Sesuai janjiku dan izin dari Mama dan Papa, aku akhirnya tiba di Aerfort Bhaile Átha Cliath, Dublin. Ya, setelah pamitan pada Mama, lima harinya aku sudah mendapatkan tiket menuju Dublin, Irlandia.Di depanku sudah ada Andira bersama pria... Oh, god! He's so damn charming and of course so handsome. He looks so good in my eyes! That is true.
Aku tidak bisa mendeskripsikan wajah tampannya dari atas sampai bawah. Intinya, he looks so perfect! Sayangnya, wajahnya terlihat kaku nan dingin. Entah kenapa hanya melihat wajahnya membuat jantungku bernari-nari ria di sana. Rahangnya yang tegas, hidungnya yang lancip, bibirnya yang tipis, dan dagunya astaga… ada garis yang terbelah di tengah dagu pria itu.
Makhluk sempurna!
Tidak peduli Andira berceloteh, aku memperkenalkan diriku.
"Halo, aku Namira." Sapaku.
Tanpa senyum, dan tanpa ekspresi dia menggumam, "Ardigo."
Demi apa?! Ini yang namanya Ardigo? Benar juga sih kata Andira beberapa hari yang lalu kalau Ardigo itu dingin. Saking dinginnya aku aja meleleh karena di sampingnya.
Tuhan, berilah jodoh yang sempurna unrukku seperti makhluk dihadapanku.
Saking gantengnya, aku memasang wajah mupeng. Lalu aku membisikan kalimat ke telinga Andira kalau sepupunya sangat ganteng.
“Memang, tapi lo belum tau sifatnya dia. Setiap hari lo akan mengelus d**a saat tau seperti apa dia.”
Aku mencerna kalimat yang Andira katakan, memangnya Ardigo kenapa?
“Girls, sampai kapan mau di sini?”
Suara Ardigo menyentakkanku begitu pula Andira, akhirnya kami mengikuti langkah pria itu menuju parkiran mobil.
***
Di dalam mobil Range Rover milik Ardigo, aku sibuk bercerita tentang keadaan di Jakarta. Sebenarnya niat bercerita agar bisa mencari perhatian Ardigo. Malah Ardigo tidak menanggapi ucapanku. Oh, ayolah, aku hanya ingin mendengar suaranya yang tenang itu.
"Bisakah kau diam? Kau bisa menceritakan hal itu pada Andira nanti setelah tiba di rumah. Saat ini aku sedang menyetir, aku tidak bisa focus jikalau kau terus berbicara seperti ini," Suara Ardigo membuatku terdiam sebentar. Setelah itu aku nyengir gak jelas.
"Hehe, maaf. Aku hanya terlalu bersemangat saja, atau kau ingin mendengar cerita tentangku? I’m pretty sure you will like to hear my story." godaku sambil mengerling centil kearahnya dibalas dengusan kasar darinya.
"Stop. I never interested!"
Wajahnya yang menahan kesal itu membuatku ingin tersenyum, dia sangat menggemaskan jika memasang wajah seperti itu. Ya Tuhan, jika aku tahu Andira memiliki sepupu tampan seperti ini, aku pasti telah menyukainya sejak dulu. Kenapa mesti sekarang pria ini baru terlihat?
Aku tersenyum manis saat Ardigo menatapku tajam lalu ia kembali sibuk dengan kemudinya, sedangkan Andira memperhatikan kami dari belakang. Jadi sebenarnya si Andira ini demi sahabatnya ia rela duduk di belakang sedangkan aku duduk di samping Ardigo. Biar leluasa aku melihat Ardigo dari dekat.
“Bagaimana jika aku saja yang mendengar ceritamu? Percayalah, aku benar-benar ingin tau tentangmu lebih dalam,” ungkapku. Aku mendengar suara dengusan kecil darinya dan tentu saja di jok belakang sana Andira sudah tertawa.
“Gila lo Nam, sejak kapan lo begini?” Tanya Andira dan aku pun tidak tahu entah setan apa yang merasukiku sehingga aku seperti ini. Tapi , aku menikmatinya. Aku benar-benar tertarik pada pria tampan yang dingin di sampingku ini.
"Berhenti berbicara atau aku turunin kamu disini!" peringat Ardigo.
Aku hanya tersenyum menggoda, "yakin? Nanti kalau aku di ambil orang gimana, nanti kangen lho." ujarku pede. Kelewat pede malah.
Ardigo hanya menghela napas panjang. Ternyata dia mudah menyerah dengan sikapku. Ardigo... Kalau kamu tampan kayak begini mana sanggup aku tidak akan jatuh hati padamu saat pandangan pertama.
***
"Dir, kamar apartnya sepupu lo tepat bersebelahan dengan kamar apart kan?" tanyaku memastikan. Karena selepas kami sampai di apartement. Ternyata Ardigo memasukkan kode password di kamar apart sebelah.
Sambil mengangkat cupcake yang baru saja keluar dari oven, Andira pun membalas pertanyaanku.
"Iya, kenapa sih daritadi asik ngomong Ardigo mulu, bosan tau!" dengusnya sebal.
Aku berdecak sebal, "abisnya sih lo ngeselin, masa punya sepupu cakep bukannya di kenalin dari dulu." kataku sebal sendiri sambil memanyunkan bibirku.
"Gue baru taunya sekarang, Nam. Kan lo tau itu, gimana sih." ujarnya kalem.
Oh, iya ya! Mendadak amnesia kalau Andira baru tahu sepupuan sama Ardigo.
Aku memutar kedua bola mataku, "okay, tapi Dir, gue kayaknya suka deh sama sepupu lo itu.”
Andira menatapku aneh, “Cinta itu gak pake kayaknya Nami, berarti lo belum yakin jatuh cinta sama si Digo.”
“Ya, bukannya gak yakin, Dir. Gue hanya belum pasti.” Ujarku sambil menyengir tak bersalah pada Andira.
“Sialan, sama aja itu.” Ujarnya dengan kesal.
“Yaudah gini aja, gimana lo bantuin gue biar gue bisa yakin kalo gue jatuh cinta sama Ardigo sebenarnya gue udah kagum sama sepupu lo itu when at first sight. Bisa kan ya bantuin gue? Bantuin gue juga biar dia bisa menyukai gue, Dir.”
Andira hanya menepuk jidatnya. Frustasi kali ya punya sahabat kayak aku.
"Iya, gue akan bantuin lo."
Yeeeayyy... Ardigooo.... Aku padamu!
***
Kali ini aku sama Andira sedang nonton film di apartnya, sambil berbincang-bincang sedikit tentang kebiasaan Ardigo. Ternyata Ardigo itu tinggal di Irlandia hanya untuk belajar mandiri. Rajin sholat juga dianya. Duh, dia itu tipe suami idaman banget!
"Lo serius suka sama tuh bocah?" Tanya Andira entah keberapa kalinya. Ish, masa dia gak percaya kalau aku suka sama Ardigo?
Aku menjewer telinganya dengan sadis, "lo gak percaya ya kalau gue suka sama sepupu tampan lo itu?" Kataku sedikit merajuk.
Andira menatapku, kali ini kami tidak fokus ke film yang sudah tiba pertengahan cerita. Persetan sama tuh film, kami berdua sedang sibuk membahas antara aku dan Ardigo. Ini adalah pembahasan yang paling penting.
Andira gak terima kalau aku suka sama Ardigo. Bukannya gak terima sih, gimana ya bilangnya, jadi intinya dia itu izinin aku untuk menangkap hati Ardigo, tapi Andira gak mau lihat aku tersakiti oleh Ardigo. Jadi intinya begitu. Tapi mau bagaimana lagi? Cinta itu harus diperjuangkan, dan kita juga harus menerima sakitnya karena cinta. Dan aku siap mengejar cinta Ardigo, tapi gak tahu siap atau nggaknya di sakiti.
"Gue percaya, Nam. Gue ngedukung elo untuk mendapatkan Ardigo. Hanya saja gue tidak bisa melihat lo disakiti sama Ardigo. Lihat aja kalian bertemu pertama kali. Lo yang terlalu pecicilan dan terlalu mengumbar, lantas apa yang Ardigo perlihatkan? Hanya wajah dinginnya aja Nam! Bukannya gue terlalu gimana gitu sama lo, tapi gue kayak begini karena gue peduli sama lo, karena lo adalah sahabat baik gue." Ceramah Andira.
Tapi di balik ceramahnya ada benarnya juga sih, sayangnya egoku menyuruhku untuk tetap mendapatkan hati Ardigo.
Aku memeluk tubuh Andira tanda persahabatan. Aku sangat senang mempunyai sahabat pengertian seperti dirinya.
"Thanks, Dir. Lo emang pengertian banget. Tapi gue gak bisa berhenti sampai sini, gue menyukainya. I never falling with someone like this before."
Andira membalasnya dengan senyum lalu memelukku juga.
“I know Nam, I know. Kita lihat ya dan gue pastinya bakal terus support lo.”
Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sepertinya.
"Nam, biasanya, kan gue yang masak, bagaimana kalau lo yang ke supermarket dekat apart lo beli bahan masak, mau ya! Gue lagi malas keluar nih."
Setelah pelukan ala teletubbies, Andira menyuruhku untuk membeli bahan masakan. Yaudah sih, walaupun aku gak bisa masak setidaknya bantu sahabat membeli bahan masakan boleh juga.
"Oke, tapi lo catat ya bahan apa yang musti gue beli."
Andira mengacungkan ibu jarinya, "Siap!"
***
Astaga, ternyata belanjaannya banyak banget. Andira kebangetan deh nyebelinnya, aku kira belanjaannya sedikit, tapi plastik belanjaan empat plastik, malah berat-berat lagi semua isinya.
Sambil bersungut, aku membawa plastik berisi belanjaan dengan susah payah. Tapi saat aku mau keluar dari pintu supermarket, aku melihat Ardigo dengan santainya mendorong trolley belanjaan.
Geeezz... Itu apaan sih, para pengunjung wanita pada ngelirik Ardigo dengan tatapan mempesona. Tapi, Ardigo tidak merasa kalau sepasang mata para wanita menatapnya.
Aku melangkah menuju tempat Ardigo yang sedang mendorong trolley.
"Hai," sapaku sambil memberikan senyum maut kearahnya.
Terdengar suara helaan napas darinya, "ngapain lo? Nguntit gue ya?" tuduhnya dengan ketus.
Aku terkekeh, "pengen banget ya di untit sama aku? Sebenarnya sih aku lagi belanja, eh malah ketemu kamu. Namanya juga jodoh, pasti bertemu secara tidak sengaja." Kataku sambil memasang senyum tanpa dosa.
Ardigo mendengus, "jodoh sama lo? Mimpi aja sana!" Balasnya judes.
Bukannya sakit hati aku malah tersenyum, "mimpi juga gak apa sih kalau berjodoh sama kamu. Siapa tahu setelah mimpi besoknya kita nikah."
"Dasar! Mana mau gue nikah sama perempuan bar-bar kayak lo!"
Baiklah, dia suddah memakai lo dan gue apakah ini tandanya dia sedang kesal?
"Tapi gue mau, gimana dong?!"
Ardigo mendengus kasar lalu meninggalkanku. Aku mengikutinya dari belakang yang sedang melangkah menuju parkiran. Aku melangkah terseok-seok karena membawa belanjaan Andira yang super duper berat. Sial.
"Ardigooo!" Panggilku eh, bukan panggil sih tapi teriak. Soalnya dia sudah agak jauh dari pandanganku. Padahal aku berniat menumpang mobilnya. Karena searah dan satu apartement lagi. Apalagi aku tadi ke supermarket jalan kaki karena dekat. Tapi karena belanjaan yang berat ini, aku tidak sanggup untuk berjalan kaki.
Ardigo tidak mendengar teriakanku, lebih tepatnya pura-pura tidak dengar. Alias pura-pura tuli.
Aku berlari, saat aku menoleh ke arah kanan aku melihat mobil melaju kearahku. Dalam hitungan detik mobil itu menabrakku membuat belanjaan Andira berantakan di jalan raya sedangkan aku terjatuh.
Kakiku berdarah karena terseret aspal, tapi beruntungnya sebagian tubuhku tidak apa-apa. Pemilik mobil tersebut turun dari mobilnya, lalu dia memakiku dengan bahasa Irlandia yang tidak kumengerti.
Aku hanya menunduk menahan tangis, melihat kakiku yang berdarah membuatku bergidik. Karena aku takut darah dari kecil hingga sekarang.
Pengunjung swalayan berbondong-bondong melihatku tanpa membantuku untuk berdiri. Ya, aku terduduk di aspal sambil menahan sakit. Aku juga tidak peduli seberapa banyak darah yang keluar.
Mama... Papa... Tolong Namira... Hikss....
Sebuah tangan kekar memegang pundakku untuk berdiri.
Aku mendongak kearah pemilik tangan tersebut, ternyata pria yang menolongku Ardigo.
Ardigo memeluk pundakku dari sebelah, dia menopang tubuhku agar aku tidak terjatuh karena kaki sebelah kanan terasa lemas. Mungkin efek dari darah yang keluar.
" Tá tú mícheart cén fáth a bhfuil tú ag scolding mo bhuachaill?" (Kau yang salah kenapa kau yang memarahi pacarku?) Kata Ardigo sambil menatap pria yang menabrakku dengan tatapan tajamnya. Rahangnya mengeras.
Andai saja aku paham bahasa Irlandia, pasti aku paham apa yang mereka berdua katakana.
Pria yang menabrakku tak kalah sengit menatap Ardigo. " Bhí sé mícheart, nach ceart dó stopadh i lár an tsráid!" Bentak pria tersebut kearah Ardigo.
Aku masih meringis sakit, "sudahlah Ar, aku aku yang salah kok."
Ardigo menoleh menatapku, lalu dia menarikku menuju parkiran mobilnya. Tatapannya masih sama, dingin dan tajam.
Dia menyeretku dengan kasar, "Ar, pelan-pelan nariknya!! Kamu menyakitiku."
Lalu dia menghentikan langkahnya dan melepaskan pegangannya di tanganku. Tangan kekarnya mengangkat tubuhku menuju mobilnya terparkir.
Aku memekik kaget. Dia menggendongku ala bridal!!! Huaaa ini bukan mimpi, kan?
Ardigo mendudukkan tubuhku di kursi penumpang sebelah kemudi. Dan tak lupa ia memakaikan sabuk pengaman.
Kenapa Ardigo berubah jadi manis begini? Jangan bilang tadi ada malaikat merasuki tubuhnya walau tatapan Ardigo masih tajam dan dingin.
"Aku akan mengobati lukamu di apartementku.",
Aku melongo takjub sekaligus tidak percaya bercampur jadi satu.
Dia akan mengobati lukaku? Benarkah?
Ternyata tertabrak mobil ada hikmahnya juga...
"Kau jangan kegeeran. Aku cuma mau mengobati lukamu saja, tidak lebih."
Aku manyun, bisa tidak sih dengan ucapannya membuatku terbang sampai kelangit ketujuh untuk sekali saja. Kenapa dia selalu ketus?
Eh, tapi belanjaan Andira bagaimana? Astaga... Ketinggalan di tengah jalan! Mampus! Kalau Andira ngamuk gimana? Ah, sabodo! Yang penting bisa berduaan sama Ardigo di apartnya. Nanti Dira juga pasti mengerti kecelakaan yang menimpa diriku di swalayan tadi.
--Priska Savira—