WARNING 18+ !
“M-mas … “
Hanin sontak membuang pandangannya ke arah lain, sementara Attar seketika menjauh dari Hanin. Keduanya tampak salah tingkah dan terkejut.
Dikta yang melihat kejadian itu dibuat murka, mengira istrinya telah bermain belakang dengan Attar. “Berani ya kalian!”
Matanya menatap nyalang pada Hanin. “Ternyata begini perbuatan kamu di belakang aku selama ini?! Pura-pura jadi perempuan polos, ternyata aslinya kamu murahan!” tuduh Dikta.
Dada Hanin berdenyut nyeri. Walaupun dia memang sempat merendahkan harga dirinya pada Attar, dia tetap tak setuju dikatai seperti itu oleh suaminya. Dikta tak berhak menghinanya.
“Maaf Tuan, saya bisa menjelaskan semuanya. Saya dan Nyonya tidak melakukan hal yang seperti Tuan pikirka—”
Buk!
Dikta melayangkan sebuah tinjuan pada perut Attar, membuat Attar yang tak siap terhuyung ke belakang bahkan oleng dan hampir terjatuh.
Hanin yang melihat itu memekik tertahan karena terkejut, matanya membulat dan ia menutup mulutnya.
“Kurang ajar! Kamu meremehkan saya?! Kamu kira karena kamu pengawal pribadi istri saya, kamu jadi bisa bersikap kurang ajar?!”
Dikta menghampiri Attar, ia mencengkeram kerah kemeja Attar dan kembali melayangkan tinjuannya di wajah pria itu. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali hingga membuat Hanin semakin panik dan memekik.
“Saya gak bakal lepasin kamu gitu aja setelah penghinaan yang kamu buat!” ucap Dikta di tengah emosinya.
Namun Attar tak tinggal diam begitu saja, dia berusaha menangkis serangan Dikta dan menghindari pria itu. Cukup menghindar karena Attar tak ingin menambah masalah jika melawannya.
“Mas! Mas! Tolong lepaskan dia, Attar gak salah Mas!” pekik Hanin ketakutan.
Perasaan khawatir mengerumuni d**a Hanin melihat wajah Attar yang telah babak belur, apalagi sudut bibir pria itu pecah.
Namun Dikta seolah menulikan telinganya, ia tetap menargetkan Attar sebagai pelampiasan emosinya. Hingga Hanin memberanikan diri untuk melindungi Attar, ia berada di tengah-tengah Attar dan Dikta.
“Kamu melindungi dia? Jadi kalian benar-benar memiliki hubungan belakang ya?” Dikta mendesis sinis. “Menjijikkan!”
“Nyonya, jangan lakukan itu. Biar saya yang tangani masalah ini,” ucap Attar, dia tak ingin Hanin kembali disakiti oleh Dikta.
Namun Hanin menggeleng, ia menatap Attar dari sudut matanya. “Keluar Attar, biar saya selesaikan masalah ini dengan suami saya,” pinta Hanin.
“Tapi, Nyonya … “
“Keluar. Ini perintah,” titah Hanin mutlak.
Attar mengepalkan tangannya, dia tak bisa berbuat apa-apa. Lagi-lagi Attar merasa kecewa pada dirinya sendiri yang hanya bisa menuruti perintah Hanin dan keluar dari kamar itu.
Hanin melindunginya.
Setelah Attar keluar, Dikta mendengus sinis. “Selain mandul, kamu juga murahan ya? Berani-beraninya kamu bermain belakang! Kamu sudah berani menentangku? Iya?!”
Hanin menundukkan kepalanya, ia telah bersiap menerima segala hukuman dari Dikta. Walaupun dia akan merasakan sakit lagi.
“Kamu kira kamu siapa heh?! Kamu itu gak lebih berharga dari seonggok sampah!” hina Dikta.
Dikta menjambak rambut Hanin, ia menarik paksa Hanin mengikutinya, kemudian mendorong Hanin dengan kasar ke arah ranjang.
“Sudah kubilang, kamu harus secepatnya hamil! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu malah menggunakan uang dan rumahku untuk bersenang-senang dengan selingkuhanmu! Tidak tahu diri!”
“Kamu mau melindungi selingkuhanmu itu kan? Sekarang terima sendiri akibatnya!” ucap Dikta lagi, sorot matanya dipenuhi amarah yang berkobar.
Ia menidurkan paksa Hanin di atas ranjang dan menindih tubuh istrinya. Tubuh Hanin jelas bergetar ketakutan, tetapi dia sadar bahwa ini adalah harga yang harus dia bayar karena perbuatannya yang lancang barusan.
“Beraninya, kamu adalah milikku! Aku sudah mengeluarkan uang yang begitu banyak untuk membelimu!” maki Dikta.
