Aku terkesiap saat mendengar suara kode password apartement dan juga suara seorang pria dan wanita. Apa jangan-jangan Ardigo sudah pulang bersama Andira sepupu tercintanya?
"Nami? Kok lo bisa di sini?" Suara yang sangat familiar menyadarkanku. Aku menoleh ke sumber suara dan ternyata Andira menatapku dengan raut tanya.
Ardigo hanya mengedikkan bahu acuh tanda tidak peduli dengan pertanyaan sepupunya sedangkan aku speechless harus menjawab apa. Eh, kenapa bingung harus menjawab pertanyaan Andira? Toh, aku di sini, kan dibantu Ardigo karena dia mengobati lukaku walau tidak ikhlas.
Aku melintirkan ujung kaosku. "Gue.. gue tadi kecelakaan, Dir. Dan untungnya Ardigo mau merawat gue."
Andira memicingkan matanya, "benarkah? Kalian tidak berbuat macam-macam, kan?" Tudingnya.
Aku tersedak air liurku sendiri. "Apaan sih, Dir. Gue hanya di obati luka gue sama Ardigo, yakan Ar?"
Ardigo yang tadinya sibuk sama pesananku beralih menatapku dan Andira secara bergantian. Lalu pria itu mengangguk setuju. Tuhkan, dia di pihakku!
"Tentu saja, lagian ngapain aku berbuat macam-macam sama wanita yang bukan tipe gue." Ujarnya ketus seraya meletakkan ayam dan kentang di atas piring.
Ish, memangnya tipe cewek Ardigo kayak mana, sih? Masa aku bukan tipenya? Nyebelin, ih!
Andira melotot tajam pada sepupunya, "jaga ucapan lo, Ardi! Kena karma baru nyahok!"
Ardigo tertawa sinis menanggapi ucapan Andira, "kena karma? Aku tidak percaya sama hal itu, lagian kamu tahu kalau aku sudah punya pacar, kan?”
“Terserahmu, aku hanya mengingatkan saja.”
Sedangkan aku? Tentu saja syok mendengar Ardigo sudah memiliki pacar. Tuhan, kenapa dia sudah memiliki pacar?
“Apakah dia sangat cantik?”
Ardigo dan Andira menatapku dengan raut tanya.
“Siapa? Kekasih gue?” Tanya Ardigo.
Aku hanya mengangguk saja dengan malas. Mendengarnya pun aku sudah muak.
“Siapa lagi kalau bukan kekasihmu. Masa kekasihnya Andira,” balasku sengit.
Ardigo tersenyum tipis, “Tentu saja dia cantik. Baik itu dari hatinya maupun dari parasnya.”
Andira menggeleng mendengar percakapan antara aku dan Ardigo. "Kalian berdua sudahlah. Dan kamu Nam, kok bisa sih kecelakaan?" Tanya Andira dan aku yakin dia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan antara aku dan Ardigo.
Aku nyengir sambil garuk-garuk kepala, "kan gue ngejar Ardigo, eh guenya gak lihat kiri-kanan, dan gue ditabrak sama mobil." Ceritaku sekenannya.
Andira menggelengkan kepalanya sambil berdecak, "lo bisa gak sih jangan ceroboh? Sifat ceroboh lo bikin gue gemas sendiri jadinya." Sungutnya.
Aku mendelik, "ish, orang kecelakaan bukannya di simpati malah dapat omelan." Cibirku kesal.
"Yaudah ah, capek gue, Nam gue ke apart gue bentar ya, dan lo Ar, jagain sahabat gue."
Ardigo menangguk malas lalu memainkan I-phonenya sedangkan aku mengangguk patuh. Lantas Andira mengangkat kakinya menuju kamar apart sebelah.
"Dimakan tuh ayamnya." Suara Ardigo mengalihkanku pada wajahnya.
Aku nyengir, "suapin dong, rasanya tangku sedikit lemas,"
Ardigo memutar kedua bola matanya, "Tanganmu masih berfungsi. Jangan jadikan kecelakaan itu sebuah alasan." Ujarnya dingin.
Aku mempautkan bibirku. "Kan pengen coba disuapin sama masa depan." Balasku mengelak karena ingin mencoba disuapi sama Ardigo.
Ardigo menghela napas, sambil menatapku dengan tajam. "Makan sendiri atau gue buang ini makanan! I begging you please to stop call me like that."
Aku tersenyum, "Tapi aku hanya ingin disuapin sekali saja. Tanganku benar-benar terasa lemas." Kataku sambil memasang wajah yang dikasihani.
Ardigo mengacak rambutnya frustasi, "gue serius Namira! Hentikan itu."
“Ayolah Ardigo, sekali saja. Aku seperti ini juga karenamu.”
Ardigo beranjak dari sofa. "Cepat habiskan makanannya, setelah itu gue anterin lo ke sebelah daripada disini lo membuat gue sakit kepala gara-gara menanggapi ucapan lo yang melantur." Setelah itu Ardigo pergi menuju kamarnya.
Ish, kan dia sendiri yang menyuruhku untuk di sini. Kenapa malah ngusir? Ih, kan aneh. Sambil mendumel dalam hati, aku memakan ayam bakar yang sudah di siapkan Ardigo.
***
Luar biasa sekali melihat Ardigo sudah santai dengan baju olahraga dan sepatu sport Nike-nya. Jadi seperti yang dilihat, Andira bilang padaku setiap minggu jam 05.00 pagi Ardigo sudah berdiri di pintu apartnya bersiap jogging di taman yang tak jauh letaknya dari apartement. Aku sih malas banget yang namanya olahraga apalagi bangun pagi-pagi. Tapi demi melihat seorang pria yang bernama Ardigo berolahraga, pasti akan kulakukan.
"Eh, mau olahraga juga ya," Ucapku basa-basi sambil memasang earphone ke telingaku.
Terdengar suara helaan napas kasar dari pria di sebelahku, "iyalah, masa mau dugem." Jawabnya ketus.
Aku tersenyum sambil mengerling centil, "sama dong, aku juga mau olahraga biar badanku fresh." Alibiku. Padahal fresh-nya natapin Ardigo. Lumayan, kan pagi-pagi sudah cuci mata.
Ardigo memutar kedua bola matanya acuh sambil pemanasan. "Kaki lo belum sembuh udah mau olahraga aja," ujarnya tanpa menatap wajahku.
Aku melihat luka di lututku. Lumayan sudah sembuh, kok. Lagian sudah empat hari yang lalu tragedi aku ditabrak. Eh, kok aku mencium kalau Ardigo mulai sedikit perhatian sama aku? Apa Ardigo sudah mulai peduli sama aku?? Huaaa.... Senangnya kalau Ardigo sudah peduli. Jadi, kan usaha aku menarik perhatiannya gak sia-sia.
"Heh, ngapain ngelamun sambil senyum gak jelas? Lagi bikin strategi untuk modusin gue, ya?" Tudingnya sambil menatapku dengan tajam.
Aku gelagapan, "eh? Ti-tidak kok, pengen banget ya di modusin?" Balasku sambil tersenyum menggoda kearahnya.
Ardigo mengibaskan tangannya, "di modusin sama lo gue udah kebal."
"Di tolak dan di cerca sama kamu juga aku udah kebal." Balasku.
Ardigo menghela napas lalu melangkah meninggalkanku menuju lift. Aku mengekorinya dari belakang.
"Lo mau ngapain, sih?" Tanyanya sambil menatapku dengan malas.
Aku tersenyum manis, semanis gula aren. "Kan udah di bilang kalau aku mau jogging di taman."
Ardigo berpaling, "terserah deh. Lantas Andira mana?" Tanyanya.
Aishh... Ngapain mencari Andira? Aku yang disini aja gak dicari. Nyebelin!
Aku mengedikkan bahu acuh, "Diranya masih tidur!" ucapku gak niat.
Ardigo melihatku sekilas dengan alisnya yang bertaut. Lalu kami sama-sama diam menunggu lift menuju lantai 23.
Ting!
Pintu lift terbuka dan kami pun masuk kedalam lift. Untungnya suasana di dalam lift hanya ada aku dan Ardigo. Duh, tahu aja ya pengen berdua'an sama Ardigo.
Tetapi keheningan menyelimuti kami sampai di lobby. Ardigo mendahuluiku melangkah keluar menuju taman. Aku dengan tertatih mensejajarkan langkah lebarnya. Karena aku tidak tahu lokasi taman tersebut walaupun jarak dari apartement sangat dekat. Lagian aku juga belum pernah jogging di sekitar taman itu.
Lalu langkahku terhenti di sekitar taman yang lumayan ramai pengunjung. Dari yang tua sampai yang muda datang mengunjungi taman yang luas ini. Taman ini begitu indah. Ada kursi taman untuk berehat sejenak dan berjejer bunga-bunga yang indah.
Saking terpaku dengan keindahan taman yang sangat indah dan asri, aku tidak melihat sosok Ardigo. Sosoknya sudah menghilang dari pandanganku. Astaga... kenapa aku ditinggal sih?
Aku celingukkan mencari sosok tubuh tegapnya, malah tidak kutemukan. Gagal dong niat mau modus sambil jogging bersama. Ish.
Aku berjalan tanpa tahu arah mengelilingi sekitar taman guna mencari Ardigo. Tetapi hasilnya nihil, pria itu tidak kutemukan. Ah, apa jangan-jangan dia tahu niat jogging sambil modus maka dia balik ke apartement?
Ah, masa iya dia balik lagi. Tapi siapa tahu instingku benar kalau dia balik ke apartement karena malas jogging apalagi ada kehadiranku?
Lelah mencari, aku memutuskan untuk duduk di kursi taman sambil mengelap keringatku dengan handuk kecil yang sejak tadi sudah kukalungkan di leher.
Tetapi mataku tidak pernah berhenti mencari Ardigo yang tiba-tiba menghilang dengan cepat dari pandanganku seperti jelmaan vampire di film Twilight.
Beberapa menit duduk dan mencari sosoknya yang sampai sekarang tak kutemukan, aku memutuskan beli es krim karena melihat orang beli es krim entah kenapa aku ingin mencobanya.
Setelah membeli es krim rasa strawberry, aku kembali duduk di taman sambil memakan es krim. Rasa strawberry yang melumer di lidah membuatku lupa dengan hilangnya Ardigo.
Tak terasa es krimku sudah habis, lalu aku kembali mencari sosoknya dengan mataku. Tetapi mataku berhenti pada satu titik dimana seorang pria dan wanita sedang berciuman ditempat umum. Melihat adegan itu membuatku jijik setengah mati memandang keduanya yang sedang asik b******u. Ah tentu saja di sini wajar saja berciuman di tempat umum.
Tadinya aku ingin memalingkan wajahku dari kedua pasangan 'menjijikkan' tersebut. Tetapi tubuh sang pria sangat familiar untukku. Dia seperti Ardigo.
Eh, memang benar! Ternyata memang Ardigo sedang mencumbu seorang wanita. Tapi, wanita itu siapa? Kenapa rasanya napas ini tercekat saat melihat Ardigo mencium wanita lain. Apa jangan-jangan wanita tersebut adalah pacarnya Ardigo yang dia bahas semalam?
Memikirkan itu membuat hatiku semakin panas. Jantungku terasa diremas-remas saking sakitnya melihat pemandangan tersebut. Aku berdiri dengan cepat lantas pergi menuju tempat mereka yang sedang asik dengan 'kegiatan' mereka seolah-olah di dunia ini hanya mereka bedua saja.
"Ardigooo!" Aku memasang suara cemprengku membuat keduanya berhenti dengan 'aksi panas' mereka.
Ardigo menatapku dengan wajah kaget. Sedangkan wanita disebelahnya memandangku dengan sinis sambil mendelik kesal karena mengganggu 'kegiatannya'. Apa peduliku!
Ardigo mendengus, "lo nguntit gue lagi, ya?" Tuduhnya sambil menatapku tajam. Wanita yang bisa kutebak asli orang Irlandia ini sudah menggeliat manja di lengan Ardigo. Melihat itu membuatku semakin panas. Sialan, makin emosi akunya!
Aku memutar kedua bola mataku, "kalau aku nguntit emangnya kenapa? Lagian kamu ngapain ciuman di tempat umum, kalau anak kecil melihat adegan tak senonoh itu, bagaimana?"
