"Ha ha ha, haa." Om Angga tiba-tiba tertawa. Pundaknya terus bergetar-getar oleh tawa padahal menurutku gak ada yang lucu tapi dia terus saja terpingkal-pingkal. Apaan sih, dia. Aneh tiba-tiba saja tertawa begitu.
"Kenapa, sih? Aneh banget tertawa-tawa enggak jelas. Aku kan mau pinjam uang bukannya minta, Om," kataku jengkel. Aku sedikit mencebik padanya.
"Oh jadi Adik Dinda mau pinjam uang, ya? Tidak malu? Ha, ha." Dia tertawa lagi. "Tadi marah-marah, sekarang mau pinjam uang," katanya dengan sorot geli.
"Iya mau pinjam uang! Dengar, kan? Kenapa aku jarus malu? Kan aku mau pinjam uang bukannya minta, jadi kenapa musti malu? Nanti sampai rumah aku ganti!" Balasku yang lagi-lagi menatapnya jengkel.
Aku itu bukannya gak punya uang. Aku punya, kok. Mahar dari dia 50 juta cas seratusan ribu. Itu dari dia. Murni dari dia aku gak minta sama sekali mahar sejumlah itu. Saat waktu itu dia tanya mau mas kawin berapa, aku bilang seperangkat alat salat saja sudah cukup, yang penting kami menikah. Aku kan cinta mati padanya. Jadi hanya dengan menikah dengannya aku udah seneng banget dan gak mau tinggi-tinggi soal mahar. Jadi aku minta yang gak memberati. Tapi, Om Angga malah memberiku sejumlah itu juga seperangkat alat salat. Sayangnya, mahar darinya itu aku letakkan di kamarku. Setelah ijab kabul di rumahku, kami langsung ke sini dan aku gak kepikiran membawanya. Lupa saking bahagianya akan diboyong suamiku tercinta.
Oh ya memberitahu kalau-kalau ada ingin tahu. Pernikahanku dan Om Angga, berlangsung sederhana gak diramai-ramaikan. Hanya ijab kabul yang dihadiri para saksi saja. Begitu saja, tidak ada yang istimewa. Tapi tak masalah bagiku yang penting aku menikah dengan Om Angga. Papa mau menikahkanku pun aku sudah bersyukur sekali karena tadinya baik papa juga Mama menentang habis-habisan rencana pernikahan kami.
Ya aku bilang begini sih pada Papa. "Yaa kalau papa tetap gak mau nikahin aku sama Om Angga ya gak papa siiiih aku gak maksa. Aku bisa minta tolong Pak Yai sebagai wali, gak masalah nikah siri yang penting sah," kataku kala itu membuat Papa mengurut-urut d**a. Papa juga memijit-mijit pelipis tampak stres sekali wajahnya. Mama yang duduk di samping Papa langsung mencoba menenangkan papaku itu.
"Jangan dipikirin, Pa, nanti darah tinggi Papa kambuh. Anakmu itu sedang keblinger." Sambil Mama memandangku dengan gemas.
"Dinda, Dinda, kamu itu buat malu papa dan Mama aja. Baru saja lulus sekolah eh sudah ngebet nikah. Kamu tau gak, tetangga-tetangga yang mama minta jadi saksi tanya ke Mama, apa kamu telat datang bulan? Kamu tahu, Mama ma-luuuu, sekali!" kata Mama dengan gemas sambil menoyor kepalaku. Aku yang ditoyor kepala hanya nyengir.
"Lalu, Mama bilang apa sama tetangga-tetangga kita, Ma?" tanyaku dengan antusias karena penasaran. Yaa masa aku dibilang telat bulan, maksudnya itu hamil ya, kan? Seolah aku anak nakal aja sampai telat bulan.
Walau aku itu cinta mati pada Om Angga, namun aku gak pernah ciuman dengan Om Angga. Aku gak pernah mencium dia duluan, Om Angga juga gak pernah berinisiatif menciumku lebih dulu. Padahal mah kalau dia menciumku aku gak mungkin nolak. He he.
"Ya Mama bilang kamu tidak hamil, lah. Tapi mama bilang kamu kena pelet!" Hu-uuh! Mama mengembuskan napas kuat saking kesalnya denganku, padahal aku tak merasa membuatnya kesal. Ganti Papa yang menenangkan Mama, menasehati Mama agar jangan terlalu dipikir nanti kena darah tinggi.
"Ya gak, lah, masa Om Angga pelet aku. Orang aku yang kejar-kejar dia kok, Ma, Pa. Dia itu, ganteng, baik, perhatian, bikin hati Dinda berwarna dan kelepek-kelepek. Ci-eeee!" kataku yang langsung ditoyor oleh Mama juga Papa.
"Mama sangat menyayangkan kamu bukannya kuliah malah nikah. Dinda, Dinda, hilang wajah Mama dan Papa pada para tetangga!" Hu-uuh. Mama mengembuskan napas keras. Lagi dan lagi begitu pun Papa.
"Tapi wajah Mama dan Papa masih ada, tuuh?" Aku memperhatikannya, langsung cengengesan karena Mama mendelik. Sementara Papa menyentak napas keras-keras, mungkin dengan begitu kekesalannya segera minggat.
"Pokoknya Mama tidak mau tahu ya, Dinda. Karena ini adalah pilihanmu sendiri, maka jangan sampai Mama dan Papamu mendapat kabar yang tidak-tidak pada pernikahanmu. Mama tidak mau terima kabar buruk semisal kamu cerai dengan Angga karena kamu tiba-tiba bosan sama Angga atau apalah. Pokoknya Mama tidak mau mendengar kabar buruk-buruk."
"Ha ha ha." Aku tertawa ngakak sejadi-jadinya. Tanganku mengibas cepat di udara dan aku lagi-lagi tertawa.
"Mama, Mama. Mana mungkinlah aku cerai dengan Om Angga? Ya enggak bakalan, lah. Secara kan kamu saling mencintai. Oke, siap, Ma! Gak mungkin aku sama Om Angga cerai. Kami akan sehidup semati. A-haay." Aku tersenyum. Mama mendengkus jengkel dan menoyorku.
Jadi, karena Mama dan Papa gak benar-benar merestuiku menikah dengan Om Angga, jadi keduanya tidak ingin ada pesta pernikahan yang pastinya dihadiri oleh banyak orang. Kata Mama, sudah cukup Mama malu pada tetangga karena kamu lulus SMA langsung nikah, mama tidak mau mencoreng wajah Mama juga papamu ke banyak orang lagi, kata Mama saat itu dengan tegas.
Aslinya sih aku ingin pernikahanku diramaikan karena pernikahan kan sekali seumur hidup, itu prinsipku. Aku ingin mengenakan gaun pengantin dan duduk di singgasana bagai ratu sehari bersama Om Angga, memperlihatkan ke orang-orang bahwa kami sangat-sangat bahagia. Namun karena Mama dan Papa gak merestui ya sudahlah. Yang penting nikah.
Sementara orang tua Om Angga beda, ia ingin pernikahanku dan Om Angga diramaikan dihadiri banyak orang bukannya asal sah seperti yang diinginkan Mama juga Papa. Kemarin siang setelah ikut mengantarku ke rumah Om Angga, Bunda, biasa aku menyebut Mama Om Angga, Bunda bilang bahwa dia sedang menyiapkan ini itunya untuk resepsi pernikahan kami yang akan digelar meriah besar-besaran seperti pernikahan-pernikahan Om Angga sebelumnya.
"Melamun?"
Tangan yang melambai-lambai di udara membuatku terlonjak mundur. Aku menepis tangan Om Angga yang terus melambai-lambai di udara lalu mendelik jengkel padanya.
"Iiiih apa an sih, Om! Ngeselin, deh. Om mau pinjami aku uang apa gak, niih?"
"Am Om, Am, Om, Om, Am! Katanya cinta, sudah nikah juga masih panggil Om. Dinda-Dinda." Dia menggelengkan kepala heran.
Aku mengembuskan napas. "Terserahlah. Suka-suka a-kuu. Toh Om kan nyuruh aku cari suami lain, yaudah aku mau cari suami lain. Jadi gak penting aku mau panggil Om apa Mas, terserah aku. Yaaa kecuali kalau Om berubah pikiran ba-ruu, deeeh, aku panggil Om, Mas."
Karena aku itu cinta dia, gak maulah cari lelaki lain. Dan juga kan sudah MP sama dia, masa mau udahan begitu saja. Malu juga lah pada Mama dan Papa. Selain itu, aku cinta banget sama dia tapi ya gak mau angkat rahim juga. Aku gak mau nanti nyesel dikemudian hari.
"Ha ha." Om Angga tiba-tiba tertawa membuat pundaknya bergetar pelan. "Ngarep, yaa?" tanyanya. Asli gak perasaan banget dia bicara begitu. Ya jelaslah aku ngarep, aku itu kan cinta dia. Aku meleletkan lidah dan mencebik.
"Gak ngarep, kok. GR. Sini, aku pinjam uang." Aku mengangkat tangan ke udara lalu menggerakkan jari-jariku ke arahnya. Aku sedikit merasa gengsi sebenarnya tapi kutahan. Ya daripada aku jalan kaki dari Metro ke Simpang Kampus, gila bener. Jauh, lah. Pasti sampai rumah Mama langsung tepar.
Dia mengulum senyum memandangku. "Pinjami tidak, yaa?" katanya diiringi senyuman.
"Ya pinjami dong, Om!" kataku jengkel.
"Ya ya ya." Dia mengangguk-angguk. "Tunggu sebentar kuambilkan uangnya. Tidak ingin duduk dulu?" Dia menuding kursi. Terlihat di piring, makananku yang wbaru berkurang sedikit saja. Enak banget itu ayam bakar rasanya.
Om Angga membalikkan badan lalu berjalan cepat menuju kamar. Sementara aku menuju kursi dan duduk. Ayam bakar di hadapanku terlihat begitu menggugah selera. Rasanya pun enak karena aku tadi sudah memakannya sedikit.
Aku celingak-celinguk lalu mencubit daging ayam bakar yang kecokelatan. Uuuh, memang enak sekali rasanya. Aku makan dengan menghayati lalu kembali mencubit daging ayam bakar, memakannya dengan cepat. Enak banget, sumpah, buat ingin makan lagi dan lagi. Om Angga jago sekali masak. Pasti diajari oleh bunda. Bunda punya 5 warung makan di sekitar Metro, juga ada yang di Simpang Kampus, juga ada yang di Pekalongan. Om Angga juga kedua Adik Om Angga juga punya warung makan, semua membuka usaha kuliner.
"Iya, habiskan dulu adik manis."
Suara Om Angga yang tiba-tiba membuatku tersedak-sedak. Rasa panas dan pedas pun merayapi tenggorokan juga hidungku sampai berair. Aku mengusapnya cepat dengan punggung tangan lalu sambil nyengir aku menoleh ke samping, suamiku berdiri tak jauh dariku tengah bersidekap. Bibirnya yang kemerahan menyungging senyum tipis, matanya yang jernih dengan bulu mata tebal mengelilinginya tampak geli. Aku rasanya seperti hilang muka seriusan. Aku kembali nyengir lalu menerima gelas yang diulurkannya. Segera menyeruputnya hingga habis setelah itu mencuci tangan di kobokan, mengelapnya dengan tisu dan berdiri. Lagi-lagi nyengir saat bertemu tatap dengannya.
"Sini uangnya." Aku mengulurkan tangan. Dia langsung meletakkan selembar warna merah di telapak tanganku.
"Ambil saja tidak usah dikembalikan," katanya, bibirnya mengulum senyum.
"Makasih," jawabku.
"Kalau berubah pikiran, tinggal pulang saja. Aku selalu siap menerimamu," katanya.
"Aku gak akan pernah berubah pikiran, Om! Aku gak mau angkat rahim sampai kapan pun! Mending aku cari lelaki lain seperti yang dikatakan Om daripada harus angkat rahim. Permisi!"
Buk bug! Aku mengentakkan kaki lalu membalikkan badan. Aku melangkah pelan menuju pintu. Panggil aku dong, Om. Pleaseee. Harapku dalam hati. Aku terus melangkah pelan-pelan seperti siput. Ya ampun gak dipanggil juga. Tega banget, deh. Please dong, Om, panggil aku pleaseeee.
Gemas sekaligus geram, aku menoleh ke belakang. Dia mengedikkan bahu, tatapannya seolah berkata, ada apa?
Aku kembali mengentakkan kaki. Apa yang harus kukatakan pada Mama saat ia melihatku pulang sendirian, coba? Hu-aaaaa .... aku ingin menangis saat teringat betapa ngeyelnya aku pada Mama juga Papa.