BAB 11

1288 Words
Pagi ini, infusku sudah dilepas oleh dokter. Tante Erly sudah membantuku untuk mandi, dan sekarang hari yang aku tunggu untuk pulang ke rumah. Tidak masalah jika harus istirahat di rumah. Tetapi, jika di rumah sakit aku tidak terlalu nyaman. Di rumah sakit aku tidak bisa melakukan apapun selain hanya berbaring di ranjang, namun jika di rumah aku bisa melakukan banyak hal. Aku bisa membaca n****+, menonton tv atau setidaknya duduk di balkon sambil menatap padatnya kota. Lagi pula aku tidak ingin merepotkan atau mempersulit siapapun terutama Tante Erly yang selalu datang kemari, padahal aku tahu dengan pasti jika pekerjaan tante Erly tidak sedikit. Ada banyak perkerjaan yang menunggunya, dan jika aku lebih lama di sini tentu saja tante Erly akan semakin membuang - buang waktunya untukku. Seperti halnya om Juna, aku merasa bersalah karena ia harus menghabiskan lebih banyak waktu untukku. Jika di pikir - pikir, rasanya aku hanya seperti beban bagi mereka yang terus saja menyusahkan mereka tanpa bisa membalas kebaikan mereka. Sudah terlalu banyak hal yang mereka beri dan sudah terlalu banyak juga hal yang aku terima dari mereka, aku tidak ingin membuat mereka merasa kerepotan apalagi di sela - sela kesibukan mereka. "Ayo, Luna," ucap Ayah membukakan pintu mobil Om Juna dan membantuku untuk duduk. Setelah membantuku, ayah berjalan menuju pintu samping dan duduk di sampingku. "Lun, kamu tiduran aja. Pasti pusing kalah baru lepas infus dan kena matahari langsung," ucap tante Erly mengingatkanku. Aku mengangguk setuju, Tante Erly yang dulunya adalah dokter sangat mengerti diriku. Aku juga sudah merasakan kepalaku perlahan pusing saat keluar dari rumah sakit, mengikuti ucapan Tante Erly aku memundurkan kursiku lalu memejamkan mataku. Ayah memberikan aku bantal yang ia ambil dari kursi belakang dan langsung kuterima. Aku memeluk bantal tadi sambil sesekali meremasnya karena tiba-tiba aku merasa pusing. "Keringat kamu banyak banget, Lun," ucap Tante Erly menyerahkan kotak tisu kepada ayah. Ayah yang mengelap keringat dari dahiku terlihat mulai khawatir lagi. Entah kenapa keringatku banyak keluar padahal aku sama sekali tidak merasakan gerah atau panas sedikitpun. "Apa balik lagi ke rumah sakit, ya?" tanya ayah panik. Mendengar itu tentu saja aku langsung menggelengkan kepalaku, susah payah aku membujuk semua orang untuk pulang ke rumah jadi sangat tidak mungkin jika harus kembali ke rumah sakit yang ada aku akan makin lama di rawat di sana. "Nggak apa-apa, Mas. Luna lagi nyesuain dirinya. Tahan ya, Lun," ucap Tante Erly dan aku hanya menjawabnya dengan anggukkan. Mual semakin kurasakan, aku juga memaksakan diriku agar terlelap hingga tidak perlu menahan mual yang terus membuatku ingin memuntahkan isi perutku. Aku berusaha keras menahan rasa mualku, entah mengapa rasanya kepalaku juga ikut pusing. "Sabar, Nak. Sebentar lagi sampai," ucap Ayah yang menatap panik diriku Mataku memang kupejamkan, tapi aku masih dapat merasakan jika Om Juna mempercepat laju mobil. Sedangkan ayah, masih terus mengelapin keringatku. Kepalaku terasa pusing dan aku juga sedikit mual apalagi tubuhku terguncang di dalam mobil. "Sudah sampai. Luna turun duluan biar Om parkir dulu. Kamu bantuin, ya," ujar Om Juna. Ayah keluar lalu berjalan ke samping dan membantu membukakan pintuku. Tante Erly langsung merangkul tubuhku, sedangkan ayah membawa beberapa barang dari bagasi. Jalanku juga sudah sedikit sempoyongan, entah mengapa energiku tiba - tiba menghilang. Aku berjalan perlahan, untungnya lift terbuka tidak lama. Entah mengapa tubuhku terasa lemas, beberapa menit kemudian kami sampai ke apartemen. Tante Erly membantuku tidur di kasur lalu menyelimuti tubuhku, ia memintaku untuk istirahat lalu menghidupkan AC dan menutup pintu. "Tidur ya, Lun. Tante bakal temenin kamu. Biar Tante bisa pantau kamu," ujar Tante Erly dari balik pintu dan lagi-lagi kubalas dengan anggukan karena aku merasa terlalu lemas. Setelah membantuku berbaring di kasur dan menyelimutiku, tante Erly berjalan keluar dari kamarku dengan alasan ia ingin aku beristirahat lebih banyak sekarang. Terlebih ia terus memandang khawatir ke arahku membuatku mana bisa mengabaikan itu, aku membuka mataku masih menatap ke arah pintu yang tertutup. Dingin yang kurasa berhasil membangunkanku dari tidurku, aku duduk beberapa saat sebelum berdiri dan membasuh wajahku. Perasaanku sudah lebih baik dari sebelumnya, cacing di perutku juga ikut protes karena belum mendapatkan asupan. Pintu kamar kamar diketuk dan terbuka sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi, menampilkan sosok Tante Erly dari balik pintu. "Udah baikan Luna?" tanya tante Erly lalu berjalan mendekatiku, ia memeriksa suhuku dengan telapak tangannya. "Udah, Tante," balasku dengan senyum ramah. Untungnya aku dipertemukan dengan sosok Tante Erly, bagiku yang sudah ditinggal oleh ibu dengan adanya Tante Erly selama ini sangat membantuku. Mungkin, aku selalu merepotkan tapi aku benar-benar bersyukur saat Tante Erly sangat hangat kepadaku dan meyakinkanku jika ia baik-baik saja dan senang bisa menganggapku sebagai anaknya. "Makan dulu. Semua udah nungguin," panggil tante Erly. Aku mengangguk. "Iya, Tante. Sebentar lagi Luna nyusul." Handuk yang kupakai menyeka air di wajahku kembali aku gantung. Aku melihat ponselku di atas lemari, lalu mencoba menghidupkannya, tapi tidak bisa karena baterainya sudah habis. Aku berjalan mengambil ponsel tersebut dan menyambungkannya dengan pengisi daya, lalu berjalan keluar kamar. Di meja makan sudah ada ayah, Om Juna dan Tante Erly. Tapi hal yang membuatku sempat berdiri kaku beberapa saat bukan itu. Adrian. Aku menatap Adrian yang tengah duduk di antara mereka membuatku mengernyit bingung. Aku menatap Adrian yang seakan tidak menggubrisku, malah mendengar obrolan antara Adrian, ayah dan Om Juna seakan mereka sudah dekat. Aku duduk berhadapan dengan atante Erly dan bersebelahan dengan Adrian. "Udah baikan, Luna?" tanya Ayah setelah aku mengambil posisi dudukku. Tante Erly mengambilkan aku nasi dan meletakkan beberapa lauk, membuat piringku sudah terisi berbagai macam lauk. "Makasih, Tante," ucapku dengan senyum kecil. Melalui ujung mataku, aku melihat ayah yang terus menatapku. Pertanyaan ayah tadi tidak kujawab, untungnya Om Juna bisa mengalihkan pembicaraan yang aku tutup secara sepihak. "Nambah, Adrian," ucap ayah yang dijawab anggukan oleh Adrian. Ayah mengambil beberapa tusuk sate, lalu meletakkannya di atas piring Adrian dan piringku. "Kok punya temen nggak dikenalin, Lun," ucap Ayah lagi memecahkan keheningan di antara kami. "Harus banget," jawabku dingin, sebenarnya aku tidak berniat untuk berbicara begitu tapi entahlah mulutku malah tiba - tiba mengatakan dengan nada seperti itu. Tante Erly menanggapi ucapanku tertawa, sedangkan ayah hanya tersenyum kecut. Mungkin Tante Erly tidak ingin aku menunjukkan ketidakakraban antara aku dan ayah pada Adrian. "Nggak apa-apa, Tante. Anak-anak di sekolah juga udah tahu semua." Aku menghabiskan makananku, mengambil jus jambu merah yang disodorkan oleh Tante Erly. "Hahaha ... Luna memang suka bercanda Om, Tante ...." Adrian mengambil alih pembicaraan dengan mengganti topik. Setelah menyelesaikan makan malam, kami duduk di sofa. Aku bersebelahan dengan Tante Erly yang tengah mengecek kondisiku. "Luna bagaimana di sekolah?" tanya ayah pada Adrian. "Dia baik, kok, Om," jawab Adrian ramah. "Pasti banyak 'kan temennya? Besok-besok ajakin main ke sini. Kayaknya kalau Luna ga---" "Adrian udah jam sembilan malam. Apa nggak kemaleman mau pulang?" Aku memotong ucapan ayah yang terdengar sangat menyakitkan bagiku, itulah ayah ia tidak pernah tahu sedikitpun mengenaiku. Adrian melirik jam di pergelangan tangannya. "Ah iya, Om sama Tante, maaf Adrian pamit dulu soalnya nggak enak takut kemaleman." Adrian berdiri dari duduknya kemudian menyalami ayah, Om Juna dan Tante Erly bergantian. Saat akan mengantar Adrian ke depan, aku meminta mereka tidak usah mengantar dan aku yang akan mengantar sampai pintu depan. "Besok sekolah 'kan?" tanya Adrian membalikkan badannya menatapku. "Iya," jawabku singkat. "Mau dijemput?" tanya Adrian menawarkan untuk menjemlutku "Nggak usah. Sampai ketemu di sekolah," ucapku cepat langsung menolak. Adrian mengusap kepalaku dan mengacak-acak rambutku sebelum benar-benar pergi dan hanya memperlihatkan punggungnya yang menjauh. Aku masuk ke dalam kamar, mengambil sebuah kotak yang Adrian berikan padaku tadi. Kukeluarkan sebuah kartu ucapan dengan desain sederhana, seperti Adrian. Tanganku membuka kartu ucapan itu dan mataku bergerak sambil membaca tulisan itu di dalam hati. Selamat sudah sehat kembali. Jaga kesehatan. Banyak orang yang akan ikut sakit kalau kamu sakit lagi. Sampai ketemu besok di sekolah Jangan lupa istirahat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD