BAB 20

1544 Words
Aku menangis tidak mampu menahan sakit saat ketiga kalinya jarum suntik menembus lenganku. Biasanya aku tidak secengeng itu untuk menangis, tapi karena tiba-tiba Tante Erly meminta pemeriksaan menyeluruh makanya banyak sampel darah yang harus diambil. Kepalaku terasa pusing setelah darahku di ambil, setelah jarum di cabut dari tanganku aku merasa kaku dan kebas di sekujur tanganku yang tadi baru saja diambil darahnya. "Tante, ini kapan selesainya? Luna beneran udah nggak apa-apa. Kita pulang, ya?" ucapku membujuk Tante Erly. "Hasil tesnya akan keluar nanti sore kalau kamu baik - baik saja kita akan segera pulang," saut tante Erly. Perawat membantuku untuk pindah ke kursi roda, sayangnya aku masih belum bisa berjalan terlalu jauh sehingga harus duduk di kursi roda entah kenapa kakiku terlihat terlalu lemah. Setelah itu, tante Erly mendorong kursi rodaku dan membawaku kembali ke dalam ruanganku, di dalam aku melihat ayah dan om Juna yang terlihat sedang sibuk dengan berkas yang ada di tangannya. Aku tidak pernah membayangkan harus kembali ke rumah sakit dalam jeda waktu beberapa hari saja, padahal aku baru saja merasa sangat senang karena bisa pulang ke rumah Susah payah aku membujuk semua orang untuk mengizinkanku pulang ke rumah, namun kenyataannya aku malah masuk ke rumah sakit lagi dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Sedari tadi aku melihat Om Juna dan ayah yang tengah sibuk, mereka bahkan kini sibuk untuk, mempersiapkan berkas penuntutan kekerasan yang terjadi padaku. "Luna, kamu bisa jujur sama Tante. Apa benar kamu selama ini dibully dan diganggu sama teman-teman kamu?" tanya Tante Erly menatapku dalam, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulutku. Aku membenarkan posisiku di atas ranjang dan tante Erly menarik kursi lalu membawanya ke sebelahku, ia menatapku beberapa saat terlihat ragu entah kenapa. "Tante tahu dari mana?" tanyaku memandang dalam wajah tante Erly. Mataku membesar mendengar pertanyaan tante Erly, selama ini aku sudah menjaga masalah ini agar tidak ada yang tahu baik om Juna maupun tante Erly. Aku menggelengkan kepalaku mencoba untuk menepis, "tidak memangnya tante dengar dari mana?" tanyaku dengan senyum kecil mencoba untuk meyakinkan tante Erly jika aku tidak pernah memgalami hal seperti itu. "Adrian," balas tante Erly singkat, menjawab ucapanku. Mendengar itu aku tentu saja terdian tidak bisa menyauti, jika sudah Adrian yang berbicara, tentu saja Tante Erly pasti percaya dan percuma saja jika aku mencoba menutupinya. Aku mendengus, "sebenarnya, iya," ucapku berbicara dengan jujur, lagian aku tidak memiliki pilihan lain. "Kenapa kamu nggak pernah cerita?" ucap Tante Erly yang tiba-tiba menangis karena merasa bersalah, ia merasa tidak memperhatikan anak angkatnya ini dengan baik . Aku terkejut, bagaimana bisa karenaku Tante Erly kini menangis? Aku bahkan tidak bisa membalas jasanya, tapi malah membuatnya menangis. Tante Erly meredam suaranya sepertinya tante Erly juga mengerti jika aku tidak ingin ayah dan om Juna tahu tentang masalah ini. "Maaf Tante. Luna cuma nggak mau ngerepotin kalian. Luna tahu, pasti perasaan Tante sama Om pasti sakit kalo tahu Luna dijahatin di sekolah," ucapku berusaha jujur, aku hanya ingin tante Erly mengerti apa yang aku rasa sehingga aku membuat pilihan seperti itu. Air mata Tante Erly semakin deras. Aku ingin sekali memeluknya, tapi tidak bisa. Aku hanya menggenggam tangannya erat, meyakinkan kalau aku baik-baik saja. "Tante ngerasa kalo Tante nggak berguna karena gak tahu apa pun tentang kamu. Tante nggak tahu sudah sesakit apa kamu selama ini." Aku ikut menangis, aku tahu pasti sakit bagi Tante Erly melihat orang yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri dan ia sayangi malah disakiti oleh orang lain. "Kamu tahu 'kan kalau Tante ini sudah anggap kamu anak?" ucap tante Erly meraih tanganku dan mengenggamnya. Aku mengangguk, masih dengan air mataku yang terus mengalir. Tentu saja aku tahu tante Erly menganggapku sebagai anaknya sendiri, perlakuannya kepadaku menunjukkan itu semua. Kasih sayang yang ia berikan juga terasa tulus hingga aku bisa merasakannya. "Kamu harus tahu, kalau kamu itu berharga. Bagi orang tua kamu, kamu itu sangat berharga. Bagi teman dan sahabat kamu juga kamu itu berharga. Sejatinya, setiap anak itu berharga, nggak ada yang berhak menyakitinya termasuk orang tuanya. Jadi, wajar aja kalau nggak ada orang tua yang rela anaknya disakiti orang lain sedangkan orang tuanya menjaganya mati-matian." Tangisanku semakin dalam. Aku dulu merasa takut jika Tante Erly khawatir jika aku bercerita aku dibully, tapi saat aku tahu perasaan Tante Erly yang sebenarnya, aku jadi tahu jika lebih menyakitkan menjadi seorang orang tua jika tidak mengetahui perasaan dan permasalahan yang mengusik anaknya. "Tante maafin Luna. Kali ini Luna janji nggak akan menyembunyikan apa pun. Luna akan cerita jika ada masalah," ucapku masih tidak dapat menahan tanangis. "Kamu nggak salah, Tante yang minta maaf karena kurang peduli padamu sehingga kamu bisa sesakit ini," ucap tante Erly langsung memelukku erat. "Enggak Tante, Luna yang salah. Tante nggak salah," ucapku meyakinkan, aku tidak ingin Tante Erly merasa buruk lagi. "Kalau begitu, izinin Tante mengurus semua masalah di sekolah kamu." Aku mengangguk setuju. Lagi pula, alasan aku menyembunyikan karena aku tidak mau orang lain khawatir dan mengasihaniku. Tapi, jika itu keluargaku aku akan membagikan apa pun yang kurasa karena kuyakin itu dapat membuat semua orang yakin aku baik-baik saja. "Kami ke luar dulu ya sayang," ucap om Juna, tante Erly dengan cepat memgusap air matanya lalu membalikan badannya. "Hati - hati Mas," jawab tante Erly lalu setelah itu om Juna dan ayah keluar dari kamarku. "Tante, Luna sedikit khawatir. Kenapa sekarang Luna lebih sering mimisan. Apa terjadi sesuatu sama Luna?" tanyaku pada Tante Erly karena aku yakin Tante Erly pasti bisa mengecek jika terjadi sesuatu padaku. "Nggak apa-apa, Sayang. Kamu cuma kecapean." "Kan Luna udah mau ujian, apalagi karena Luna sakit jadi harus melewati try out. Padahal, minggu depan Luna ujian nasional." "Bagi kami semua, sekarang yang terpenting adalah kesehatan kamu." "Apa Luna bisa ikut ujian Nasional? Luna bisa pulangkan?" tanyaku memastikan. Tante Erly mengangguk memberikan jawaban membuatku merasa sedikit lebih tenang. "Tante, boleh Luna pinjam ponsel Tante buat nelepon Adrian? Pasti Adrian khawatir sama Luna," ucapku ragu. Untunya, tante Erly memberikan ponselnya kepadaku yang langsung saja aku gunakan untuk menelpon Adrian. "Halo Tante?" ucap Adrian dari balik telepon. "Ini Luna," ucapku terkekeh. Aku menatap Tante Luna yang memberikan insyarat jika ia akan keluar sebentar. "Ya ampun, Luna kamu nggak apa-apa 'kan? Gimana kata Dokter?" tanya Adrian, bahkan aku menjauhkan ponsel tante Erly dari telingaku karena suara Adrian yang terdengar seperti sedang berteriak. "Hahaha ... nanyanya satu-satu. Aku baik-baik aja, sekarang aku udah ngerasa mendingan . Kata Dokter perlu cek lebih lanjut, tapi belum tahu soalnya Tante Erly yang bicara sama Sokter dia yang ngerti." "Aku besok kesana deh," balas Adrian. "Jangan, besok try out hari kedua. Pokoknya kamu selesaikan dulu try out. Minggu depan kita ujian," ujarku memberi saran karena aku yakin Adrian tidak akan menyerah begitu saja. "Ya udah iya," jawab Adrian dengan kesal. "Sampai ketemu hari ujian nasional," ucapku lalu di akhri ucapan selamat malam oleh Adrian. Beberapa saat kemudian Tante Erly kembali membawa sebuah kotak yang ternyata berisi makanan. Akhirnya kami berdua makan bersama sambil membicarakan banyak hal yang sepertinya akan mulai kami lakukan setelah aku menyelesaikan ujianku. Beberapa saat kemudian Tante Erly kembali membawa sebuah kotak yang ternyata berisi makanan. Akhirnya kami berdua makan bersama sambil membicarakan banyak hal yang sepertinya akan mulai kami lakukan setelah aku menyelesaikan ujianku. "Wah ... lagi makan, ya," ucap Ayah yang baru saja datang bersama om Juna. "Ayah sama Om udah makan?" tanyaku setelah melihat kedua laki - laki paling penting untukku ini terlihat lelah. "Udah. Kamu makan aja, kami udah makan, kok. Habis itu istirahat ya, kali ini harus bener-bener sampai sembuh," ucap ayah yang kubalas dengan acungan jempol. Belakangan ini, hubungan aku dan Ayah memang semakin membaik. Aku tahu, memang aku terlalu egois karena membenci Ayah. Tapi, ini semua karena rasa sakit dan kecewa aku harus menghadapi ini semua sendirian. Di saat semua anak memiliki bahu ayah atau ibu mereka untuk bersandar, sedangkan aku tidak memiliki satu bahu pun yang bisa aku gunakan sebagai sandaranku. "Beneran nggak mau?" tanyaku lagi mengulang pertanyaanku. Pertama memang aku dan ayah sama-sama canggung satu sama lain, tapi jika kami tidak sama-sama memulai kecanggungan di antara kami sampai kapan pun tidak akan bisa menghilang. "Ya udah, Luna makan, ya." Aku mengunyah setiap makanan yang masuk ke dalam mulutku, rasanya sangat menyenangkan bagiku saat ini karena dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dan menyayangiku. "Ini enak banget," ucapku lalu mengedipkan sebelah mataku pada tante Erly. Ia tertawa kecil melihat tingkahku. Sebenarnya, jika aku bisa mengatakan pada ibu. Malam ini adalah malam terbaik yang pernah aku rasakan, bukan karena masakan yang enak atau karena perhatian yang diberikan oleh semua orang. Tetapi, bagiku ini benar - benar tentang rasa sayang, perhatian dan dukungan yang selalu aku dapatkan dari orang - orang yang memang sangat berharga bagiku. Aku senang melihat tante Erly yang menatap penuh senyuman ketika aku dengan lahap memakan masakannya, aku senang melih om Juna yang selalu berada di barisan terdepan untuk melindungiku agar aku tidak merasakan sakit karena terluka, juga tentunya aku merasa sangat senang berkali - kali lipat karena di sini, dihadapanku ada ayah yang selalu menyemangatiku dan menjadi orang pertama yang ua cemaskan. Aku mengerti kenapa orang berkata, tidak akan menyesal jika mati hari ini. Ternyata, dengan momen ini aku dapat merasakan sendiri apa maksud dari ungkapan itu dan ternyata memang benar. "Aku sendiri tidak akan menyesal, jika aku harus mati hari ini," ucapku pada diriku sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD