Di tengah kepanikannya, Lastri menyempatkan untuk mendongak menatap Drajat yang tiba-tiba saja keluar dari ruang kerjanya.
“T-tuan Besar… “ gumam Lastri lirih.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Drajat menatap bingung sekaligus khawatir melihat keadaan Hanin yang tak bisa dikatakan baik-baik saja.
Wajahnya benar-benar pucat dan dibanjiri dengan keringat dingin, tubuhnya tampak bergetar halus. Ada yang tak beres dengannya.
“Cepat bawa dia ke kamarnya! Panggilkan dokter juga,” pinta Drajat tegas.
Beberapa pengawal pribadi Drajat tampak maju setelah menerima kode dari Drajat, mereka membantu mengangkat Hanin kembali ke kamarnya. Sementara Lastri buru-buru menelepon dokter pribadi yang kemarin menangani Hanin.
Setelah menelepon dan mendapat jawaban, Lastri juga kembali menyusul Hanin ke kamarnya. Ia memeluk tubuh Hanin yang bergetar sembari membisikkan kalimat-kalimat menenangkan.
“Apa perlu saya menelepon Tuan Muda untuk pulang, Tuan?” tanya Lastri berinisiatif.
Attar pasti akan sangat khawatir jika mengetahuinya kondisi Hanin sekarang.
“Tidak perlu,” jawab Drajat tegas dengan wajah tanpa ekspresi. “Saat ini Attar harus fokus belajar untuk bisnisnya. Jangan sampai berita ini sampai ke Attar dan buat fokusnya terbagi,” pintanya.
“B-baik, Tuan,” jawab Lastri patuh, walaupun ada ketidaksetujuan di dalam hatinya.
Pintu terbuka, menampilkan wanita dengan jas dokternya. Buru-buru wanita itu menghampiri Hanin dan memeriksa keadaannya.
“Ibu Hanin, apa Anda mendengar saya?” panggil dokter itu, mengecek kesadaran Hanin.
“Ti-tidak … tolong … jangan sakiti aku,” racau Hanin lirih.
“Ibu Hanin? Tolong sadarlah, tidak ada yang akan membunuh Anda di sini,” ucap dokter tersebut.
Namun nihil, Hanin tak menunjukkan reaksi seperti yang diharapkan, malah semakin meracau tak jelas dan bahkan menyakiti dirinya sendiri. Hanin mulai menarik-narik rambutnya tak sadarkan diri.
Dokter akhirnya memutuskan untuk memberikan suntikan penenang karena kondisinya yang tak memungkinkan dan semakin tak terkontrol. Ia terus meracau tak sadarkan diri. Suntikan seketika tertidur dan menjadi tenang lagi. Setelah memeriksa kondisinya, dokter itu menatap Drajat serius.
“Apa sebelumnya pasien pernah mengalami kejadian buruk yang traumatis? Atau mengalami kekerasan?” tanya dokter untuk memperkuat diagnosisnya.
Namun Drajat dan Lastri hanya saling menatap, kemudian menggeleng tanda tak tahu atas jawaban pertanyaannya. Dokter itu menghela napas panjang.
“Sepertinya Ibu Hanin mengalami kejadian yang traumatis sebelumnya. Kejadian itu bukan hanya sekali dua kali, sehingga memori Ibu Hanin mengingat semua kejadian itu sebagai sesuatu yang menyakitkan. Jadi, saat pemicunya terjadi, Ibu Hanin kembali mengingat traumanya itu,” jelas dokter tersebut.
“Tapi bisa disembuhkan? Lakukan yang terbaik untuknya,” ucap Drajat, ia melirik sebentar pada Hanin yang tertidur.
“Semua ini bisa disembuhkan. Tapi ini bukan bidang spesialis saya. Saran saya, Anda bisa memanggil psikiater untuk membantu Ibu Hanin terapi dan menyembuhkan traumanya,” ucap dokter tersebut memberi saran.
Drajat terdiam sejenak, matanya menatap Hanin. “Sebenarnya nasib malang apa yang telah menimpamu, Nak?” batin Drajat kasihan.
Ia memang mendengar cerita dari Attar bahwa Hanin mendapat ancaman pembunuh dari suaminya, tetapkan Drajat tak tahu lebih lengkap apa yang terjadi dalam pernikahan Hanin dan Dikta sebelumnya.
“Lakukanlah yang terbaik untuk kesembuhannya. Atur jadwal dengan psikiater terbaik, saya mempercayakan semuanya padamu,” ucap Drajat memerintah.
“Baik, Pak Permana. Saya akan segera mengirim psikiater kenalan saya dan mengatur jadwal konsultasi dengan Ibu Hanin,” ucap dokter.
“Kalau bisa lakukan konsultasinya di rumah ini, dia tidak bisa keluar dari rumah ini,” perintah Drajat lagi.
Dokter tersebut mengangguk mengerti. “Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, setelah ini saya masih ada jadwal operasi,” ucapnya berpamitan.
Sepeninggalan Dokter tersebut, Drajat pun ikut keluar dari kamar Hanin dan meninggalkan Lastri yang masih duduk di pinggir ranjang majikannya. Wanita itu menaruh simpati besar pada Hanin.
Ia membelai lembut kepala Hanin seperti anaknya sendiri, menatap penuh keibuan. “Anda pasti akan segera baik-baik saja, Nyonya. Baik Tuan Besar maupun Tuan Muda, mereka adalah orang yang baik dan pasti mengupayakan segala hal untuk kesembuhan Anda,” gumam Lastri.
**
Brak!
Pintu yang dibuka secara paksa membuat Attar terlonjak kaget, ia menghentikan kegiatannya dan menatap seorang perempuan yang masuk dengan tak sopan ke ruangannya.
Ekspresi wajah perempuan itu tampak sangat marah, ia menghampiri meja kerja Attar dengan langkah terburu-buru dan menggebrak meja itu.
“Pembohong! Dasar munafik!” maki perempuan itu.
Ia tampak berusia akhir 20-an, gaya berpakaian yang modis dan seksi, semua pakaian yang ia kenakan tampak bermerek dan mahal. Matanya melotot penuh amarah, menatap penuh dendam dan kebencian pada Attar.
“Sierra, tenanglah dulu,” ucap Attar.
Rahang perempuan yang tak lain adalah sepupu Attar itu mengetat. “Munafik! Kamu benar-benar munafik Attar!” makinya penuh kebencian.
Bahkan jika bisa, Sierra ingin mencabik-cabik wajah Attar sekarang. Ia sangat muak pada pria di hadapannya itu.
“Dulu kamu dengan mulut manismu itu berkata gak akan mengincar bisnis dan perusahaan keluarga. Tapi apa?! Sekarang … kamu malah meminta Kakek untuk mengajarimu! Pembohong!” Suara Sierra melengking penuh marah.
“Sierra … saya punya alasan tersendiri dengan semua yang saya lakukan sekarang,” ucap Attar hati-hati, berusaha menenangkan Sierra.
Namun Sierra menggelengkan kepalanya, menolak mendengar penjelasan Attar. Ia berdecih sini.
“Dugaanku memang gak pernah salah! Anak haram sepertimu sangat mirip dengan ibumu yang murahan itu! Ibumu hanya tahu mengincar pria kaya dan menginginkan hartanya, setelah itu … anaknya akan berusaha menguasai harta keluarga. Benar-benar sampah!” cemooh Sierra.
Napas Sierra terlihat memburu seiring dengan amarahnya yang tak kunjung reda. Sementara Attar hanya terdiam menerima semua cemoohan Sierra tanpa berniat melawan.
“Sial! Kamu benar-benar b******k Attar!” maki Sierra tak berhenti. “Aku adalah cucu yang sah di keluarga Permana! Seharusnya aku lah yang menjadi pewaris perusahaan dan bisnis keluarga Permana, bukan kamu! Sial, sial sial!”
“Hanya karena kamu terlahir sebagai laki-laki … kamu berhasil menghancurkan impianku!”
Ia mencengkeram kerah kemeja Attar dengan sangat erat, seolah melampiaskan semua kekesalannya pada pria itu.
“Sial, sial, sial! Kamu munafik Attar! Benar-benar munafik!” maki Sierra tiada henti.
Semua bahasa kasar dan hewan di kebun binatang telah dia keluarkan hanya untuk memakai Attar.
“Dengarkan saya dulu Sierra … saya juga benar-benar tidak berdaya sekarang. Saya terpaksa melakukan semua ini,” ucap Attar berusaha menjelaskan. “Ini menyangkut hidup dan mati seseorang.”
“Persetan dengan hidup dan mati, entah itu hidupmu maupun orang lain! Aku gak peduli sama sekali! Yang aku tahu … kamu sudah melanggar ucapanmu Attar! Kamu sudah mengkhianati janjimu padaku!” ucap Sierra sengit.
“Aku pasti akan membalas semua perbuatanmu ini! Tunggu saja Attar! Kamu pasti akan mendapat balasannya,” ancam Sierra. “Aku akan pastikan, pengkhianatanmu akan mendapat balasannya! Aku akan menghancurkanmu dan merebut kembali hakku!”
Usai mengeluarkan semua unek-uneknya, Sierra pun bergegas pergi dari sana dengan langkah penuh dendam. Tak lupa ia juga membanting pintu saat keluar, membuat Attar menghela napas panjang dan mengacak-acak rambutnya frustrasi.
“Hahh! Sudah kuduga semuanya akan jadi seperti ini pada akhirnya,” gumam Attar kesal bercampur frustrasi.
Ia menyandarkan punggungnya di kursi sembari memejamkan mata, tangannya diletakkan di atas kening. Kepalanya benar-benar terasa panas. Seharian belajar mengelola bisnis ditambah berhadapan dengan amarah Sierra, benar-benar menguras kewarasan Attar.
“Aku juga gak ingin berada di keadaan ini Sierra, seandainya aku bisa memilih,” gumam Attar.
Terbesit bayangan wajah Hanin yang tertidur, membuat sedikit banyaknya kepala Attar kembali mendingin. Ia menghela napas panjang. “Dia sedang apa ya sekarang? Aku harap dia baik-baik saja di rumah itu, setidaknya semua yang kulakukan gak sia-sia.”
Sierra melangkah keluar dengan dendam yang berkumpul di dadanya, ia mengepalkan tangan penuh emosi. Mengambil ponselnya di dalam tas dan menelepon sebuah nomor yang berada paling atas dalam daftar pesannya. Matanya menyiratkan kebencian yang begitu besar.
“Aku butuh bantuanmu, Sayang.”
**