Awal mula kisah mereka ....
Jalan Puncak Bogor, Indonesia,
Dor!
Di tengah kegelapan yang menyelimuti malam, mata tajam Arden mendadak mengerling bersama kemudi mobilnya yang menjadi tidak stabil. Melalui kaca spion pinggir sebelah kanan bagian depan mobilnya, tatapan tajam pria itu mendapati sebuah motor yang ditumpangi oleh dua orang pria. Parahnya, si pembonceng masih mengarahkan moncong pistolnya ke arah ban mobil yang Arden kemudikan.
Secepat kilat, Arden memastikan keadaan ban mobil bagian belakang sebelah kanan miliknya. Arden dapati, ban tersebut sudah kempis. Akan tetapi, kedua tangan kekar Arden yang mengenakan kemeja lengan panjang warna putih dan disingsing hingga siku, langsung membanting setir lantaran di hadapannya, ada sebuah truk yang melaju dengan sangat kencang. Lampu depan truk tersebut membuat Arden silau, hingga kedua alis tebal pria itu nyaris menyatu tak ubahnya jembatan sambung, akibat kesibukan barunya mengernyit demi menghalau silau.
“Sial! Siapa mereka!” pekik Arden ketar-ketir.
Arden panik, tapi pria itu berusaha mengatasi keadaan. Dengan kondisi yang berada dalam satu jalan menikung dan mendadak harus menghadapi sebuah truk yang justru terus melaju ke arahnya, di mana truk tersebut juga seolah sengaja terus mengejarnya, Arden memilih kembali membanting setir dan menjatuhkan mobilnya ke sekitar yang tak lain merupakan jurang.
Mobil Arden menabrak pepohonan besar selaku pemandangan tunggal di tepi jalan pegunungan kunjungannya. Tak hanya mobil yang sampai mengeluarkan asap pekat dari bagian depan dan belakang, sebab mobil Arden juga dalam keadaan terbalik setelah sempat menggelinding kemudian menghantam pepohonan.
Wajah Arden sampai berlumuran darah akibat luka parah di kepalanya. Susah payah Arden mencoba bertahan. “Aku harus keluar! Aku enggak boleh mati konyol gara-gara ulah mereka! Ssst!” pekik Arden yang tak hentinya menyeringai menahan sakit akibat luka-lukanya.
Arden segera melepas sabuk pengaman dari tubuhnya kemudian buru-buru membuka pintu sebelah kemudi, mengingat mobil bagian belakangnya sudah sampai mengeluarkan api. Arden dengan kesadaran berikut stamina yang masih prima, kendati wajahnya sudah berlumuran darah, bergegas membuka pintu mobil bagian tengah dan mengeluarkan tabung gas peredam api dari sana.
Arden menyemprotkan peredam api tersebut ke bagian mobilnya yang terbakar. Namun, kedatangan empat pria yang mengenakan jaket berikut pakaian serba hitam, lengkap dengan wajah mereka yang ditutupi topi tak ubahnya narapidana kelas kakap, membuat fokus Arden teralih.
Keempat pria tersebut bergegas mendekati sekaligus mengarahkan moncong pistol kepada Arden. Arden buru-buru melemparkan tabung peredam api di tangannya ke arah pria yang menyerangnya dan memiliki jarak paling dekat dengannya. Segera, Arden masuk mobil bagian kemudi, kemudian buru-buru keluar dengan sebuah pistol yang langsung ia gunakan untuk menyerang ke empat pria yang menyerang.
Pertempuran sengit sungguh terjadi. Tak hanya baku tembak, melainkan baku hantam yang membuat darah segar mengalir dari kelima orang tersebut, tanpa terkecuali Arden. Akan tetapi, dari kelimaya, Arden menjadi sosok yang paling tangguh. Bogem berikut tendangan Arden berhasil melumpuhkan keempatnya. Keempatnya benar-benar terkapar, menempatkan Arden di tengah-tengah mereka.
Arden masih berdiri di tengah keempatnya, terengah-tengah dan agak jongkok demi meredam keadaannya. Namun tak lama setelah itu, satu di antara mereka berhasil menikam Arden dari belakang. Kedua tangan Arden ditarik paksa ke belakang, sedangkan pria yang terkapar di hadapan Arden dengan jarak sekitar lima meter, buru-buru beranjak dan siap mengarahkan moncong pistolnya ke kening Arden.
Arden tak berkutik sedangkan keempat pria yang menyerang langsung tersenyum semringah. Dua di antara mereka yang awalnya masih terkapar, berangsur beranjak. Arden masih terpaku—menatap lurus ke arah moncong pistol bahkan meski pelatuk ditekan, membuat peluru keluar dari pistol mengarah kepadanya. Arden terpejam pasrah seiring otot di leher berikut sekujur tubuhnya yang menegang, menyertai deru jantung berikut napasnya yang sudah tak beraturan.
“Arrrgh!” Arden berteriak mengerahkan seluruh tenaganya untuk membalikkan pria yang menyekapnya agar sosok bertubuh tak kalah tegap darinya tersebut, berhasil ia angkat dan jungkalkan ke depan, menggantikannya menjadi persemayaman peluru yang awalnya masih meluncur ke arahnya.
Hening.
Ketiga pria penyerang Arden langsung kebingungan lantaran telah membangunkan harimau yang tidur. Ya, Arden sang harimau yang telah mereka bangunkan, langsung mengejar dan menghajar mereka tanpa ampun. Arden tak mengenakan senjata dalam melakukannya. Pria itu hanya mengandalkan kedua tangan berikut kakinya untuk menendang sekaligus meremukkan tulang-tulang ketiga pria tersebut.
***
Di tempat yang berbeda, di LUXURY BALLERINA CLUB, London.
Sepasang tangan mengayun dengan gemulai. Kaki jenjang melompat dengan indah dalam balutan gaun tari yang tak kalah indah, di atas panggung balerina yang sangat megah. Balerina itu melakukan gerakan yang begitu apik, terlepas dari paras wajahnya yang tampak sangat cantik, hingga semua mata yang memandang menjadi terbuai.
Semua penonton menatap balerina tersebut dengan mata berbinar penuh kagum. Sedangkan balerina-balerina yang lain, mengintip dari balik panggung sembari gigit jari lantaran iri dengan apa yang tengah terjadi di depan sana. Karena bersama berakhirnya penampilan sang balerina, semua penonton yang memenuhi kursi pertunjukan kompak bertepuk tangan sambil berdiri, memberikan penghargaan terbaik kepada sang balerina. Balerina tersebut tak lain Keyra Miranti. Balerina yang selalu mengharumkan nama club balerina mereka, berikut Indonesia sebagai negara asalnya.
“Kerya Miranti from Indonesia!” Teriak MC yang langsung menghampiri Keyra dengan semringah. Pria tambun berkulit putih tersebut langsung menggenggam sebelah tangan Keyra kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi.
Di tengah keramaian yang terus menyanjungkan namanya, Keyra merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Senyum yang sedari awal begitu lepas menghiasi wajah cantiknya juga berangsur memudar, digantikan dengan senyum masam atas rasa pening yang ia rasakan.
“Tahan, tahan, Key. Sebentar lagi, aku mohon jangan tumbang!” batin Keyra. “Sebenarnya aku kenapa? Kenapa akhir-akhir ini, kepalaku sering pusing?” Keyra yang masih berbicara dalam hatinya, susah payah bertahan sambil memasang senyum terbaik di tengah pandangannya yang semakin lama semakin kabur.
Keyra yakin, sebentar saja ia bertahan di panggung, ia akan pingsan tak sadarkan diri di sana, hingga semuanya pasti langsung geger. Jadi, ketika Keyra dipersilakan meninggalkan panggung, wanita itu segera melangkah. Keyra melangkah dengan kesadaran yang semakin menipis, dan berakhir tak sadarkan diri tepat setelah wanita bertubuh semampai itu sampai di belakang panggung.
Orang-orang di belakang panggung langsung geger meneriakkan nama Keyra penuh rasa cemas. Salah satu pria dari petugas keamanan di sana langsung mengangkat tubuh Keyra menuju ruang kesehatan yang ada di sana.
***
Rasa pusing masih menguasai kepala Keyra, ketika wanita itu tersadar. Keyra masih mengenakan gaun balerina berwarna putih yang sangat indah, ketika rasa mual juga mendadak menyerang. Sungguh, Keyra tak kuasa menahan rasa mual tersebut, hingga wanita yang rambutnya masih disanggul modern rapi layaknya balerina pada umumnya, memutuskan untuk beranjak.
Susah payah Keyra beranjak dari tempat tidur keberadaannya, sambil menekap mulut menggunakan kedua tangan. Keyra melakukannya lantaran takut, isi perutnya yang memberontak meminta dimuntahkan, akan keluar jika mulutnya tidak sampai ia tahan.
Di wastafel kamar mandi tempat peristirahatan yang Keyra ketahui merupakan peristirahatan dalam club balerinanya, Keyra memuntahkan semuanya yang nyatanya tidak seberapa. Hanya berupa cairan tanpa disertai makanan, tapi rasa mual berikut pening yang menderanya terasa semakin kuat sekaligus menyiksa.
“Awalnya pusing, dan sekarang, aku juga sampai mual. Sebenarnya, aku kenapa?” Keyra terheran-heran. Ia menatap sedih pantulan dirinya pada cermin wastafel di hadapannya. Kini, ia mendapati dirinya yang terengah-engah menahan rasa sakit, terbilang memprihatinkan bahkan menyedihkan. Akan tetapi, jika ia meresapi apa yang terjadi, tiba-tiba saja Keyra dilanda kekhawatiran tak berkesudahan.
“Enggak ... enggak! Enggak mungkin!” Keyra menggeleng tegas seiring kedua tangannya yang mengepal tapi gemetaran, di ke dua sisi wastafel. “Enggak mungkin. Aku enggak mungkin hamil!” Keyra kembali menggeleng dan kali ini disertai rasa cemas yang begitu mendalam.
Kedua tangan Keyra yang awalnya mengepal, mulai mengusap wajah dengan frustrasi sebelum akhirnya kedua tangan tersebut berkecak pinggang. Kemudian, dengan d**a yang berdebar-debar, Keyra yang sampai menggigit kuat bibir bawahnya, berangsur menurunkan tatapannya. Tatapan Keyra berhenti tepat di perutnya yang masih rata.
“Benarkah, aku ... hamil?” batinnya. “Harusnya jangan dulu. Aku dan Joe sedang sama-sama sibuk. Sulit bagi kami menikah dalam waktu dekat, sedangkan saat ini, ... saat ini aku juga belum menyelesaikan beasiswa balerina-ku!”
Keyra terisak-isak seiring tubuh semampainya yang terduduk loyo di bawah wastafel. Wanita itu menekap frustrasi wajahnya menggunakan kedua tangan, demi menghalau suara tangisnya yang telanjur pecah.
Keyra tak sepenuhnya menyalahkan kehadiran jabang bayi dalam rahimnya jika itu memang benar adanya. Terlebih Keyra sadar, jabang bayi tersebut tidak bersalah. Masalahnya, semuanya terlalu mendadak, terlepas Keyra yang harus menghadapi sederet jadwal dari club balerinanya.
“Kenapa harus secepat ini?” batin Keyra dengan wajah yang masih tertutup rapat oleh kedua tangannya.
Bersambung ...