“Ayo kita ke klinik,” ucap ibu Santi begitu buru-buru.
Belum ada tiga puluh menit dari kesepakatan syarat, ibu Santi sudah menenteng tas warna hitam di pundaknya. Ia menatap dingin Tia yang tengah fokus dengan ponsel. Sementara di pangkuan Tia ada kepala Saka yang tengah rebahan manja di sana. Tak beda dengan Tia, Saka juga sedang fokus dengan ponsel.
Karena suara sang mama yang memecahkan keheningan di ruang tamu, Saka segera beranjak dari tidurnya. Sofa panjang dan juga pangkuan Tia begitu membuatnya nyaman, hingga sekadar langkah kedatangan sang mama tak sampai ia dengar.
“Mau ke mana, Ma?” tanya Saka tak paham.
Sebenarnya, bukan hanya langkah ibu Santi yang tak Saka dengar. Sebab ucapan ibu Santi juga terdengar kurang jelas si telinga Saka. Efek kasmaran dan sedang cinta-cintanya kepada Tia, menjadi alasan Saka mengalaminya.
“Kamu di rumah saja. Mama mau bawa Tia ke klinik buat persiapan sebelum kalian menikah. Biasanya ada tes kesehatan pengantin khususnya tentang sudah hamil belum. Karena kalau sampai ketahuan hamil, ujung-ujungnya dipersulit. Ya ... sekalian persiapan sebelum hubungan suami istri. Biar ada edukasi khusus,” ucap ibu Santi panjang lebar, padahal niatnya jelas memasang IUD di rahim Tia, agar Tia tidak bisa hamil. Dan otomatis, Tia akan menghadapi pilihan antara dipoligami atau dicerai. Masalahnya, wanita mana yang rela dipoligami apalagi jika alasannya hanya karena momongan?
“Ya sudah, ayo!” ucap Saka bersemangat.
“Eh, ... eh, enggak. Kamu enggak usah ikut!” sergah ibu Santi kepada sang putra yang sudah berdiri di hadapannya kemudian meraih sebelah tangan Tia dan membantunya bangun.
Bukan hanya Saka yang langsung terusik oleh ucapan larangan sang mama. Karena Tia juga sampai bertanya.
“Yang mau nikah kan juga dua. Aku sebagai calon istri, sementara Mas Saka sebagai calon suami. Terus, kenapa hanya aku yang ikut menjalani pemeriksaan, Bu? Bukankah alangkah baiknya sama-sama, biar lebih terbuka dan saling tahu harus gimananya?” santun Tia.
“Iya, bener. Harusnya memang gitu. Karena kata teman-temanku pas mereka sibuk urus persiapan pernikahan juga gitu,” sergah Saka. Namun, pria berusia tiga puluh tahun itu langsung bungkam tak lama setelah ditatap tajam oleh sang mama.
“Masalahnya di klinik itu khusus perawatan kecantikan sekaligus kewanitaan! Sementara kebanyakan yang datang ke sana itu tante-tante, bahkan nenek-nenek yang selalu ingin perawan. Makanya dibikin makin sempit bahkan kalau bisa rapet lagi!” ucap ibu Santi yang memang marah.
“Mau, kamu digoda nenek-nenek gatel yang perawatan di sana? Memangnya kamu mau, calon suami kamu digoda mereka, apalagi wanita gatel seperti mereka biasanya nekat. Kalau belum dapat dan belum puas pasti tetap diperbudak, bahkan meski laki-laki itu sudah punya istri dan anak!” lanjut ibu Santi yang dalam hatinya kemudian berkata, “Mau dikasih wanita kaya berkelas saja kamu enggak mau Ka! Tenang, apa yang akan Mama lakukan pasti bisa bikin kamu dapat wanita kaya raya, cantik, dan juga terpandang! Bukan wanita miskin modal tampang seperti si Mutia ini!”
Sekitar satu jam setengah kemudian, Tia dan ibu Santi sampai di klinik milik kenalan ibu Santi. Keduanya memakai taksi online karena Saka yang bisa menyetir mobil, tidak diajak. Sementara ketika Tia menawari membonceng ibu Tia naik motor, ibu Santi menolak karena tak mau panas-panasan apalagi sampai kena polusi. Ibu Santi berdalih sensitif ke polusi dan bisa membuatnya bengek.
Selain memiliki sebuah motor matic, Saka memang memiliki sebuah mobil kijang innova warna hitam. Sementara untuk rumah, rumah mungil milik ibu Santi memiliki dua lantai. Ibaratnya, dibilang kaya ya tidak, dibilang biasa, juga tidak karena hidup keduanya tergolong berkecukupan.
Seperti yang sempat ibu Santi kabarkan dan sukses membuat Lia maupun Saka takut, klinik kenalan ibu Santi memang penuh wanita dewasa sekaligus tua. Jumlahnya ada belasan dan itu belum dengan yang sedang antre menunggu giliran. Semuanya sedang mempercantik diri melalui sederet perawatan yang ditawarkan di sana.
“Kok mamanya mas Saka sampai tahu salon dan klinik gini, ya? Berarti mamanya mas Saka memang gaul,” batin Tia yang refleks bertanya kepada ibu Santi. Tia menanyakan, apakah ibu Santi akan menjalani perawatan juga?
“Enggak ... enggak. Dua hari lalu, saya baru dari sini,” sergah ibu Santi langsung ke pendaftaran untuk mengabarkan pendaftaran sekaligus janji yang sebelumnya sudah ia buat.
Sampai detik ini, Tia tidak diberitahu rencana yang sesungguhnya. Tia sungguh tidak tahu bahwa perawatan untuknya justru pemasangan IUD. Terlebih selain cara bicara ibu Santi sangat meyakinkan, di klinik yang sampai disertai salon kecantikan tersebut juga banyak yang melakukan perawatan. Sungguh tidak ada tanda-tanda yang membuat Tia curiga, atau sekadar patut untuk Tia curigai.
Termasuk juga saat ketika Tia sampai menjalani bius dan membuatnya tidak sepenuhnya sadar perihal apa yang terjadi. Karena dokter yang menangani, berdalih sedang melakukan perawatan kewanitaan, Tia juga tetap tenang. Padahal, perawatan kewanitaan yang dokter maksud hanya akal bulus ibu Santi yang tak sudi Saka bersanding dengan Tia.
Namun setelah pemasangan IUD dan tetap dirahasiakan, Tia mengeluh pusing selain perutnya yang terasa sangat kram melebihi gejala mens.
“S—serius, Bu ... sakit banget, Bu! Astaghfirullah ... allahuakbar!” racau Tia sambil terengah-engah menahan sakit. Kedua tangannya juga meremas pangkal perutnya yang terasa sangat sakit.
“Sakit banget, Bu. Sakitttttttt!” lirih Tia kali ini sampai menangis. Tubuhnya terduduk tak berdaya di depan mobil selaku taksi online yang mengantar mereka pulang.
Karena keadaan Tia yang begitu mengkhawatirkan, sang sopir taksi sampai turun. Sopir tersebut memapah Tia hingga depan teras. Sebab Saka yang akhirnya keluar dari rumah, langsung mengambil alih tubuh calon istrinya.
Akan tetapi, alih-alih khawatir, ibu Santi malah mencaci Tia. “Kamu jangan lebay dong, Ti! Alasan saya membawa kamu ke klinik untuk kesehatan sekaligus keamanan kamu sebelum menjalani hubungan se*ks untuk pertama kalinya dengan Saka setelah kalian menikah!”
“Cara kamu mendadak kesakitan begini bikin saya jadi kelihatan jahat. Seolah saya sudah melakukan enggak bener ke kamu, padahal saya hanya berusaha memberi perawatan terbaik! Ah sudah lah ... nanti yang ada saya dianggap cerewet bahkan jahat!” Demi kelancaran sandiwaranya, ibu Santi sampai berderai air mata.
Mendengar itu, Saka yang memang sangat hormat kepada mamanya, terlepas dari ia yang sedang sayang-sayangnya ke Tia, berusaha menengahi.
“Mungkin efek belum terbiasa. Nanti kita lihat ke depannya saja, ya!” lembut Saka berusaha menenangkan Tia.
“Ya ampun ... ini beneran sakit. Aku enggak pura-pura. Sakit banget. Lihat, aku sampai keringatan parah gini,” batin Tia merasa serba salah. Andai ia terus meyakinkan bahwa sebelumnya, ia baik-baik saja, yang ada ia justru terkesan tak berperasaan. Padahal, Tia memang kesakitan. Bukan hanya pangkal perutnya saja yang terasa sangat pegal sekaligus panas. Karena sela,ngkangannya juga sampai gemetaran.