Rencana Dikta

1313 Words
“Bagaimana dengan istrimu .. ahh. Bukankah kalian datang bersama?” Suaranya bercampur desahan manja yang membuat Hanin benar-benar mual dan jijik. “Ja-angan di sini ahhh Dikta.” Benar saja dugaan Hanin, dia bisa melihat suaminya sedang bermesraan dengan wanita asing di dalam sana. Bahkan mereka melakukan perbuatan m***m tanpa malu di tempat umum. Hanin bahkan memalingkan wajahnya, tak sanggup lagi menyaksikan saat Dikta kembali menciumi bibir wanita itu dengan penuh nafsu, bahkan tangannya menggerayangi tubuh yang berbalut gaun pendek itu. “Tenang saja. Hanin itu wanita bodoh, pasti dia sekarang hanya duduk di sudut ruangan dan sibuk makan kue,” ucap Dikta, menjelek-jelekkan Hanin dengan jelas. Hanin merasa ada nyeri yang menusuk dadanya, membuat Hanin merasa sesak. Apa dirinya memang sebodoh itu? Wanita itu bergelayut manja di leher Dikta, menciumi pipinya singkat. “Bagaimana dengan rencana kamu? Sudah lima tahun, harus berapa lama lagi aku tunggu. Aku cemburu loh tiap liat kamu peluk-peluk dia kayak gitu.” “Apalagi kalau aku harus bayangin kamu tidur sama dia juga,” rajuk wanita itu dengan suara dibuat manja. Kening Hanin mengernyit, ia berusaha memperjelas pendengarannya, ingin mengetahui rencana apa yang wanita itu bicarakan. “Ha ha ha. Tenang aja Sayang, walaupun aku tidur sama dia, kamu tetap yang terbaik. Tubuhmu ini … hah aku selalu membayangkan tubuhmu setiap berhubungan dengannya,” ucap Dikta tanpa perasaan. Tubuh Hanin goyah, ia memegang tembok untuk menahan tubuhnya. Hanin menutup mulutnya dengan kedua tangan, tak percaya mendengar ucapan suaminya barusan. Hanin menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak berteriak histeris. “b******n! Dia benar-benar pria b******n!” maki Hanin di dalam hati. Tiba-tiba Hanin merasa jijik pada dirinya sendiri yang telah disentuh oleh Dikta selama ini. “Sejauh mana lagi kamu mau sakiti aku, Dikta?” “Ihh, jadi bagaimana? Apa dia sudah hamil?” tanya wanita itu. Napas Hanin tertahan, kembali diam menguping. Penasaran mengapa wanita itu menanyakan tentang kehamilannya. Sebenarnya apa yang mereka rencanakan? “Hah! Dia benar-benar menyebalkan. Dia bahkan belum hamil juga sampai sekarang,” decak Dikta sebal. “Bahkan Mama juga sudah desak aku dan kasih aku waktu satu tahun.” Wanita itu mengelus pipi Dikta mesra. “Kalau dia gak hamil juga bagaimana dong?” tanyanya ikut bingung, sekaligus khawatir. “Aku sudah memberikannya waktu lima bulan, kalau dia gak hamil juga aku bakal ceraikan dia,” ucap Dikta. “Lalu setelah itu?” “Setelah itu … “ Dikta terdiam sejenak, keduanya saling menatap. Dikta sendiri tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. “Katakan Sayang. Setelah itu apa,” desak wanita itu tak sabaran. Dikta menghela napas panjang. “Mungkin aku akan mencari wanita lain untuk segera hamil,” ucap Dikta memberitahu rencananya. Raut wajah wanita itu berubah seketika, menjadi cemberut dan sedikit marah. Hal itu sudah diprediksi oleh Dikta sebelumnya, dia pun memeluk wanita itu dan menciumnya mesra. “Ayo dong Sayang, jangan kayak gini,” ucap Dikta. “Kamu tahu kan, membayangkan kamu tidur dengan dia saja sudah buat aku sakit. Apalagi kamu ingin tidur dengan wanita lain lagi? Kamu tahu kan gimana sakitnya jadi aku,” rajuk wanita itu. Hanin masih sabar menguping pembicaraan mereka, sembari bersikap waspada. Takut-takut ada pengawal Dikta yang memergokinya di sini. “Kita sudah diskusikan ini sejak awal kan, Sayang? Kan kamu sendiri yang pilih jalan ini. Padahal kalau kamu mau hamil, aku gak bakal nikah sama orang lain loh. Semuanya bakal lebih mudah, andai aja kamu mau hamil,” ucap Dikta. Hanin bahkan tak pernah mendengar nada bicara Dikta yang selembut itu, padahal selama ini Dikta selalu berbicara dengan nada tinggi dan sinis padanya. “Kamu sekarang salahin aku?” “Gak gitu, Sayang. Astaga,” ucap Dikta frustrasi sendiri. “Iya aku paham kamu gak mau hamil, kamu gak mau mengandung, gak mau badan kamu berubah bentuk. Makanya kita sudah rencanakan ini semua kan, aku menikah dengan wanita lain biar dia bisa hamil dan Mama punya cucu, jadi Mama gak recokin hubungan kita lagi.” Deg! “Sabar sebentar lagi, ya?” bujuk Dikta, menangkup wajah kekasihnya lembut. “Kita cukup dapat satu anak, habis itu aku bakal ambil anak itu dan ceraikan dia, lalu kita bisa nikah.” Kurang ajar! Hanin benar-benar tak habis pikir dengan segala isi rencana gila sepasang kekasih itu. Jadi, selain karena tujuan bisnis … Dikta menikahinya karena menginginkan anak? Mereka akan mencampakkannya begitu anak itu lahir, dan memisahkannya dari anak itu. “Aku gak mau ya kalau anak itu nanti tahu aku bukan ibu kandungnya. Pokoknya anak itu adalah anak aku dan kamu,” ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Dikta. Rahang Hanin mengeras, tangannya mengepal erat. Untuk pertama kalinya Hanin begitu marah dengan perbuatan Dikta. “Dia akan menjadi anak kita, Sayang. Dia hanya akan tahu bahwa aku adalah ayahnya dan … ibunya adalah kamu. Kita akan menjadi keluarga kecil yang paling harmonis dan bahagia,” janji Dikta begitu manis. Ingin sekali Hanin melabrak kedua orang tidak tahu diri berhati iblis di dalam sana. Namun Hanin mengurungkan niatnya, dia tak punya kekuasaan untuk melawan mereka, apalagi Dikta. Saat ini Hanin hanya ingin kabur, bersembunyi dari rencana jahat mereka. “Aku harus segera pergi dari sini,” gumam Hanin dengan suara yang sangat kecil. Tangannya berkeringat dingin karena panik, dia bergerak dengan langkah buru-buru, membuatnya tak sengaja menyambar pintu dan menimbulkan suara keras. Sontak Dikta dan kekasihnya menoleh bersamaan, mendapati Hanin yang menguping mereka. Keduanya saling menatap terkejut. “Hanin?!” “Kamu mendengar semuanya?!” tanya Dikta panik sekaligus marah. Hanin yang berniat kabur digagalkan dengan Dikta yang tak kalah cepat menahan tangannya kasar, menarik Hanin masuk ke kamar mandi itu. “KATAKAN! Kamu mendengar semuanya?!” bentak Dikta. Rahang Hanin mengetat, matanya memperlihatkan api dendam yang membara. Tubuhnya bergetar marah bercampur takut. “Ka-kalian licik! Kalian … kalian iblis berwujud manusia! Kalian gak punya hati nurani!” maki Hanin. Mau diapa, sudah terlanjur ketahuan. Jadi sekalian saja Hanin mengeluarkan isi hatinya. Hanin menarik napas, mengumpulkan keberaniannya. “Kalian kira kalian bisa mendapatkan apa yang kalian inginkan begitu saja?! Gak bakal!” “Kamu ingin anak dan pewaris kan, Mas?!” tanya Hanin menyolot, menatap dendam pada suaminya. “Kenapa gak suruh wanita ini aja yang hamil! Kenapa malah memaksa aku? Bukankah kalian saling mencintai?!” Hanin menunjuk marah pada kekasih Dikta, tetapi tangannya langsung ditepis kasar oleh Dikta. “Jangan kurang ajar kamu! Jangan berani kamu menunjuk gak sopan seperti itu ke kekasihku!” “Dia lebih berharga dibanding sampah seperti kamu! Derajatnya lebih tinggi dibanding kamu yang sekadar anak haram,” maki Dikta murka. Sudut bibir Hanin berdenyut, ia terkekeh sinis. “Ya sudah! Minta pewarismu pada wanita itu. Kenapa malah memaksa seonggok sampah dan anak haram ini untuk memberimu pewaris?” sindir Hanin. Hanin kembali tertawa hambar. “Ha ha ha. Kenapa? Dia gak bisa kasih kamu pewaris? Lalu kenapa malah mau memanfaatkan rahim wanita malang untuk mengandung pewaris kalian?!” teriak Hanin penuh kemarahan. “Aku akan menceraikanmu!” ancam Dikta menatap Hanin tajam, menilai Hanin sudah melewati batas. “Ya! Silakan ceraikan aku saja. Lebih baik aku hidup sebagai gelandang daripada memberikan anakku untuk iblis seperti kalian!” tantang Hanin. Entah keberanian dari mana yang dia dapatkan sehingga bisa berkata seperti itu. Dikta cukup terkejut melihat perlawanan Hanin, selama ini istrinya itu hanya diam dan menurut. Bahkan penakut untuk sekadar menatapnya saja. “Berani sekali!” Dikta menggeram marah. “Ceraikan aku! Lalu aku akan memberitahu seluruh dunia tentang kebusukan kalian! Akan kubuat seluruh wanita di dunia ini tahu dan kalian tidak akan mendapatkan pewaris seperti yang kalian inginkan,” ancam Hanin balik. Dikta terkekeh, ia menyeringai membuat bulu kuduk Hanin meremang. “Mengancamku heh?” ucapnya. “Kita lihat, apa kamu bisa melepaskan diri dan keluar dari sini hidup-hidup sebelum melakukan semua omong besarmu itu.” “Kamu kira aku bermurah hati membiarkanmu keluar begitu saja dari sini?” ucap Dikta dingin. “Jangan harap, Hanin!” **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD