Jangan Coba-Coba Menggoda Saya!

734 Words
Eksas diam-diam memperhatikan sang direktur utama. Wajahnya sangat mirip dengan suami yang tega meninggalkan dirinya 4 tahun yang lalu. Tapi kenapa dia seperti tidak mengenal Eksas sama sekali? Setidaknya dia terkejut atau sebagainya. Tapi laki-laki itu tidak menunjukan ekspresi apa-apa. Wajahnya datar, tapi tatapannya cukup tajam. Pantas banyak pegawai yang menggosipkan sang direktur sebagai orang yang menakutkan. Sekuat apapun pikiran Eksas menentang bahwa laki-laki yang ia lihat sekarang bukan suaminya, tapi nama yang tertulis di papan nama adalah nama suaminya yaitu "Daffa Arxeno Badran". Jadi kalau bukan suaminya, maka siapa lagi? Semakin lama dipikirkan, Eksas semakin pusing sendiri. Tapi Eksas tetap memperhatikan sang direktur secara diam-diam. Kenapa Elzin harus mirip dengan laki-laki itu? Rasanya Eksas tidak rela. Tapi disatu sisi, anaknya terlihat sangat tampan. Hidung mancung, alis mata tebal, bibir yang bagian bawahnya sedikit tebal, kemudian mata yang indah. Tuhan menciptakan Daffa dan anaknya dengan luar biasa. "Apa yang kamu lihat?!" Eksas terkejut. Dia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Tapi Eksas sudah tertangkap basah tengah diam-diam melirik sang atasan. "Ti-tidak... tidak ada, Pak." Eksas menjawab dengan penuh kegugupan. Entah kenapa nyalinya jadi ciut begini. "Berdiri di situ," ujar Daffa dingin, menunjuk ke lantai di depan mejanya. Eksas meninggalkan pekerjaan dan berdiri canggung di depan meja besar itu, tangan gemetar menggenggam kain lap. Tatapan dingin Daffa menembusnya seperti belati. Ruangan itu, meskipun mewah, terasa begitu menyesakkan. Suaminya—atau setidaknya pria yang pernah menjadi suaminya—menatapnya dengan ketidakpercayaan yang menusuk. "Jadi ini tujuanmu?" suara Daffa terdengar tajam, penuh kecurigaan. "Datang ke ruangan ini, berpura-pura bekerja, dan mencoba menarik perhatian saya?" Eksas terkejut. "Apa maksud Anda, Pak?" tanyanya dengan suara pelan, bingung dengan tuduhan itu. Daffa mendengus, menyilangkan tangan di d4da. "Jangan berpura-pura polos. Saya tahu tipe seperti kamu. Cleaning service atau bukan, kamu pikir dengan wajah manis dan tingkah canggung itu bisa membuat saya tergoda?" Eksas membeku. Kata-kata itu terasa seperti tamparan di wajahnya. Hatinya sakit bukan hanya karena tuduhan itu, tetapi juga karena pria yang menuduhnya adalah orang yang dulu ia cintai, yang dulu pernah mengucapkan janji sehidup semati bersamanya. "Saya tidak bermaksud seperti itu," jawab Eksas akhirnya, mencoba mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya bergolak. "Saya hanya menjalankan tugas saya." Daffa mengangkat alis, tatapannya semakin tajam. "Apa benar? Lalu kenapa kamu menatap saya seperti itu sejak masuk tadi? Jangan pikir saya tidak memperhatikan." Eksas ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa tatapannya adalah campuran rasa syok dan kerinduan, bukan seperti yang Daffa pikirkan. Tapi bagaimana mungkin ia menjelaskan hal itu tanpa membuat situasi menjadi lebih aneh? "Maaf kalau saya menyinggung Anda, Pak," ucap Eksas dengan kepala tertunduk. "Tapi saya tidak bermaksud apa-apa." Daffa tersenyum sinis. "Apa kamu pikir saya akan percaya?" Eksas benci bagaimana Daffa menatapnya. Tatapan yang begitu merendahkan dirinya. Eksas tidak bisa diam saja walaupun dia hanyalah seorang cleaning service. "Pak, apa maksud Anda? Saya tidak melakukan apa yang Bapak tuduhkan." Eksas berusaha membela diri. "Oh, jadi kamu akan menyangkal?" Eksas membelalakkan mata. Kata-kata itu membuatnya bingung sekaligus kesal. "Pak, saya hanya bekerja di sini. Kalau saya menatap Anda, itu karena Anda sedang berbicara dengan saya!" "Jangan cari alasan!" potong Daffa dengan tajam. Ia melangkah lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. "Kamu pikir saya tidak pernah melihat tipe sepertimu? Pura-pura polos tapi mencoba mencari perhatian. Hentikan permainan ini sekarang juga!" Eksas mengepalkan tangannya, menahan gejolak amarah yang mulai meluap. "Saya tidak tahu apa yang Anda pikirkan, Pak," kata Eksas akhirnya, mencoba tetap tenang meskipun suaranya bergetar. "Tapi saya di sini hanya untuk membersihkan ruangan Anda, bukan untuk hal lain." Namun, tatapan Daffa tidak melunak. "Kalau begitu, pastikan matamu hanya fokus pada pekerjaanmu, bukan ke arahku," ujarnya dingin. "Kalau aku melihat sedikit saja tanda-tanda mencurigakan lagi, aku tidak akan ragu untuk melaporkanmu ke HR." Eksas mengangguk pelan, hatinya hancur berkeping-keping. Ia menahan air mata yang hampir tumpah, melanjutkan tugasnya dengan gerakan yang kaku dan tergesa-gesa. Setelah selesai, ia bergegas meninggalkan ruangan tanpa melihat ke belakang. Di luar, Eksas menyandarkan tubuhnya ke dinding, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Pertemuan ini jauh dari bayangannya. Pria yang dulu mengisi hidupnya kini hanya melihatnya sebagai orang asing, bahkan lebih buruk—sebagai seseorang yang dianggap tak bermoral. "Tidak cukup meninggalkanku saat hamil, tapi sekarang kamu menghinaku seolah-olah aku perempuan yang suka menggoda laki-laki," gumamnya sendiri. Eksas segera turun dari lantai 36. Dia masih punya pekerjaan lain. Tapi sampai detik ini Eksas masih tidak percaya jika ayah dari anaknya adalah direktur utama diperusahaan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD