Di dalam kamar, Clara duduk dengan anggun di ranjang tempat tidur, sambil memainkan ponsel di tangannya. Bagas, yang sejak tadi berada di ruang tamu tiba-tiba masuk ke dalam kamar, ada ketegangan yang mengendap di udara. Mata Clara tetap terfokus pada ponselnya yang menampilkan beberapa pesan dari rekan bisnis, seolah ia tidak ingin memikirkan permasalahan yang belum selesai dengan Bagas.
Clara meletakkan ponselnya di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, memandang Bagas dengan mata yang tenang. Namun, penuh makna. "Aku harap kita bisa menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin, Mas. Aku nggak ingin ada perdebatan lagi," ujarnya, meskipun suaranya terdengar lebih seperti permintaan daripada sebuah pernyataan.
Bagas menatap Clara dengan tatapan serius. "Kamu nggak bisa mengharapkan semuanya selesai begitu saja, Clara. Ini bukan masalah kecil. Aku ingin kita berbicara tentang apa yang sebenarnya kamu inginkan, bukan hanya tentang apa yang kamu takuti," jawabnya, meskipun ada rasa keletihan di dalam suaranya.
Clara menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. "Aku ingin kita bisa terus bersama, Mas. Tapi aku juga nggak bisa mengorbankan semuanya hanya untuk sebuah anak. Aku sudah memilih jalan ini. Kamu harus menerima kenyataan itu."
Bagas menatap Clara dengan serius, nadanya penuh kecemasan dan frustrasi. "Clara, kamu nggak terpikirkan bagaimana jika semua orang tahu tentang ini? Bagaimana jika orang-orang tahu bahwa aku melakukan poligami, dan lebih parahnya lagi, dengan asisten rumah tangga kita sendiri?"
Clara menatap suaminya dengan tatapan yang tak mudah terbaca. Bagas terus melanjutkan, tidak bisa menahan kegelisahannya. "Kamu pikir ini akan berjalan mulus begitu saja? Mungkin kita bisa mengatur semuanya di sini, di rumah ini, tapi bagaimana dengan pandangan orang luar? Bagaimana dengan keluarga kita, teman-teman kita, bahkan penggemarmu? Apa yang akan mereka pikirkan?"
Clara tetap diam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan Bagas. "Aku sudah memikirkan itu, Mas," jawabnya perlahan, "tapi aku nggak bisa membiarkan ketakutan itu menghentikan keputusanku. Aku sudah cukup lama berjuang untuk karirku. Semua yang aku miliki sekarang, aku capai karena aku memutuskan untuk tetap fokus pada diriku sendiri."
Bagas mengerutkan kening, merasa semakin terpojok. "Tapi ini bukan hanya soal karirmu, Clara. Ini soal hubungan kita, soal kepercayaan. Kamu meminta aku untuk menikahi orang lain hanya untuk memenuhi keinginanku memiliki anak dan itu sangat berat, Clara. Enggak hanya untukku, tapi untuk semua orang yang akan terlibat."
Clara menatapnya dengan tatapan yang penuh keyakinan. "Aku hanya memberikan solusi. Kalau kamu ingin anak, ini adalah cara terbaik, menurutku."
Bagas menghela napas panjang, merasakan amarah yang mulai meresap dalam dirinya. "Aku masih nggak bisa menerima itu, Clara. Aku nggak bisa menganggap ini sebagai solusi. Ini bukan hanya tentang mendapatkan anak, ini tentang pengorbanan, kepercayaan, dan apa yang akan terjadi dengan kita setelah semua ini. Kamu benar-benar nggak peduli dengan apa yang bisa terjadi pada hubungan kita, kan?"
Clara mengalihkan pandangannya, mencoba menjaga ketenangannya, meskipun kata-kata Bagas mulai menyentuh titik sensitif dalam dirinya. "Aku peduli, Mas. Tapi aku juga peduli pada diriku sendiri. Aku ingin kita tetap bersama, tapi bukan dengan cara aku melahirkan anak untukmu. Aku sudah memilih jalan ini, dan aku berharap kamu bisa menerima itu."
Bagas terdiam, merasa semakin sulit untuk menemukan jalan tengah. Keputusan Clara membuatnya terjebak dalam dilema besar: cinta dan tanggung jawab sebagai seorang suami atau memenuhi harapan pribadi dan tradisi yang lebih besar.
***
“Selamat malam, Nyonya, Tuan.” Maya tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Clara dan Bagas yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
“Maya, ada apa? Tumben jam segini kamu belum istirahat?” tanya Bagas yang terlihat terkejut dengan keberadaan Maya.
“Belum, Tuan. Ada hal ingin saya sampaikan kepada Nyonya dan Tuan,” ucap Maya dengan perasaan gugup.
Clara menghirup nafas dalam, ia segera berdiri dari tempat duduknya. “Enggak usah basa-basi lagi, cepat katakan dan setelah itu pergi dari sini.”
Maya yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menunduk, merasa semakin tertekan oleh situasi yang terjadi. Air mata kembali mengalir di pipinya, namun ia tidak berani mengangkat wajah untuk melihat pasangan suami istri itu.
Maya yang masih terisak, akhirnya mengangkat wajahnya dengan penuh keraguan. Napasnya bergetar, dan dengan suara yang lirih, ia berkata, "Baiklah... Saya setuju, Nyonya. Jika itu memang jalan satu-satunya untuk membantu ayah saya..."
Ruangan itu seketika hening. Bagas menatap Maya dengan mata membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Maya, apa yang kamu katakan? Kamu nggak harus melakukan ini!" suaranya penuh emosi, hampir seperti memohon.
Namun, Maya menggelengkan kepala pelan, air matanya terus mengalir. "Tuan, saya nggak punya pilihan lain. Ayah saya adalah segalanya bagi saya. Jika ini yang harus saya lakukan untuk menyelamatkan nyawanya, maka saya akan melakukannya."
Bagas mundur selangkah, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya—rasa kasihan, kemarahan, dan kebingungan semuanya bercampur menjadi satu.
Sementara itu, Clara, yang mendengar jawaban Maya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyuman penuh kemenangan. Ia merasa lega karena rencananya akhirnya berjalan sesuai harapan. "Keputusan yang bijak, Maya," katanya dengan nada dingin namun puas. "Aku tahu kamu akan mengerti bahwa ini adalah solusi terbaik untuk semua pihak."
Maya hanya menunduk, tanpa mampu menatap langsung ke arah Clara atau Bagas. Ia merasa hancur di dalam, tetapi ia menenangkan dirinya bahwa ini adalah pengorbanan yang harus ia lakukan demi ayahnya.
Bagas menatap Clara dengan tatapan tajam yang penuh kebencian. "Kamu senang sekarang, Clara? Kamu berhasil memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mu sendiri! Dan ingat satu hal Clara, sampai kapanpun aku nggak akan menerima pernikahan ini.” suaranya bergetar dengan emosi.
Clara menatap Bagas dengan tatapan penuh percaya diri. " Baik, nggak masalah. Kamu boleh saja menolak pernikahan ini, tapi asal kamu tahu, Mas. Kamu nggak akan pernah memiliki anak dariku sampai kapanpun, dan jika kamu terus mendesakku. Lebih baik kita cerai daripada aku harus memiliki anak dan kehilangan karirku.” Clara segera meninggalkan ruang keluarga.
Bagas tidak menjawab. Ia hanya menatap Clara sesaat sebelum akhirnya Clara meninggalkan ruang keluarga dengan langkah percaya diri dan senyum penuh kemenangan.