Dalam sekejap, semuanya berubah. Bukan lagi Keyra yang terbaring di ranjang rawat, melainkan Sintia.
Melihat Sintia yang hanya diam, menatap kosong langit-langit ruang rawat keberadaan mereka selaku ruang rawat tempat Keyra dirawat, Keyra yang masih mengenakan seragam khas pasien--terusan biru lengan pendek yang teramat kedodoran di tubuh Keyra--menjadi tak tega.
Keyra merasa bertanggung jawab atas kenyataan kini. Berat, pasti. Namun, Keyra tak mungkin diam apalagi menunggu keajaiban datang, terlebih Joe sungguh menghancurkan semuanya dalam sekejap. Pria itu tak hanya menggertak, melainkan lebih. Keyra harus menyelesaikannya satu-persatu, bila perlu secepatnya sebelum Joe semakin menggila.
Ketika Keyra menoleh ke lantai sebelah nakas yang ada di hadapannya, di sana ia mendapati ada kantong bahan berwarna biru muda layaknya seragam pasien yang masih menyertai penampilannya. Keyra menatap kantong tersebut dengan saksama dan kebetulan agak terbuka, terlepas dari kantong yang sampai tidak memiliki kancing. Sebuah sapu tangan warna putih gading, berikut dasi berwarna biru tua dengan aksen bintang warna hitam, menjadi isi di sana. Ke dua kain tersebut sama-sama berlumur darah bersanding dengan tote bag cokelat milik Keyra.
Sambil bersimpuh dan meraih sapu tangan berikut dasi di sana, Keyra mengenali dasi tersebut merupakan milik Arden. Iya, dasi tersebut Keyra pastikan sama dengan dasi yang melingkar tidak rapi di kerah kemeja Arden, yang lengan panjangnya disingsing asal hingga siku, hingga otot-otot di tangan kekar pria itu tampak sempurna.
“Masa sih, dia yang nolong aku? Bahkan dia sampai bawa aku ke rumah sakit? Bukankah sebelumnya, dia sudah pergi dan menolak permintaanku?” pikir Keyra.
Hal terakhir yang Keyra ingat, ia sekarat efek kelelahan sekaligus kehilangan banyak darah. Namun, jika dasi Arden yang belum Keyra kenal seluk-beluknya sampai ada di sana, dengan kata lain, memang pria itu yang menolong Keyra, atau kebetulan ada orang lain yang memiliki dasi sama?
“Menikah dengan Arden sama saja menyelamatkan nyawa sekaligus masa depanmu bahkan Arden sekeluarga, Key.”
Suara Sintia yang terdengar serius sekaligus tenang, langsung mengusik Keyra. Keyra refleks menoleh, mendapati sang mamah tak ubahnya mayat hidup. Wanita itu masih menatap kosong langit-langit di atasnya tanpa sedikit pun semangat.
“Sedangkan bersama Joe, pengaruhnya benar-benar fatal. Apalagi jika dilihat dari hari lahirnya, watak Joe memang begitu. Serakah, egois, penghancur.” Setelah sempat diam, Sintia kembali melanjutkan. “Jangan pernah meragukan kepercayaan kejawen. Jangan sampai kamu mengikuti jejak mamah semakin jauh. Karena meski dianggap tabu, kepercayaan kejawen selalu terbukti kebenarannya.”
“Mah.” Keyra berangsur beranjak, menatap Sintia dengan serius. Ia ingin menegaskan, mengenai dirinya yang tidak membutuhkan pernikahan, sebab ia sungguh akan membesarkan anaknya sendiri, di luar negeri.
Sintia berangsur menoleh dan menatap Keyra. “Kamu dan Arden sama-sama membutuhkan. Tanpa pernikahan di bulan ini juga, baik kamu maupun Arden akan kehilangan semuanya. Itu kenapa, jika memang kamu tidak bisa dengan Dion, Arden adalah pilihan terakhirmu. Lupakan Joe! Anak itu, anak Joe, kan?” ucapnya lirih sambil menatap tajam Keyra.
Keyra refleks menelan salivanya. Merasa tidak memiliki pilihan lain, meski apa yang Sintia sampaikan masih sulit untuk ia cerna. Kepercayaan kejawen dan semua hal di dalamnya yang Keyra ketahui selalu berkaitan dengan hitungan hari kelahiran, khususnya untuk urusan jodoh yang akan Keyra jalani.
“Arden bisa menolong kita, karena dia ada di atas Joe. Namun Dion, mungkin Dion akan sangat sulit jika kamu justru bersamanya, karena biar bagaimanapun, Dion masih saudara Joe. Bisa perang saudara. Apalagi sekarang saja, Dion justru di penjara.”
“Mah, tolong kasih aku kesempatan. Aku akan menyelesaikan semua ini tanpa pernikahan.”
“Enggak mungkin, Key. Membiarkanmu tidak menikah sama saja membiarkanmu menghadapi maut!”
Keyra menggeleng tak setuju. Mendapati itu, Sintia berangsur beranjak dengan kasar. “Mamah kasih kamu kesempatan. Hari ini, hanya hari ini kamu boleh melakukan apa yang kamu mau. Selanjutnya, kamu harus menuruti semua yang Mamah rencanakan. Kamu harus menikah dengan Arden!”
Keyra kembali menggeleng. “Seandainya aku enggak hamil, aku mau-mau saja menjalani perjodohan. Masalahnya aku hamil dan ini bukan anak Mas Arden, Mah ....”
Sintia menggeleng sambil menatap Keyra penuh peringatan. “Semuanya akan aman asal kamu diam!” bentak Sintia yang sengaja memotong ucapan sang putri.
Lagi-lagi Keyra menggeleng. “Enggak, Mah. Itu namanya kejahatan. Toh, apa pun yang akan kita lakukan, juga akan kembali ke kita. Ujung-ujungnya kita yang nanggung risiko! Apalagi Mas Arden dan keluarganya bukan orang sembarangan!”
Kesal dengan Keyra yang baginya terlampau bodoh, Sintia menarik bantal di belakangnya dan menghantamkannya kepada Keyra.
Keyra menunduk sedih dan refleks menangkap bantal lemparan sang mamah.
“Kalau kamu tetap enggak mau diem, kamu enggak mau mengikuti rencana Mamah, ayo kita minum racun sama-sama! Itu, kan, yang kamu mau? Kamu mau semuanya semakin hancur?” Rasa bingung dan ingin menyerah, membuat Sintia dirundung kesedihan. Ia sampai tak kuasa menahan air matanya agar tidak mengalir.
“Se-fatal itu, kah?” pikir Keyra yang menjadi menunduk dalam.
“Kalau kamu memang punya kandidat calon suami lain, cari yang seperti Arden bahkan kalau bisa lebih! Intinya, bulan ini juga, kamu harus menikah. Kamu dan Arden sama saja. Dan jika kita menolak Arden, kita juga akan semakin bermasalah.” Sintia wanti-wanti tanpa sedikit pun mengurangi keseriusannya terhadap Keyra.
“Kenapa jadi seruwet ini?” batin Keyra sembari menghela napas dalam.
Ketika Sintia nyaris kembali berucap, ketukan pintu yang menghiasi pintu ruang rawat keberadaan mereka, sukses mengalihkan perhatiannya bahkan Keyra. Tak hanya Sintia yang langsung menoleh ke arah keberadaan pintu, karena hal yang sama juga sudah dulu Keyra lakukan.
Setelah sempat menatap sang mamah, Keyra berangsur melangkah menuju pintu.
Diana mengulas senyum menyambut Keyra yang langsung kebingungan. Keyra sendiri langsung berusaha seramah mungkin, tersenyum kemudian menyapa maksud kedatangan wanita seusia Sintia, di hadapannya.
Lain halnya dengan Keyra yang belum mengenali Diana, Sintia yang sampa melongok dari duduknya langsung ketar-ketir. “Mamah Arden?”
Sapaan Sintia yang terdengar cukup syok, langsung membuat Keyra tercengang. “Hah? Mamah Arden? Maksudnya, wanita ini, mamahnya mas Arden? Kok bisa?” batinnya yang menjadi kikuk sekaligus gugup.
Gelisah, itulah yang Sintia rasakan. Sintia takut, obrolan seriusnya dan Keyra beberapa saat lalu, sampai terdengar Diana. “Bagaimana ini?” gumamnya sembari meremas asal seprai di dekat tangannya. Namun, ketika ia memastikan lebih teliti, di ambang pintu sana, Diana justru tengah membingkai sebelah pipi Keyra penuh perhatian. Sebuah kenyataan yang langsung membuatnya bingung sendiri.
“Ternyata, nenek Kanaya memang enggak salah lihat. Ini beneran kamu; Keyra.” Diana masih menatap Keyra dengan senyum tulus.
“Nenek Kanaya?” lirih Keyra memastikan.
Diana berangsur mengangguk dan menceritakan semuanya, selaku alasannya datang ke ruang rawat Keyra. Mengenai Keyra yang sampai membantu Kanaya ketika wanita tua itu kesleo dan kali ini sedang mendapatkan penanganan serius dari pihak rumah sakit keberadaan mereka.
“Astaga. Sepertinya, kami memang hoki. Keyra bahkan bisa mendapatkan posisi di hati jeng Diana sekaligus ibu Kanaya dengan begitu mudah. Syukurlah, ketulusan Keyra membuat anak itu semakin spesial di mata mereka!” batin Sintia yang menguping segala sesuatunya.
Lantaran Keyra tampak tak bisa menjawab pertanyaan Diana yang menanyakan perban di ke dua tangan Keyra, terlepas dari Keyra yang masih mengenakan seragam pasien, Sintia pun mengambil alih. Sintia merasa harus bergerak cepat untuk membalas Joe, sekaligus memperlancar perjodohan Keyra dan Arden.
“Jeng Sintia juga sampai diinfus? Ya ampun, kok Jeng enggak kabar-kabar, kalau kalian kena musibah?” Diana membimbing Keyra mendekati Sintia. Ia sungguh menuntun Keyra yang langsung sukses mencuri hatinya. Keyra yang cantik, bahkan sangat cantik, terlepas dari Keyra yang memiliki hati sangat baik dan sampai sempat-sempatnya menggendong Kanaya, memboyong Kanaya menjalani pengobatan.
“Gini lho, Jeng!” ucap Sintia yang kemudian diam-diam melirik Keyra penuh peringatan.
Keyra yang masih berdiri di sebelah Diana yang juga masih menggandeng sebelah tangannya, langsung menunduk bungkam membiarkan Sintia.
“Kemarin saya sudah bilang, Keyra dikejar-kejar pria berpengaruh yang kalau dilihat dari hari lahirnya, pria itu enggak cocok buat Keyra, kan? Dia terobsesi banget sama Keyra. Nah, ini masalahnya, Jeng.” Sintia langsung bercerita menggebu-gebu. “Si pria ini langsung ngamuk pas Keyra nolak dia. Dia sampai sewa pembunuh bayaran dan menyayat pergelangan tangan Keyra, biar seolah-olah, Keyra meninggal karena bunuh diri.”
Sepanjang menyimak cerita Sintia, Diana tak hentinya merinding. Hatinya seolah diiris-iris mendengar kenekatan pria yang tengah Sintia ceritakan, dan juga sampai menghancurkan semua yang ada dalam kehidupan Keyra.
“Apakah sebuah kebohongan bisa dibenarkan, jika itu demi tujuan mulia? Mamah berbohong begini, demi kebaikan bersama. Tak hanya masa depan kami, tapi juga keluarga mas Arden,” pikir Keyra.
Sintia menghela napas dalam. “Enggak tahulah, Jeng. Mau gimana lagi? Pusing kepalaku. Makanya pas tadi tahu alasan Keyra mendadak cuti dari balerina juga karena pria itu, rasanya … ya Tuhan. Saya sakit hati banget!”
Diana menatap cemas Keyra. Ia berangsur merangkul Keyra, berusaha menguatkan. “Nanti Tante bahas ini ke Arden. Nanti biar nenek yang jaga Mela, biar Arden bisa urus semuanya secepatnya!” Ia menatap Keyra penuh keyakinan.
Keyra menatap bingung sekaligus tak percaya Diana. Lain halnya dengan Sintia yang seolah langsung mendapatkan angin segar.
“Kamu terlalu cantik. Artis saja kalah saing, enggak ada apa-apanya sama kamu. Belum lagi, kamu juga baik banget. Pantas dia susah lepasin kamu!” ucap Diana sambil menatap prihatin Keyra yang masih bungkam.
“Kamu harus mau, Key! Kalau enggak, kamu diem murung begitu juga sudah lebih dari cukup! Nasib kita ada di ujung tanduk, sedangkan Arden satu-satunya yang bisa kita harapkan sekaligus andalkan!” batin Sintia yang kemudian menanyakan keadaan Mela yang ia ketahui anai tunggal Arden dari pernikahan sebelumnya.
“Mela kenapa, Jeng? Sehat, kan, dia? Jeng bilang, Mela sering sakit?” Sintia menatap prihatin Diana.
“Mela?” batin Keyra yang memang belum mengetahui siapa itu Mela dan bahkan sampai memiliki ikatan spesial dengan Arden.
“Semalam, Mela tiba-tiba demam tinggi, Jeng. Enggak tahu sih, emang sering gitu. Tapi alhamdullilah, sekarang sudah mendingan.” Setelah membalas Sintia yang menanyakan Mela, diam-diam, Diana mengamati Keyra melalui lirikan. “Keyra … Keyra lebih baik dari Inara. Tak hanya dari segi hari lahir, tapi semuanya. Dari cara Keyra yang bahkan mau menggendong mamah, sudah menegaskan, Keyra tipikal perhatian dan bisa jadi mamah yang baik buat Mela. Dan dengan keadaan Keyra yang seperti sekarang, aku yakin, Keyra mau menerima Arden. Apalagi, wanita sepolos dan sebaik Keyra, biasanya akan lebih memilih keluarga,” pikir Sintia.
****
“Mas Arden seorang duda, sedangkan anak perempuan berusia tiga tahun bernama Mela yang langsung memanggilku; mamah, merupakan anak mas Arden dengan mendiang istri pertamanya yang bernama Intan,” batin Keyra sembari merebahkan Mela dengan hati-hati. Ia beranjak dari ranjang rawat Mela dipantau oleh Kanaya yang terjaga di sana, sedangkan sekitar satu jam lalu, Diana pamit pulang dan berdalih akan langsung menemui Arden.
Sadar Kanaya yang kakinya sampai menggunakan perban khusus akibat kesleo yang diderita, nyaris membantunya, Keyra langsung menggeleng. “Enggak usah, Nek. Enggak apa-apa. Biar aku saja. Nenek duduk saja. Tetap istirahat biar kaki kanan Nenek cepet pulih.”
Kanaya mengangguk-angguk paham, melangkah mundur dengan hati-hati. Ia kembali duduk di sofa yang jaraknya sekitar tiga meter dari keberadaan Keyra.
“Keyra ini sangat mirip dengan Intan. Mereka memiliki sifat yang sama. Sama-sama penyayang, keibuan, sekaligus sangat mengedepankan keluarga,” batin Kanaya. Ia masih mengamati Keyra dengan saksama. Wanita yang kiranya berusia dua puluh empat atau dua puluh lima tahun itu tengah menyelimuti tubuh Mela dengan sangat hati-hati.
“Sejak dilahirkan, Mela sudah ditinggal mamahnya. Makanya pas lihat kamu, dia langsung manggil kamu mamah. Maaf, ya?” ucap Kanaya.
Keyra langsung menatap prihatin Kanaya. “Jadi, mbai Intan meninggal setelah melahirkan Keyra, yah, Nek?”
Kanaya menelan salivanya, mengangguk dan membenarkan anggapan Keyra. Namun, jika harus membahas Intan lebih dalam apalagi perihal kematian cucu menantunya itu, rasanya ia sungguh tidak sanggup.
“Intan merupakan potret wanita teladan yang memiliki kehidupan lurus, dan mengabdikan hidupnya untuk keluarga. Boleh dibilang, dia satu di antara manusia terbaik yang pernah saya kenal. Namun, karena sejak awal seharusnya dia tidak menikah dengan Arden, percaya tidak percaya, memang begitu keadaannya.” Kanaya menunduk sedih. “Tak seharusnya pernikahan mereka ada. Intan … dia sungguh wanita mulia.”
Fokus tatapan Kanaya tertuju pada Keyra. “Meski ini terbilang terlalu terus terang, sebagai orang tua yang sudah menghadapi asam garam kehidupan, saya harap, kamu bisa menyikapi keadaan dengan lebih dewasa karena ini demi kebaikan bersama. Kebaikan keluarga kita.”
“Saya yakin, mamahmu juga sudah sempat membahasnya. Mengenai kamu dan Arden, kalian sama-sama membutuhkan, dan hubungan kalian sangat cocok. Kita sama-sama berpegangan pada kejawen. Dan meski Arden seorang duda, dengan bekal kecocokan kalian, juga Arden yang memang sulit membuka hati, saya pastikan, hubungan kalian akan membawa banyak berkah sekaligus kebahagiaan.”
Bak dipaksa menelan buah simalakama, Keyra merasa serba salah. Maju salah, mundur apalagi. “Apa aku jujur saja, yah, kalau aku hamil? Toh, nenek Kanaya juga sampai bahas statusnya mas Arden?” pikir Keyra.
Keyra sungguh ingin jujur, dan ia kan melakukannya.
Apakah kejujuran Keyra bisa diterima? Atau, kejujuran yang akan Keyra lakukan justru menjadi malapetaka?
Bersambung ....