BAB 18

1302 Words
Aku mengikuti kepala sekolah menuju ruangannya, bersama dengan Anggi dan gengnya. Selain aku, ada Adrian yang bersikeras untuk ikut bersamaku. Sebenarnya aku menolak dengan tegas, toh aku juga bisa membela diriku, tapi sayangnya kepala seolah seakan gelap mata dan tidak memedulikanku. Sejak kami masuk ke dalam ruangan ini, kepala sekolah hanya sibuk mengurusi Anggi apakah terluka atau tidak, karena sebagai anak donatur jika Anggi kenapa-kenapa bisa-bisa sekolah ini tidak bisa menanggung biaya yang harus dikeluarkan. Apalagi jika ayah Anggi menarik donasinya. Makanya, kebanyakan anak di sekolah mengalah dan menghindari berbuat masalah dengan Anggi. "Bagaimana Anggi? Apa kamu baik-baik saja?" tanya kepala sekolah memeriksa lagi keadaannya. Entah ini sudah keberapa kalinya kepala sekolah menanyakan pertanyaan itu kepada Anggi, terlihat juga jika Anggi ikut kesal karena pertanyaan yang berulang. "Bapak bisa lihat sendiri pakaian saya basah, lengan saya juga memar karena terdorong." "Baik, Bapak akan menyelesaikan permasalahan ini. Kamu jangan hubungin Papa kamu dulu," ucap Kepala Sekolah berhati-hati, terlihat ia dan beberapa guru yang ada di sini cemas jika saja Anggi menghubungi orang tuanya. Saat kepala sekolah dan guru pergi meninggalkan kami, Anggi tersenyum sinis padaku. Tidak lama kepala sekolah kembali lagi, membawa kertas yang aku juga tidak mengerti apa. "Luna, kamu isi ini," ucap kepala sekolah memberikanku kertas itu dan sebuah pena. Aku membaca kepala dari kertas yang kepala sekolah berikan kepadaku, surat itu berisi surat pemindahan sekolah yang disetujui oleh siswa. "Apa ini, Pak? Saya tidak ingin pindah," ucapku tegas menolak mengisi formulir yang diajukan oleh kepala sekolah. "Kamu sudah sangat keterlaluan. Jadi sekolah ini sudah tidak bisa menerima kamu lagi," jawab kepala sekolah memberikan alasan. Aku yang tadinya menunduk kini menatap langsung mata kepala sekolah, ketidakadilan jenis apa lagi yang kini harus aku rasakan. Perasaanku benar - benar kacau dengan keputusan tiba - tiba ini. "Pak, saya selama ini dibully dan dihina saya tetap bertahan. Baru ini saya memberontak lalu Bapak mengeluarkan saya? Di mana keadilan?" ucapku dengan nada meninggi, bagaimana tidak mendengar ucapan tidak masuk akal dari kepala sekolah membuatku merasakan ketidakadilan. Kepala sekolah hanya diam setelah menyerahkan surat pengunduran diri kepadaku. Ia menatapku dengan tatapan mengejeknya, telihat puas dengan apa yang terjadi padaku. Sedangkan dia bersantai, menikmati teh hangat yang diberikan kepala sekolah. "Jika saya tidak mau mengisi surat ini bagaimana?" tanyaku sambil memegang selembar kertas yang isinya formulir pengunduran diri dari sekolah. "Saya mau kamu keluar dari sekolah ini, tindakan kamu sudah keterlaluan," ucap kelala sekolah tegas seakan tidak ingin dibantah. Aku menatap tidak percaya kepada kepala sekolah itu, sedangkan Anggi dan gengnya tersenyum lebar menghadapku sambil meminum teh yang disiapkan oleh kepala sekolah. Meninggalkan sekolah ini, maksud kepala sekolah membuatku berpikir keras. Bagaimana bisa tanpa diusut dengan tuntas atau diperiksa dengan jelas hanya aku yang menerima hukuman sepihak ini? Lebih sakit dari apa pun saat mendengarkan ketidakadilan seperti ini, benar-benar tidak ada pembelaan dari sisiku yang didengar atau dipahami. "Ini tidak adil, Pak," ucap Adrian mencoba menjelaskan. Adrian terlihat geram, sama sepertiku karena meskipun baru pindah Adrian tahu jelas bagaimana perlakuan Anggi padaku. Jadi, harusnya sangat tidak mungkin jika dengan seenaknya kepala sekolah memintaku mengisi surat mengundurkan diri dari sekolah. Adrian berbicara mengenai aku yang sering menerima hujatan, bully-an dan perlakuan kasar dari Anggi dan teman-temannya tapi seakan tidak peduli kepala sekolah hanya menitik beratkan permasalahan hanya padaku. "Kamu telepon wali kamu sekarang. Saya akan menjelaskannya. Kamu hanya perlu mengisi ini," ucap Kepala sekolah menunjuk surat yang berada di genggamanku. "Pak, Anggi sudah menyakiti saya lebih dari ini," ucapku mencoba, jika saja kepala sekolah mau mendengarkan tentu akan kujelaskan masalah yang sebenarnya terjadi, karena ini sudah tidak dapat aku tahan lagi. "Kamu jangan memfitnah orang. Anggi ini anak baik, tidak mungkin begitu. Bapaknya saja sangat berbudi pekerti mengirimkan sumbangan setiap bulannya untuk sekolah ini, dia itu sama baik sama orang tuanya. Kamu yang harusnya sadar diri," ucap kepala sekolah menatap remeh ke arahku. "Bapak, jangan