Nyaris semua kontak di ponselnya, sudah Diana hubungi. Seharian ini Diana sampai lupa waktu, terlepas dari wanita itu yang sampai harus menjilati gigi-giginya. Gigi-gigi Diana mengering lantaran sandiwaranya dalam berbasa-basi dan tak hentinya menyapa sambil tersenyum santun. Di sofa ruang keluarga rumahnya, Diana terjaga seorang diri. Wanita itu sengaja menjatuhkan tubuhnya di tengah-tengah sofa panjang yang ada di sana.
“Ya Tuhan ... seharian telepon sampai bibir keriting, tetap saja belum nemu yang cocok atau seenggaknya lumayan! Tuh hari kelahiran memang langka banget, ya? Duh, gimana dong, kalau sampai enggak nemu, sedangkan Inara juga tetap enggak bisa?” keluh Diana yang kemudian memilih untuk mengangkat tinggi-tinggi kedua kakinya demi meredam rasa pegal di sana.
Arden yang baru pulang kerja langsung terusik dengan keberadaan kaki Diana dan kali ini mengenakan sandal bulu warna pink. Pria bertubuh tegap itu menatap aneh tingkah mamahnya. Dengan raut dingin yang sudah melekat di wajah tampannya, Arden yang menenteng jas berikut tas kerjanya di kedua tangan, sengaja mendekati Diana. Tentunya, Arden jauh lebih prima dari beberapa hari lalu ketika pria itu mendadak mendapatkan serangan hingga kepalanya berlumur darah segar.
“Aku enggak mau dapat laporan tagihan kartu kredit terlalu dini, yah, Mah,” ucap Arden setelah sebelumnya sampai berdeham tanpa benar-benar menatap Diana yang masih mengangkat tinggi kedua kakinya.
Mendengar suara Arden yang terdengar dingin bahkan datar, Diana langsung terkejut. Karena meski sudah biasa, tapi terkadang nada dingin Arden terdengar seram dan tak jarang sampai membuatnya merinding.
Setelah melongok dan mendapati wajah tampan sang anak yang kembali dihiasi ekspresi datar cenderung malas, Diana buru-buru menurunkan kedua kakinya. “Arden ... Arden, Mamah mau bicara. Penting!” sergahnya.
Arden langsung melirik Diana dengan malas dan jelas setengah hati.
“Mamah serius!” rengek Diana yang sampai meraih tangan kekar Arden.
Arden yang kali ini mengenakan kemeja lengan panjang warna krem dan disingsing hingga siku berkata, “ponsel Mamah bunyi. Angkat dulu.”
Arden masih cuek dan belum benar-benar menatap Diana. Sebuah kenyataan yang memang sudah menjadi kebiasaan Arden yang untuk menatap lawan bicaranya saja, sulit pria itu lakukan.
Untuk ke sekian kalinya, Diana kembali terkejut lantaran meski ponselnya masih ia genggam menggunakan tangan kanan, tapi saking seriusnya ia memikirkan jodoh untuk Arden, ia sampai menjadi gampang lupa. “Gara-gara mikirin jodoh Arden, aku mengalami kepikunan terlalu dini!” gumam Diana yang mencoba menguasai dirinya agar bisa fokus.
“Ya sudah, Mah. Kita lanjut nanti saja. Aku capek. Aku mau mandi dulu.” Arden berlalu meninggalkan sang mamah tanpa menunggu balasan apalagi persetujuan.
Diana yang bingung harus menjawab telepon masuk atau menahan Arden yang sudah melangkah cukup jauh, buru-buru berseru. “Jangan lupa lihat Mela! Seharian ini dia nanyain kamu, sedangkan tubuhnya juga kembali panas!” Setelah berucap demikian, Diana buru-buru memastikan telepon di ponselnya tanpa kembali mempedulikan Arden. Sebab sejauh ini, satu-satunya hal yang menarik untuk Arden hanyalah semua yang berhubungan dengan Inara. Benar-benar tidak ada hal lain, bahkan itu Mela yang merupakan darah daging Arden dari pernikahan pertama Arden.
“Ini kenapa, ya, … Jeng Sintia telepon? Eh, Jeng Sintia punya anak cewek yang seorang balerina dan sekarang sedang di London, kan?” gumam Diana langsung bersemangat dan berniat menanyai Sintia—teman arisannya dan kebetulan merupakan istri dari sahabat suaminya. “Malam Jeng?” Diana langsung memberikan basa-basi yang begitu santun, layaknya perbincangan-perbincangan sebelumnya. Tak peduli kendati ia harus kembali menjilati gigi-giginya yang kembali kering lantaran ia terlalu lama tersenyum.
“Malam juga Jeng Diana. Ini, Jeng. Saya cuma mau ngabarin, kalau arisan di rumah saya dimajuin hari besok, soalnya lusa si Jeng Ana mau keliling Eropa. Tadi di grup WA, yang lain sepakat buat majuin jadwal hari besok juga. Jeng, lagi sibuk banget, ya? Sampai enggak nyaut-nyaut panggilan di grup?” ucap Sintia. Suara Sintia terdengar sangat tertata sekaligus tak kalah santun dari Diana.
Diana segera memberikan alasan panjang lebar dengan sesopan mungkin sebelum akhirnya menyampaikan misinya. Mengenai ia yang ingin mengetahui tanggal lahir anak perempuan Sintia.
“Hari lahir, ya, Jeng? Si Keyra lahir tanggal ... tahun ... dengan hari lahir atau weton Senin pahing. Karena keluarga saya masih memegang kejawen, ya saya ingat setiap hari lahir anggota keluarga. Memangnya, buat apa yah, Jeng?”
Balasan santai Sintia dari seberang, langsung membuat Diana nyaris jantungan. Tubuh Diana seperti disengat aliran listrik, sampai-sampai, Kanaya yang kebetulan melintas di depannya, menjadi kebingungan.
Kanaya yang membawa sebuah cangkir dalam keadaan tertutup penutupnya, sengaja mendekati Diana. Di saat itulah sebelah tangan Diana yang tidak menahan ponsel, langsung meraih asal tangan Kanaya, kemudian mengguncangnya berulang kali, hingga Kanaya memutuskan untuk meletakkan cangkirnya di meja.
“Kamu kenapa?” desak Kanaya dengan suara lirih. Kanaya kebingungan menatap Diana.
Diana tak mengindahkan pertanyaan sang mamah. Sebab desakan yang Kananya lakukan, sukses membuatnya kembali memiliki kewarasan. “S-serius, Keyra putri Jeng wetonnya S-senin pahing?!”
Mendengar pernyataan sang anak, Kanaya langsung syok. Tangan kanannya refleks meremas d**a seiring ia yang memilih untuk duduk di sebelah Diana, mengingat keseimbangan tubuhnya langsung gontai tak berdaya. Kanaya sesak napas dan seperti mendadak merasakan serangan jantung. Di sana, jantungnya mendadak berisik dan seperti rusak. Senin pahing, bukankah itu hari lahir terbaik yang Arden butuhkan? Kenapa bisa sangat kebetulan, padahal mereka sedang pusing mencari wanita dengan hari lahir tersebut untuk Arden?
“Tapi Keyra belum nikah, kan?” sergah Diana yang kemudian mengalihkan tatapannya kepada Kanaya. Ia menatap sang mamah mamah dengan harap-harap cemas.
Meski masih merasa syok, tapi Kanaya mengangguk setuju. Kanaya sangat berharap, Keyra yang memiliki hari lahir terbaik menjadi jodoh Arden, memang belum menikah!
“Ya belum. Soalnya Keyra masih menjalani sekolah beasiswa balerinanya di London, sedangkan dia juga sudah tergabung menjadi balerina resmi di salah satu club balerina di London, jadi balerina utama. Tapi tadi dia baru kasih kabar, kalau tiga hari lagi, dia mau pulang.”
Meski menjadi angin segar tersendiri bagi Diana, tapi balasan Sintia yang masih terdengar sangat tertata dari seberang, membuat Diana merasa semakin lemas. Diana bahkan sampai pingsan dan untungnya terjatuh ke sofa.
“Ya Tuhan, Diana! Ibu macam apa kamu ini? Masa ia untuk urusan anakmu saja, kamu masih hobi pingsan?” cibir Kanaya dalam hati. Kanaya langsung mengambil ponsel Diana. Ia mengambil alih pembicaraan dan mengatakan kepada Sintia, perihal mereka yang ingin berkunjung ke rumah Sintia, untuk bertemu Sintia keluarga termasuk Keyra.
Ketika Kananya kewalahan menyadarkan Diana, wanita tua itu mendapati Arden yang sepertinya baru pulang kerja dan belum sempat mandi atau setidaknya ganti pakaian. Arden tengah menuruni anak tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai keberadaan Kanaya dan Diana.
“Arden, sini! Mamahmu pingsan lagi!” seru Kananya terbilang galak.
Arden yang masih di tengah-tengah anak tangga, hanya menatap datar wajah cemas sang nenek. “Biarin saja, Nek. Enggak usah repot-repot. Nanti kalau pingsannya sudah puas, Mamah juga bangun sendiri. Sudah, biarin saja. Berat juga kan tubuh Mamah?”
Setelah menjawab dengan balasan yang terbilang keterlaluan sekaligus kejam, Arden berlalu begitu saja menuju keberadaan dapur. Kanaya sungguh merasa tak habis pikir pada tingkah Arden yang begitu tidak punya empati bahkan kepada mamahnya sendiri.
“Sabar, sabar. Arden begitu memang karena nasibnya sedang sulit. Jadi segala tingkahnya pun bikin kesal bahkan emosi!” gumam Kanaya sambil mengatur napas pelan sedangkan tangan kanannya menjadi sibuk mengelus d**a. Akan tetapi, meski ia mengecam balasan Arden, ia juga menelantarkan Diana begitu saja di sofa panjang tempat sang anak pingsan. Kanaya berlalu setelah sampai menenteng cangkir yang ia letakkan di meja sebelah Diana.
“Ya sudahlah. Yang penting Arden sudah punya kandidat paling cocok. Jadi, seandainya Inara sampai kembali menolak, mau bagaimana lagi? Toh, lepas dari Inara, Arden juga akan jauh lebih jaya bersama Keyra!” gumam Kanaya sambil terus melangkah pelan terlepas dari Kanaya yang memang sudah cukup bungkuk.
****
“Kamu sudah makan?” Arden menghela napas pelan. Ia menatap lesu langit malam yang tidak disertai banyak bintang. Langit malam yang juga semakin membuatnya merasa kesepian berselimut rindu tak berkesudahan. Arden sedang mengobrol lewat sambungan ponsel di depan balkon kamarnya. Ia berada di balkon yang temaram tak ubahnya suasana malam berikut hatinya. Ya, tak bisa Arden pungkiri, kesendiriannya yang membuatnya hidup tanpa Inara memang membuat hatinya kelabu tak berwarna.
“Iya. Ini aku baru makan. Hari ini aku sibuk banget. Ini saja, aku hanya bisa makan pasta!” Suara wanita terdengar sangat tergesa dari seberang sana. Seperti karena wanita tersebut sedang sibuk mengunyah. Arden yakin, Inara selaku wanita yang sedang berbicara dengannya melalui sambungan telepon memang sedang sibuk mengunyah. Makan pasta, seperti pengakuan yang baru saja menghiasi pendengarannya.
“Aku kangen banget, lho.” Arden kembali menghela napas dengan lesu. Kemudian pria pendiam itu melangkah asal ke depan sambil mengantongi sebelah tangannya yang bebas di saku sisi celana piama panjang yang dikenakan.
“Ehm! Iya. Aku juga kangen. Kamu sabar, ya. Tiga atau empat bulan lagi, semuanya beres kok. Aku bakalan langsung pulang ke Indo dan praktek di rumah sakit terdekat, dengan rumah impian kita.” Suara Inara begitu tertata dan terdengar sangat lembut, hingga rindu yang menyesakkan d**a Arden semakin tidak terbendung.
Arden kembali menghela napas dalam, kemudian mengembuskannya dengan cepat dan berakhir dengan mendesah. Pria itu merasa nyaris gila hanya karena cinta yang tengah berusaha menenggelamkannya.
“Empat tahun saja kamu anggap sebentar, apalagi tiga atau empat bulan?” ucap Arden tanpa bisa menyembunyikan kesedihannya.
Arden tersenyum getir menertawakan nasibnya sendiri. Hatinya terlalu sakit di setiap ia memikirkan hubungannya dengan Inara. Arden memang mencintai bahkan sangat mencintai Inara, tapi jika ia harus menunggu lebih lama lagi, Arden merasa, dirinya bisa benar-benar gila.
“Arden, … aku sayang kamu!” Suara Inara terdengar meyakinkan.
“Sudah jangan dibahas. Kita sama-sama tahu. Kita sama-sama sibuk. Andai aku tidak harus mengurus banyak pekerjaan, aku pasti sudah menyusulmu.”
“Arden, maaf!” rengek Inara terdengar sangat menyesal.
“Inara, kamu enggak salah, aku saja yang terlalu mencintaimu. Jadi, kamu jangan minta maaf lagi!” tegas Arden berusaha meredam kesedihan Inara.
“Aku juga sayang, cinta banget sama kamu, Arden!” tegas Inara cepat. Suaranya terdengar sangat halus sekaligus manja. Suara yang juga selalu menjadi madu untuknya.
“Iya, aku tahu. Sudah, jangan dibahas lagi. Enggak lucu kalau gara-gara ini, kita jadi marahan. Habiskan makanmu tanpa mengakhiri sambungan teleponnya. Aku tetap mau dengar napas kamu!”
Seperti biasa, Arden sengaja membuat kebersamaan mereka, tak berjarak yang memisahkan mereka. Karena meski Inara di Amerika sedangkan Arden di Jakarta, kenyataan tersebut sungguh tak mampu menggoyahkan cinta mereka. Dan jika kini sudah pukul dua dini hari, Inara juga sedang menjalani siang hari. Seperti yang dikatakan, Inara sedang makan siang yang terbilang telat.
“Kamu sambil tiduran lah. Jam berapa ini? Di Indonesia, ini sudah hampir pagi, Arden! Cepat masuk ke kamar, jangan di balkon terus, nanti kamu masuk angin. Kamu masih di balkon, kan?” Suara Inara terdengar cukup galak, tapi sarat perhatian. Membuat Arden yang mendengarnya menjadi tersipu.
Arden melangkah memasuki kamarnya dengan hati yang berbunga-bunga. Persis seperti senyum yang menghiasi wajah tampannya. Sangat manis melebihi manisnya gula! Sebuah kenyataan terbilang langka. Sungguh, hanya Inara yang mampu membuatnya, atau mungkin, memang belum ada orang lain yang mampu melakukannya? Lantas, apa jadinya jika Arden justru dipaksa menikahi Keyra oleh orang tua bahkan neneknya?
Bersambung ....