itu emang bener dari Indonesia?"
"Iya, dia berasal dari Indonesia, Bob mendapatkan Yana di salah satu yayasan pekerja asing"
"Hmm.. gitu ya? Baiklah"
"Emang napa?"
"Hmm? Ga ada apa-apa sih"
"Ya udah.. gue ke bawah dulu ya?"
"Iya, Rafki mana?"
"Masih di bawah sama pamannya"
"Si Badrun itu?"
"Ya Leon... siapa lagi paman Rafki dan Arsya kalau bukan Leon", kekeh Luvina.
"Ya udah.. lo pergi gih, gue mau istirahat"
Sepeninggalan Luvina, aku kembali membaringkan kepalaku, semenjak Luvina mengajakku ke New York, aku jadi merasa terjamin bersamanya, Fahri sudah menganggapku seperti bagian dari keluarganya, aku di berikan pekerjaan di perusahaan Fahri, dan hidupku di mulai bersama mereka.
Luvina menganggapku bukan hanya sekedar sahabatnya tapi juga menganggapku seperti saudaranya sendiri, aku sangat bersyukur mendapatkan keluarga seperti mereka, keluarga yang selalu memberikanku support bagaimanapun keadaanku, hanya ada satu orang yang sepertinya tidak pernah menganggapku ga ada, yaitu si Badrun itu.
"Udah dehh ga usah ngambek, ya ellah.. lo kayak ga pernah kasar aja", sebuah suara membuatku berbalik dan melihat si Badrun itu sedang berdiri dan bersandar di tiang pintu.
"Ga usah ya ganggu gue", kataku.
"Apa lo tersinggung karena gue ga mau makan nasi goreng buatan lo?"
"Enggak lah, ngapain juga gue tersinggung, kayak lo penting aja", kataku cuek tanpa menoleh ke arahnya.
"Aduh.. lo udah mirip bocah tahu ga?".
"Bodoh amat, biarin aja gue mirip bocah, itu juga ga ngeganggu lo"
"Ya udah, gue minta maaf", ujar si Badrun.
"Nggak usah minta maaf sama gue, lagian gue bosen denger lo minta maaf," kataku nggak mau ngalah.
"Baiklah, lebih baik lo makan deh, entar lo mati, bukan siapa juga 'kan yang repot tapi kita semua bakal
repot," kekeh Badrun.
"Nggak usah ya sok perhatian sama gue, lo pergi deh sana," kataku mengusir si Badrun itu dari kamarku.
***
Bersambung.Aku terima semua saran dari kalian, semoga kalian suka, ya. Tinggalkan jejak kalian dengan menekan LOVE.