Dikta merobek pakaian yang dikenakan Hanin dengan kasar, hingga memperlihatkan tubuh polos Hanin yang hanya ditutupi pakaian dalam. Rahangnya mengeras, ia melempar semua pakaian di tubuh Hanin hingga benar-benar tak tersisa.
“Aku tidak suka kalau milikku juga dinikmati oleh orang lain, kamu mengerti?!” Dikta menggerayangi tubuh istrinya dengan kasar, dia mencium bibir Hanin dengan kasar dan menuntut.
Tak hanya sampai di situ, setelah puas dengan bibir Hanin hingga membuat Hanin kesulitan bernapas, dia bermain dengan kasar pada kedua d**a Hanin. Menamparnya sesekali dan memilinnya dengan kasar.
“Katakan apakah dia juga melihat tubuhmu yang seperti sekarang ini?!”
Membayangkan Attar juga menikmati tubuh Hanin membuat amarah Dikta semakin besar, egonya tersentil. Harga dirinya terinjak.
Dia tak lagi mengindahkan kondisi Hanin, Dikta langsung melakukan penyatuan dengan kasar. Membuat Hanin memekik kesakitan alih-alih merasakan nikmat karena lubangnya yang masih kering.
“Akkh!”
“Sial!” desis Dikta menahan kenikmatannya.
Tak menunggu lama atau membiarkan Hanin menyesuaikan diri, Dikta langsung menggoyangkan tubuhnya di atas Hanin dengan kasar, mengejar kenikmatannya seorang diri tanpa memedulikan Hanin yang kesakitan.
“M-mash! S-sakit,” ringis Hanin lirih. Air matanya bahkan menetas saking perihnya.
Dikta mengunci kedua tangan Hanin di atas kepala, membuat Hanin merasakan perih di pergelangan tangannya, sementara pinggulnya bergerak dengan kasar. Dikta melampiaskan amarahnya pada tubuh Hanin.
“Nghh … Ahh … Apa kamu juga memberinya kenikmatan seperti ini?” ucap Dikta tak menghiraukan ringisan Hanin.
Selain merasa sakit, Hanin juga merasa harga dirinya hancur. Dikta benar-benar memperlakukannya seperti seorang p*****r. Tak mempedulikan kesakitan Hanin, dan hanya mengejar nafsu binatangnya saja.
Dikta semakin mempercepat gerakannya di bawah sana, mengejar puncak kenikmatannya yang akan datang. Namun Hanin sama sekali tak merasakan kenikmatan apapun, ia hanya merasa dadanya sesak menahan tangis.
“Ahh … “ desah Dikta panjang usai mencapai kenikmatannya.
Ia membaringkan tubuhnya di sebelah Hanin, memejamkan mata tanpa melepaskan persatuan mereka. Dikta menikmati sensasi hangat di bagian bawahnya.
Usai merasa puas, Dikta pun melepaskan penyatuan mereka dan bangkit. Ia memperbaiki letak celananya yang tak dia lepas tadi. Dikta masih utuh dengan pakaiannya, berbeda dengan Hanin yang sangat berantakan.
“Ini peringatan terakhirku! Aku membelimu dengan harga mahal, kamu adalah milikku. Aku gak ingin ada laki-laki lain yang menikmati milikku, mengerti?! Jangan sampai ulahmu membuat hancur reputasiku!” ancam Dikta sebelum melenggang pergi.
Ia mengambil ponselnya, mengetikkan sesuatu di sana, kemudian menatap Hanin. “Aku sudah mentransfer uang ke rekeningmu, segera perbaiki wajahmu itu. Minggu depan kita harus menghadiri acara penting. Jangan sampai membuatku malu!”
“Oh iya, aku juga lebihin sedikit uang. Hari ini aku merasa sangat puas dengan tubuhmu,” ucap Dikta setengah merendahkan, kemudian melenggang keluar dari kamar.
Detik itu juga tangis Hanin pecah, ia menyelimuti tubuhnya sembari terisak lirih. Bukan hanya tubuhnya yang berantakan, tetapi batinnya pun berantakan.
Ia benar-benar diperlakukan layaknya p*****r oleh suaminya sendiri.
Hanin tahu, Dikta sengaja melakukan hal itu. Dia sengaja ingin membuktikan betapa berkuasanya Dikta atas tubuh dan hidupnya. Sekaligus menjadi peringatan untuk Hanin.
“Aku capek … aku benar-benar capek hidup seperti ini terus. Apa selamanya aku bakal jadi boneka di rumah ini? Bahkan p*lacur pun diperlakukan lebih manusiawi dan bebas daripada aku.”
"Aku istri kamu, bukan p*lacur Mas."
**