Ardigo mengedikkan bahu dengan cuek, lalu merangkul pundak wanita di sebelahnya. Sedangkan wanita tersebut semakin menggeliat manja dilengan Ardigo. Dasar bi*ch!
"Kalau di sini melihat adegan seperti itu sudah terbiasa." Jawabnya cuek.
Tak bisa kubendung rasa cemburuku, aku menarik rambut wanita yang menempel di lengan Ardigo. Aku tidak peduli dia itu kekasihnya atau bukan.
"Hey.. Bi*ch! don't ever interfere with my husband! Cause i'm his wife and I'm pregnant now."
Mulut wanita itu menganga lebar. "Are you seriously he is your husband?" Tanyanya tak percaya sedangkan Ardigo menatapku dengan tajam karena aku sudah melakukan hal yang tak terduga.
Aku tersenyum sinis, "that's true, you not trust me? Put your hand on my stomach and feel the presence." Ujarku meyakinkannya kalau aku benar-benar hamil anak Ardigo.
Aku mencoba menyakinkan wanita tersebut, padahal aku harap-cemas karena ini diluar logika kalau aku hamil anak Ardigo. Oh Tuhan, jika aku ketahuan bohong sama medusa ini bagaimana?
"How old the pregnancy?" Tanyanya sambil menatap perut datarku yang tak ada isinya.
"5 weeks." Ujarku. Ardigo hanya diam memdengarkan pembicaraan antara aku dan medusa di hadapanku.
"Whaaatt? 5 weeks? Oh, no." Ujarnya shock lalu menatap Ardigo dengan nyalang. "We are end. The end!" Katanya sok dramatis, sebelum pergi dari hadapan kami berdua dia memberikan satu tamparan yang bunyinya nyaring sampai aku meringis tanpa merasakannya.
Bodohnya bule itu, masa langsung percaya aja kalau aku hamil anaknya Ardigo dan terlihat percaya kalau kami sudah menikah. Padahal cincin nikah diantara jemari kami tidak ada. Dasar bodoh.
Aku pergi meninggalkan keduanya sebelum bule itu meninggalkan kami berdua. Ternyata Andira benar, beberapa hari yang lalu dia pernah menasehatiku agar tidak terlalu berlebihan mencintai Ardigo. Karena Ardigo itu sifatnya playboy dan suka bergonta-ganti pasangan. Awalnya aku tidak percaya, tapi karena sudah ada bukti dan aku melihatnya sendiri kalau ucapan Andira itu benar, maka aku percaya kalau Ardigo playboy.
Dia players sejati. Sayangnya aku suka padanya. Dia tidak setia, sayangnya hatiku memilih dia. Aku harus bagaimana? Aku sangat mencintai pria itu walau peringai playboy sejatinya tercetak di dalam dirinya. Sungguh, aku tidak peduli kalau dia playboy.
Tiba-tiba tanganku dicekal dari arah belakang. Aku menoleh mendapatkan wajahnya yang kaku dan matanya yang tajam.
"Kau merusaknya, Namira!!!" Bentaknya.
Aku tertawa sinis, "itu lebih baik daripada kau kebablasan di sini." Sindirku. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan cekalan tangannya di tanganku.
"Kau ingin mencobanya??" Tanyanya sambil menatapku dengan rahangnya yang mengatup bahwa pria itu sangat jelas sedang tersulut emosi.
Aku mengerutkan keningku, "mencoba apa?"
Tanpa bisa kucegah, bibir Ardigo menempel di bibirku. Aku terbelalak, dia sudah mencuri ciuman pertamaku!
Ardigo menjauhkan bibirnya dari bibirku, lalu tersenyum dingin. “Kau merusaknya. And you deserve this.” Setelah berkata, dia pergi meninggalkanku yang masih mematung dengan kejadian tadi.
Aku terduduk di rerumputan taman, karena aku tidak sanggup berdiri karena kakiku terasa lemas. Pengunjung menatapku dengan pandangan aneh. Aku hanya bisa diam terduduk di rerumputan sambil memegang bibirku.
Dia menciumku?? Mencuri ciuman pertamaku? God! He stole my first kiss.
--Priska Savira--