karena dia anak donatur sekolah ini Bapak nggak bisa seenaknya dan pilih kasih." Aku melihat Adrian yang juga menjadi ikut emosi, apalagi kepala sekolah seakan menganakemaskan Anggi dan gengnya. Aku heran sebagai kepala sekolah harusnya ia menengahi bukannya memihak hanya pada salah satu pihak saja dan akhirnya membuat keputusan yang tidak adil. "Cepat hubungi wali kamu," desak Kepala sekolah. Aku menatap Adrian lalu tersenyum menyiratkan jika aku baik-baik saja, aku menatap kepala sekolah yang terlihat sangat peduli kepada Anggi. Tanpa mengkonfirmasi kebenarannya padaku kepala sekolah hanya menyerahkan surat pengunduran diri kepadaku saja, sedangkan kepada Anggi ia terus menerus menanyakan keadannya. "Saya akan mengisi ini jika wali saya mengizinkan, tapi saya minta wali Anggi juga datang agar semua adil. Tidak adil jika hanya waliku saja," ucapku lalu Kepala sekolah mengangguk dan meminta Anggi menelpon orangtuanya. Sesaat setelah Anggi mengakhiri panggilan, aku berdiri dari posisi dudukku lalu menelpon nomor Om Juna. Bagaimanapun, waliku saat aku masuk sekolah ini adalah Km Juna dan juga aku tidak ingin membuat ayah mencemaskanku lagi. Karena sudah banyak hal yang kuperbuat juga yang menyebabkan ayah selalu mencemaskanku. "Halo Om Jun, ini Luna. Maaf banget kalo Luna ganggu waktu kerjanya," ucapku perlahan. Aku tidak enak sebenarnya menganggu Om Juna, sebenarnya permasalahanku selama ini bisa diselesaikan tapi aku tidak ingin menyusahkan siapa pun jadi aku menahan semua ini. Tapi, kali ini aku percaya Ayah tidak seperti yang mereka katakan dan aku berniat mulai melawan semua orang yang memperlakukanku tidak adil selama ini. "Iya Luna, nggak apa-apa. Ada apa, Sayang?" tanya om Juna dengan suara khawatir. "Om, jangan bilang ke Ayah, ya. Luna mohon." "Iya Sayang. Kenapa? Kamu ada masalah?" tanya Om Juna yang terlihat mencemaskan aku membuatku semakin merasa tidak enak. Dari seberang sana kudengar Om Juna panik, karena hampir tidak pernah aku mengeluhkan atau menghubunginya jika terjadi masalah di sekolah. Karena, biasanya aku selalu menyelesaikannya tanpa melibatkan om Juna ataupun tante Erly. "Om maaf banget, apa Om bisa ke sekolah Luna? Kalau nggak bisa, nanti Luna coba minta tolong ke Tante Erly." "Sekarang, Lun? Memangnya ada apa?" tanya om Juna memastikan. "Iya Om. Luna ada dapet masalah. Maaf banget kalo Luna harus ngerepotin Om begini," balasku lemah dan juga aku tentu merasa bersalah. "Oke-oke. Om bisa datang ke sana. Kamu tunggu ya, sekarang Om segera ke sana." Aku bernapas lega saat ini, aku tidak ingin sebenarnya masalah menjadi besar seperti ini. Namun jika tidak begini, aku bisa mendapat masalah lebih besar. "Iya Om, terima kasih." Aku memutuskan panggilan telepon dari Om Juna, lalu kembali ke posisi dudukku. Entah kemana Kepala sekolah pergi aku tidak bisa melihatnya. "Apa baik-baik aja?" tanya Adrian sedikit berbisik, aku mengangguk meyakinkan jika semua baik-baik aja. "Selamat atas keluarnya kamu dari sekolah ini, kayaknya kita perlu ngadain party. Gimana nih," ucap Anggi yang mengolok-olokku. "Luna ... Luna ... selain jadi anak pembunuh, dikeluarin dari sekolah. Kayaknya lo emang nggak pantes hidup," ucap Anggi dengan nada sinisnya. Bahkan air mata yang ia pura-pura keluarkan di hadapan kepala sekolah kini sudah hilang digantikan dengan senyum sinisnya. Tapi tetap saja, itu tidak membuat Luna takut. Pintu kembali dibuka oleh Kepala Sekolah, dibelakangnya ada seorang laki-laki yang terlihat berusia pertengahan 50-an masuk setelahnya. "Pak Hadi, silakan duduk, Pak." Aku melihat kepala sekolah datang dengan pria paru baya yang menggunakan setelan pakaian kantor. Sosok pria tersebut tidak asing bagiku, entah dimana aku melihatnya. "Papa ... dia dorong aku sampai kena meja. Ini luka," ujar Anggi menjelaskan pada Papanya sambil pura-pura menangis kembali. "Ya ampun, siapa ini yang berani - beraninya membuat anak saya terluka!" ucap papa Anggi dengan nada tinggi. Aku dapat melihat kemarahan dari wajah papa Anggi dan senyum sinis dari Anggi. "Dia," ucap Anggi menunjukku. "Kamu?" tanya papa Anggi bangkit dari duduknya, pertanyaan itu dijawab anggukan oleh Anggi. Papa Anggi langsung berjalan mendekatiku, lalu tanpa aku dapat prediksikan tiba-tiba sebuah tamparan mendarat dipipiku. Aku merasakan panas yang menjalar melewati pipiku, telingaku juga ikut berdengung karena tamparan itu. "Aw ...," ringisku saat telapak tangan itu mengenai wajahku, rasanya sangat sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD