Episode 10 Ditabrak Rusa Tampan

1632 Words
Sejak awal harusnya Ruis menyadari bahwa memupuk cinta untuk Sekar hanya kesia-siaan belaka. Dari awal ia melihat bagaimana wanita yang ingin digapainya begitu setia dan sulit ditembus dinding hatinya agar mau sedikit saja menoleh padanya. Sesuai dugaannya, Sekar sosok yang sangat berbeda jauh dari wanita yang kerap kali ditemuinya. Dia bukan wanita yang silau harta dan kedudukan. Untuk ke sekian kalinya Ruis merasa kesal pada dirinya karena telah melanggar aturannya sendiri untuk tidak lagi pusing memikirkan wanita. “Kau ingin bertemu denganku di sini?” tanya Hasan sore itu di sebuah pub terkenal di kota La Tigres. Ruis sengaja sore ini sepulang kerja menghubungi Hasan dan mengajak minum beberapa tegukan Vodka untuk meredakan panas hatinya. Penolakan Sekar terhadapnya kemarin sangat menguras pikiran. Tidak bisa, rasanya belum rela bila ternyata hubungan antara Hasan dan Sekar masih baik-baik saja. Namun, apakah ia akan melakukan sesuatu untuk memisahkan mereka berdua? Ruis merasa gundah. “Kau sibuk akhir-akhir ini, susah kutemui,” sahut Ruis duduk menyandarkan tubuhnya pada sofa. Ia sengaja memesan ruangan VIP seperti biasa. Tidak ada seorang pun dan bersifat privat. Hasan mengangguk mengerti, tersenyum seraya melepaskan jasnya lalu duduk di sebelah Ruis. Terdapat musik yang mengalun merdu dari layar besar yang terpampang di hadapan mereka. Ruis kemudian mengecilkan volume suaranya agar lebih mudah berbicara dengan sepupunya. “Bukankah malah kau sendiri yang sulit ditemui?” Hasan menuangkan vodka ke dalam gelas yang berisi es batu dan menggoyangkan perlahan. “Oh, aku merindukan suasana gila ini,” ucapnya setelah menenggak minumannya satu tegukan kecil kemudian mengerang penuh kepuasan atas sensasi terbakar pada mulutnya. “Kita sering mencuri waktu untuk duduk seperti orang sinting di sini,” timpal Ruis mengingat momen kenakalan masa remajanya bersama Hasan. “Mengecoh beberapa pengawal yang mengawasiku dan bersenang-senang seperti remaja yang haus akan cinta.” “Ya, aku ingat. Kegilaan apa pun akan kita bagi bersama, banyak hukuman tentunya kita nikmati berdua, kecuali—” Hasan kembali meneguk minumannya sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Ruis. Ruis yang sebenarnya malas pun bergerak, menegakkan tubuhnya untuk membalas ajakan Hasan bersulang dan minum lebih banyak lagi. “Kecuali berbagi seorang wanita,” lanjut Ruis tersenyum masam. “By the way, membahas soal wanita. Ehm, bagaimana dengan wanita yang kamu temui kemarin siang di Restoran Ers_Santosa? Katanya dia sangat cantik dan memiliki karir cemerlang. Sangat sesuai dengan kriteria nenek Rosana,” kata Hasan membuat mood Ruis kembali terombang-ambing tidak karuan. Pertemuan siang yang diingatnya hanyalah melakukan hal konyol dan tidak masuk akal bersama gadis itu—Sekar. “Bukan tipeku, aku tidak butuh wanita yang rewel kemudian merajuk saat aku tak datang saat kencan karena sibuk. Aku memutuskan untuk tidak lagi bertemu dengannya.” “Wah, kau membuang kesempatan untuk menyenangkan hati nenek.” Hasan mengatakan itu seraya terbahak. “Ya, aku harus siap didepak dari posisiku kapan pun dia mau.” “Hm, merajuk, ya?” gumam Hasan pelan. “Sejak kemarin aku tidak bisa menghubungi Sekar.” Hasan meneguk setengah dari isi gelasnya kemudian memandang Ruis dengan tatapan gelisah. “Tidak biasanya ponsel gadis itu dialihkan ke mail box. Apa dia marah gara-gara aku terlalu banyak kesibukan, ya.” Ruis meneguk minumannya sembari mengalihkan pandangan. Mengingat lagi bagaimana akhirnya ponsel itu mati total dan tidak bisa lagi dipulihkan membawa efek lain dalam hatinya. Bahagia? Ruis mengutuk dirinya karena bisa berpikiran sejauh itu. Ia sendiri tidak menyangka akan berbuat sejahat itu pada sepupunya sendiri. “Aku berencana untuk menemuinya sepulang dari sini,” ungkap Hasan lagi tersenyum nyengir. “Beberapa hari yang lalu saat bertemu denganku, dia tidak protes apa pun kecuali meminta izin untuk menemui sahabatnya dari Indonesia di Ars_Santosa. Oke, bisa saja saat ini dia sibuk menemani temannya,” pikir Hasan kemudian. “Menemui temannya di Ars_Santosa?” tanya Ruis sedikit terkejut. “Iya, dan kupikir kau bisa saja bertemu dengannya di restoran itu,” lontar Hasan begitu saja. “Oh, tidak. Kurasa,” tepis Ruis menggeleng dengan sorot mata gelagapan. Pria itu pun memilih untuk mengambil kacang almond yang berada di atas meja dan memakannya untuk mengakhiri percakapan itu. “Hm, Sekar terbiasa mandiri. Aku tidak bisa membuatnya bergantung padaku. Entah kenapa, dia sangat sempurna untuk tipe pria tidak romantis sepertiku,” ungkap Hasan tertawa lirih. Ruis hanya mengangguk kaku. Ia merasa sangat penasaran bagaimana awal perjumpaan mereka berdua. Bila pada dasarnya sosok Sekar begitu setia, bagaimana hubungan mereka bisa menjadi sepasang kekasih. Apakah saat mereka bertemu, Sekar tidak sedang menjalin hubungan dengan pria lain? Batin Ruis bertanya-tanya. Jika saja saat ini Hasan tidak ada, apakah gadis itu bersedia membuka hati untuknya? “Aku takut kalau dia sakit. Aku sama sekali tidak bisa menghubungi Sekar, ada apa dengannya.” Masih saja Hasan menunjukkan kecemasannya. Mau tak mau Ruis merasa bersalah juga. “Dia pasti sedang menghabiskan waktu bersama temannya. Bukankah sebagian besar wanita suka sekali bertindak demikian? Lupa waktu kalau sudah menyangkut jalan-jalan?” hibur Ruis dengan harapan Hasan tidak lagi mencemaskan keadaan Sekar dan membuat runyam segalanya. Apalagi kalau sampai Hasan tahu kalau ponsel sekar rusak karena ulahnya dan gadis itu menghabiskan waktu siang hari bersamanya di apartemen. “Semoga saja. Oya, aku sudah menerima laporan pengerjaan projek pembangunan hotelmu yang baru. Aku sangat menyukai konsepnya, dan sangat berharap semua akan berjalan dengan baik,” ungkap Hasan mengikuti Ruis berdiri dari tempat duduk. “Terima masih. Kemarin mood-ku buruk setelah bertemu dengan perempuan yang disodorkan nenek. Sangat memuakkan.” Ruis mendesis kesal. “Aku akan memperkenalkan padamu beberapa temanku. Jangan khawatir,” hibur Hasan balik. “Salah satu teman Sekar?” Ruis mendengus lalu tertawa ringan. “Bukan level kalian, aku tidak akan membawa Sekar dalam hal ini.” Hasan menggelengkan kepala, lalu berjalan mendekat dan menepuk pundak sepupunya pelan sambil berbisik, “Kalau aku bisa mencarikan pasangan untukmu, nenek menjanjikan restu atas hubunganku dengan Sekar.” Ruis terpaku mendengar ucapan Hasan. Sebuah restu dari nenek yang sangat langka terucap untuk sebuah hubungan cinta dan pernikahan. Rasanya hatinya mulai merasakan kekhawatiran luar biasa. Ia pun bergerak menjauh meninggalkan meja kemudian meraih jas miliknya yang tersampir pada punggung sofa. “Apa itu artinya kau berencana menikah dengannya? Yang benar saja, itu konyol untuk ukuran pria penyuka kebebasan sepertimu!” Tanpa sadar Ruis menanggapi cerita Hasan dengan nada angkuh dan ketus. Namun, meskipun begitu, Hasan tidak tersinggung dan malah tertawa. Ya, dia sadar. Bagi Hasan dan lingkungan sosialnya, menikah bukanlah prioritas yang harus dilakukan dalam waktu dekat. Banyak wanita yang suka diajak berkencan tanpa membicarakan tentang pernikahan. Ya, karena sepenuhnya saling memahami—bahwa pernikahan adalah bagian dari bisnis dan bukan mengenai cinta basi. “Karena aku merasa tidak bisa menemukan wanita seperti Sekar, dia bisa membuatku bekerja dengan riang tanpa ada yang perlu kucemaskan. Dia sangat memahami pekerjaanku dan aku sangat menghormati pilihannya untuk pacaran sehat selama ini,” ungkap Hasan jujur dan ia kemudian merasa malu setelah mengatakan itu pada sepupunya. Ruis yang sedianya sudah hendak mengajak Hasan pergi dari sana menoleh kembali pada Hasan. “Kalian—” Ruis membuang tawa tidak percaya. “Ya, kami tidak bergaya pacaran layaknya penduduk negeri Mueensland yang bebas hidup bersama tanpa ikatan apa pun,” ungkapnya seraya tertawa. “Astaga, hubungan macam apa itu! Kalian sudah dewasa,” ejek Ruis sambil berdecak, masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Ya, dia terlalu baik, dari keluarga baik-baik. Aku rasa pilihannya harus dihargai. Lagipula aku yang akan jadi suaminya. Cepat atau lambat dia akan sepenuhnya jadi milikku,” sahut Hasan sambil berjalan lebih dulu, meninggalkan Ruis yang masih diam terpaku. *** Sekar memandang kedatangan Hasan dan Ruis di sebuah kafe milik sahabatnya dari Indonesia yang kebetulan membuka cabang usahanya di sana. Terasa sangat canggung setelah dengan ketus ia memutuskan untuk melarang pria itu mengganggunya. Benar, Sekar merasa sangat terganggu dengan keberadaan pria itu di sekelilingnya melebihi waktu yang Hasan berikan untuknya. Sejak pagi tadi ia berada di Kafe Yusakha. Termasuk dalam jajaran kafe berkelas karena sahabatnya salah satu anak dari konglomerat Indonesia yang 'terusir' dari rumahnya. Sekar sengaja datang untuk menebus rasa bersalah kemarin, ia tidak bisa membantu saat acara pembukaan karena insiden tidak menyenangkan antara dirinya dan Ruis. Pagi ini ia juga dikejutkan dengan kedatangan Alli dengan membawa ponsel bersama nomor baru dan pakaiannya yang sudah bersih. Perasaannya sangat tidak nyaman setelah diberi tahu kalau ponselnya tidak bisa dipulihkan lagi. Berita buruk karena semua nomor penting keluarganya hilang. “Sayang, apa kabar?” sapa Hasan begitu mendekati Sekar dan menariknya dalam pelukan. “Sedang tidak baik,” jawab Sekar tersenyum membalas pelukan itu dengan lembut. “Ponselku mati total.” “Oya? Kok bisa.” Hasan melepaskan pelukannya lalu memandang wajah cantik kekasihnya dengan kening berkerut. “Ceritakan ada apa? Aku tidak bisa menghubungimu dari kemarin.” “Ponselku terjebur ke dalam kolam di Taman Ars_Santosa kemarin,” jawab Sekar tersenyum malu-malu. “Kok bisa? Astaga, jangan katakan kau sedang mencucinya." Hasan menggeleng tidak percaya, membayangkan sikap lembut kekasihnya bisa berbuat ceroboh seperti itu. Sekar melepaskan tawa, mencubit lengan Hasan karena melihat ekspresi wajah itu selalu membawa dampak luar biasa baginya. Pria itu selalu membuatnya merasa nyaman. “Ada rusa yang lewat dan tidak sengaja menabrakku,” aku Sekar langsung diberi tawa terbahak Hasan. “Rusa! Astaga, Sayang. Mana ada.” Sekar hanya menggeleng, menarik tangan Hasan untuk masuk ke dalam kafe, ia tidak mengacuhkan keberadaan Ruis yang menatapnya dengan wajah masam. Tepat berada di belakang sang kekasih. Ia tahu pria itu tidak akan melepaskannya begitu saja. Ya, ponsel baru itu sudah menunjukan betapa berkuasanya pria itu terhadap dirinya. “Ayo masuk, akan aku buatkan minuman spesial untukmu.” “Siap! Ayo, Ruis, kita dengarkan bagaimana rusa itu bisa menabrak Sekar,” gurau Hasan seraya menoleh pada Ruis yang masih bersedekap tangan di belakangnya. “Rusanya pasti tampan,” gumam Ruis mendadak merasakan geli pada sekujur tubuhnya. Ia merasa geli dengan kebohongan Sekar dalam mendeskripsikan kejengkelannya pada kejadian kemarin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD