BAB 22

1304 Words
Ayah mengetuk pintu kamarku, membuatku terbangun dari tidur nyenyakku. Setelah aku menyauti ketukan itu, ayah membuka pintu perlahan. Dari balik pintu, aku melihat ayah berdiri memandangku sambil tersenyum. "Luna, udah bangun?" tanya Ayah yang langsung berjalan mendekatiku. Ayah menatapku dengan senyum kecil, ia berjalan ke meja belajarku lalu merapikan beberapa bukuku yang terlihat berantakan karena memang aku masih malas untuk merapikannya tadi. "Iya," ujarku dengan suara parau khas orang yang bangun tidur. Aku mengucek kedua kelopak mataku dengan tanganku, lalu merentangkan tanganku lebar. Rasa kantuk masih menyergap diriku, membuatku merasa sangat malas untuk berpisah dengan kasur ini. Seakan ada sihir yang dibuat untuk kasur, rasanya seharian berada di kasur pun akan menyenangkan. "Ayo siap-siap dulu, katanya mau ke sekolah." Ayah membuka pintu, lalu menghidupkan lampu di kamarku yang masih gelap. Gorden di jendela perlahan ditarik oleh Ayah, membiarkan sinar matahari masuk. "Ayo, nanti telat," lanjut Ayah memintaku untuk segera bangun dan bersiap. Aku mengangguk, lalu nenarik tubuhku bangkit dari kasur. Aku berjalan sedikit terhuyung membuat ayah dengan sigap ingin membantuku, tapi tidak jadi karena aku sudah menyesuaikan keseimbanganku terlebih dahulu. "Nggak apa-apa," ujarku menghentikan ayah yang mencoba membantuku. Kepalaku terasa sedikit pusing saja saat aku berdiri dari tidurku, mungkin karena efek dari sakitku kemarin dan mungkin karena darahku yang rendah. "Kalau kamu ngerasa sakit nggak perlu ke sekolah," ujar ayah namun aku menolak. Hari ini adalah hari yang aku tunggu. Bagaimana bisa aku tidak pergi ke sekolah. Pengarahan untuk pesta perpisahan dua minggu lagi diatur hari ini dan juga ia harus pergi bersama Adrian menyelesaikan tugasnya memberi hadiah untuk ayah. "Nanti minum s**u sama sarapan dulu, cepetan biar nggak telat." Aku mengangguk sambil mengambil handuk baru yang ada di dalam lemari. "Ayah nggak bisa anter kamu. Ada rapat penting," ucap Ayah tiba - tiba. Mataku menatap ayah bingung mendengar ia berbicara tiba - tiba jika tidak bisa mengantarku, padahal aku ingin menghabiskan waktu bersama ayah meskipun sebentar. Aku membalikkan badanku menatap Ayah. "Luna naik bus aja," jawabku singkat, lagian tidak ada salahnya aku juga sudah lama tidak naik bus. "Enggak. Ayah nggak yakin kamu naik bus sekarang. Minta tolong Adrian jemput kamu aja," pinta Ayah padaku yang sesaat membuatku terkejut. Mendengar itu dengan cepat aku menggelengkan kepalaku, aku jelas saja menolak keras. Aku heran kenapa ayah tiba - tiba menyebut nama Adrian, aku saja tidak sampai kepikiran ke sana. "Nggak usah, ngerepotin nanti," ucapku berusaha untuk menolak saran ayah yang sangat merepotkan orang lain. Ayah menggeleng. "Udah kamu siap-siap cepetan, biar Ayah yang telepon Adrian. Buruan siap-siap dulu," saut Ayah namun aku tetap menolak ide ayah itu.. Aku menggelengkan kepala berusaha menolak. "Luna gak sededeket itu sama Adrian," ucapku mencoba untuk membuat ayah mengerti. Aku juga heran, terkadang ayah terlihat sangat posesif dan menatap dingin Adrian tapi terkadang juga ia begitu baik kepada Adrian. "Naik bus aja," ucapku terus menolak, lagian Adrian harus memutar lagi jika harus menjemputku lebih dulu. Sekarang gantian ayah yang menggelengkan kepalanya. "Enggak, udah sekarang siap-siap aja. Kamu nggak mau 'kan telat?" ucap Ayah membuatku tersadar karena waktu yang sudah mepet, jika aku bersantai sangat berkemungkinan besar aku akan telat. Aku dengan terpaksa menyetujui ucapan ayah, karena sepertinya jika aku terus menolak ayah tidak henti membujukku. Ayah keluar dari kamarku, lalu aku langsung menuju kamar mandi untuk menyelesaikan urusanku. Aku sedikit bergegas menyelesaikan urusanku di kamar mandi, karena tidak ingin Adrian menunggu lama. Setelah sedikit memoles wajahku dengan bedak dan lipbalm aku keluar dari kamar. "Adrian belum datang?" tanyaku melihat belum ada sosok Adrian, karena biasanya Adrian sampai dengan cepat. "Belum sampai, sini sarapan dulu. Ayo jangan gak makan," ucap Ayah yang terburu - buru namun masih saja sempat mengurusku, membuatku menjadi merasa bersalah karena terus - terusan merepotkannya. Aku mengangguk dan duduk di kursi, lalu ayah menuangkan s**u dari dalam kotak ke dalam gelasku. Aku meminumnya, lalu mulai mengambil roti. Pertama aku mengoleskan selai strawberry dengan merata pada satu lembar roti yang aku ambil, lalu menuangkan sedikit s**u kental manis dan menutupnya dengan selembar kertas roti lagi. "Tumben pakai selai strawberry?" tanya Ayah yang ikut duduk disampingku. "Buat Adrian," jawabku singkat, aku tidak tahu apa yang Adrian suka tapi ia selalu mengambil rotiku saat aku membawanya ke sekolah. Aku dapat melihat dari ujung mataku jika ayah tersenyum, tapi tidak kuprotes karena aku yakin ayah malah akan terus mengolok-oloku. "Kenapa Ayah?" tanyaku sebenarnya aku tahu jika ayah sedang mencoba mengusiliku tapo tatapan ayah tetap saja membuatku merasa terganggu. "Makin deket kayaknya sama Adrian, temen apa temen?" tanya Ayah menggodaku. "Temen, beneran." Roti yang tadi aku oleskan selai, aku letakkan di dalam piring. Lalu, aku mengoleskan selembar roti lagi yang baru kuambil ke dengan selai cokelat. Setelah selesai mengoleskan, aku langsung menumpuk roti itu dan memakannya. Biasanya aku jarang untuk sarapan di rumah, tapi semenjak ada ayah ia selalu menyiapkan makanan untukku. Masakan ayah juga ternyata enak-enak, bahkan kami jarang membeli makanan dari luar karena kebiasaan ayah yang selalu menyiapkan makanan. Selain berhemat, kata ayah dia senang kalo masak dan makanannya kumakan. Bahkan, ia memang dari dulu berkeinginan masak untuk anaknya yang akhirnua baru tercapai sekarang. "Luna, kayaknya Ayah pergi duluan ya. Ayah hampir telat," ucap Ayah yang tiba-tiba berubah menjadi terburu-buru setelah melihat jam di pergelangan tangannya. Aku mengangguk, membantu ayah yang meninggalkan tasnya di kursi sampingnya tadi. Sedangkan ayah sudah berada di dekat pintu depan berusaha memasang sepatu . "Ayah, ketinggalan," ucapku cepat sebelum Ayah pergi lebih jauh. Aku langsung menyerahkan tas itu kepada ayah, pintu terbuka tepat saat Adrian hendak menekan bel rumah. Ayah langsung berpamitan dan meminta Adrian sarapan lebih dulu. Kulihat Adrian sedikit merasa tidak nyaman, mungkin terintimidasi dengan tatapan ayah yang sedari tadi seakan meneliti dan mencari tahu karakter Adrian. Bahkan, seakan sedang ujian lisan. Adrian menjawab pertanyaan yang diajukan oleh ayah dengan serius membuatku menahan tawa melihat ekspresinya. "Kita telat belum?" tanya Adrian yang tengah mengatur napasnya, aku menatapnya heran ia tidak jalan kaki atau berlari ke sini tapi keringatnya seakan mengatakan hal lain. "Belum kok, masih ada 15 menit lagi. Kamu udah sarapan belum?" tanyaku, aku juga tidak menyangka ia datang secepat ini. Adrian menggekengkan kepalanya "belum," jawabnya dengan cengiran. "Itu, ada roti aku buatin. Makan dulu," ucapku memintanya. Aku menunjuk roti yang tadi kubuat, lalu meminum s**u di gelasku hingga tandas. Aku berjalan menuju kulkas, mengeluarkan lagi s**u yang tadi ayah tuangkan ke dalam gelasku. Kali ini, aku menuangkan s**u tersebut ke dalam gelas baru lalu kuberi pada Adrian. Ia berterima kasih, lalu terbatuk saat berbicara sambil makan membuatku langsung saja menyodorkan s**u yang baru saja kutuangkan. "Makasih," ucap Adrian saat merasa sudah lebih baik. Aku mengangguk lalu duduk di kursiku tadi sambil menikmati s**u dari gelasku. "Lun, itu kayaknya mimisan. Itu Lun," ucap Adrian panik, ia langsung meletakkan roti di tangannya dan mendekat ke arahku. Aku mengusap hidungku dengan tanganku, aku melihat jariku memerah karena ada darah yang keluar dari hidungku. Adrian memberikan aku tisu yang langsung aku ambil dan kugunakan menyeka hidungku. "Masih gak?" tanyaku meminta Adrian menatapku, karenanya pandangan kami bertemu. Adrian menggeleng, "enggak kok, udah gak ada." Aku tersenyun kecil, "syukurlah," gumamku. "Lun nggak apa-apa?" tanya Adrian yang terlihat panik menatapku. Aku menggeleng, masih memegang tisu mencoba menyeka dan menahan darah yang keluar dari hidungku. Sedangkan Adrian yang terlihat panik, membantuku dengan memberikan tisu untuk menyeka mimisanku. "Kita pergi aja, udah mau telat. Lagian ini udah mau berhenti, ayo pergi sekarang aja. Aku gak apa - apa," ucapku, padahal aslinya kepalaku terasa berat. Adrian mencegah aku bergerak. "Telat sebentar nggak apa-apa. Aku ambil minum dulu." Tisu baru aku ambil, syukurlah mimisanku sudah berhenti. Kuambil gelas berisi air putih yang diberikan Adrian, meminumnya hingga hampir habis setengah dari gelas itu. "Udah 'kan? Ayo pergi," ucapku sambil memakai sepatuku. Adrian menatapku habis kata-kata, aku berjalan mengambil tasku lalu kami keluar bersama. Adrian membantuku mengunci pintu, lalu merebut tasku dan membawanya. "Nanti kalo sakit ngomong, ya," ucap Adrian masih terdengar cemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD