Kelas berakhir beberapa saat lalu, Cika dan Bian baru saja tiba menyusulku ke kantin. Mereka terus menanyai ada hal buruk apa yang terjadi padaku hari ini, namun aku tetap menutup mulutku rapat.
Aku mencoba mengembalikan moodku yang sempat hilang, mulai tertawa saat Bian mencoba bercanda.
Dari sini, aku melihat Adrian yang baru saja mengarah ke kantin. Di sebelahnya ada Gita yang berbicara dengannya, mereka terlihat akrab dari sini.
Saat mata Adrian tertuju padaku, aku langsung mengalihkan pandanganku menghindari tatapan mata Adrian. Meski begitu, aku melirik Adrian yang berjalan menuju mejaku.
Aku berpura-pura tidak tahu dan ikut mengobol bersama Bian dan Cika. Langkah Adrian terhenti saat Gita tiba-tiba memanggilnya saat sudah beberapa langkah menuju mejaku.
"Eh, gue duluan ada urusan."
Cika pergi setelah berpamitan padaku dan Bian, belum sempat kubalas ia sudah pergi dengan tergesa-gesa.
Aku tidak menatap Adrian, hanya melihatnya dengan ujung mataku.
"Oh iya, buat tugas tadi mau dikerjain hari ini apa besok?" tanya Gita pada Adrian, mereka sebenarnya berada di jarak yang dekat tapi entah mengapa cara berbicara Gita seakan di besar-besarkan seolah ingin aku ikut mendengar.
"Besok aja, hari ini gak bisa soalnya ada janji sama Luna."
"Oke kalo gitu," ucap Gita lalu berpitan dengan Adrian.
Gita menatapku sekilas dengan pandangan yang menururku sedikit aneh, lalu kulihat Adrian yang berjalan mendekat ke arahku. Ia menyapa Bian lebih dulu, sebelum duduk dihadapanku.
"Luna, kamu jadi 'kan nemein aku cek desain?" tanya Adriab menatapku namun aku segera mengalihkan pandanganku.
"Kayaknya enggak, aku ada tugas kelompok buat besok sama Bian."
"Kok baru ngomong?" tanya Adrian yang merasa kesal.
"Lupa," jawabku singkat, entah Adrian tidak peka atau bagaimana aku juga tidak mengerti.
"Aku anterin, di mana?" tanyanya menatapku dengan pandangannya yang berubah jadi datar.
"Enggak usah, Bian bawa motor. Kamu pergi duluan aja," ucapku singkat.
"Ayo, Bian. Nanti kesorean," ajakku berdiri meninggalkan Adrian, Bian menatapku dan Adrian bergantian lalu ia menepuk pundak Adrian.
Bahkan, Bian juga bingung dengan ucapanku yang tiba-tiba. Namun seakan mengerti Bian mengikutiku yang berjalan duluan. Aku berjalan dengan diam, Bian juga tidak menanyakan apapun kepadaku.
"Mau ku antrin pulang?" tanya Bian menatapku.
"Sampe halte depan aja," ucapku lemah pada Bian.
Bian tahu sebenarnya kami tidak memiliki tugas kelompok, aku malah bersyukur saat Bian tahu jika aku membutuhkan bantuannya tadi saat menghindari Adrian.
"Kayaknya mood kamu lagi gak bagus, aku tahu tempat yang bagus."
"Serah deh," ucapku singkat.
Bian tanpa banyak kata mulai menaiki motornya duluan, kemudian aku menaiki motor gedenya tentu dengan bantuan Bian.
"Pegangan Lun, nanti jatuh."
Aku mengabaikan ucapan Bian, namun aku langsung memeluknya tanpa sengaja saat Bian mulai menarik gasnya. Bian membawa motor dengan kecepatan yang tidak terlalu ngebut, saat itu tanpa aku sadari mobil Adrian melewati kami.
"Kita mau ke mana?" tanyaku pada Bian.
"Apa? Gak kedengeran," ucap Bian sedikit berteriak.
"Kita mau ke mana?" tanyaku lagi dengan sedikit berteriak kali ini.
"Tunggu aja," balas Bian.
Kali ini, Bian menarik panjang gasnya. Membuat kecepatan motor bertambah, angin bertiup keras menerbangkan rambutku.
Aku tersenyum kecil, sudah lama aku tidak merasakan suasana alam seperti ini. Bian mulai masuk ke daerah dengan jalan yang sedikit terjal, melewati pepohonan yang tersusun rapi.
"Masuk hutan?" tanyaku terlihat bingung karena banyak pohon yang tumbuh tinggi dan menghalangi sinar matahari masuk.
"Bukan hutan, ini kebun karet."
"Kita mau ke mana sih memang?" tanyaku sedikit was - was, meskipun aku tahu Bian tidak mungkin berbuat macam - macam tapi aku harus tetap was - was.
"Tunggu aja, bentar lagi sampai."
Aku diam, percaya kepada Bian. Setelah hampir 10 menit Bian membawa motor melewati hutan, kini sebuah laut terbentang luas. Bian menghentikan motornya, aku langsung turun dan berjalan lalu perlahan berlari menuju laut.
"Bian!!!!" teriakku dari kejauhan, Bian masih berjalan menuju bibir pantai sedangakn aku sudah lebih dulu sampai.
"Kamu tahu dari mana ada laut sebagus ini?" tanyaku takjup.
Sudah lama aku tidak melihat laut dengan air yang berwarna biru dan pasir yang masih berwarna putih.
"Ini adalah tempat rahasiaku," ucap Bian tersenyum bangga.
Ia membiarkan dirinya duduk dipasir, sedangkan aku tidak mau membuang kesempatan meletakkan tasku di pinggir pantai dan melepas sepatuku. Aku berjalan mendekati air yang berombak, berdiri membiarkan kakiku terbilas air laut yang dibawa oleh ombak.
Aku tersenyum lebar, mengacungkan kedua jempolku ke arah Bian kulihat kini Bian tersenyum lebar, mungkin ia puas melihat reaksiku sesenang ini. Aku berlari disekeliling pantai, terus membiarkan kakiku terkena air. Aku bahkan menangkap keong laut dan memberikannya pada Bian.
Sudah hampir 2 jam aku bermain bersama Bian yang akhirnya ikut bersenang-senang dengan ombak dipinggir pantai. Kami berdua memutuskan duduk mengistirahatkan diri kami, matahari mulai bergerak turun dari singasananya.
"Mau liat sunset dulu?" tanya Bian membuatku menatapnya dengan antusias.
"Jelas, kayaknya di sini bakal bagus."
Aku tersenyum lebar menatap langit yang berwarna oranye. Bahkan, angin berhembus lebih kencang daripada tadi.
"Lo berantem sama Adrian, Lun?" tanya Bian tiba-tiba.
"Gue lagi kesel sama dia," ucapku jujur, entah mengapa aku seakan nyaman membicarakan hal ini kepada Bian.
"Kenapa?" tanya Bian terlihat bingung, namun ia tidak menatap mataku sama sekali.
"Gue tadi liat dia nganterin cewe yang tadi ngobrol dengannya di kantin, cewe itu satu sekolah sama gue. Gue ngerasa cewe itu lagi deketin Adrian," ucapku jujur, aku sebenarnya memang membutuhkan seseorang untuk mengerti tapi entah mengapa mulutku berbicara begitu saja Bian bertanya, padahal harusnya aku jika ingin bercerita sebaiknya kepada Cika yang sama - sama perempuan sepertiku.
Aku menceritakan semua kepada Bian, untuk pertama kali selain sama Adrian aku merasa senang ada seseorang yang bisa mendengarkan curhatanku.
"Lo benar Lun, tapi Adrian juga gak salah."
"Kenapa lo jadi belain Adrian?" ucapku kesal dengan ucapan Bian.
"Bukan gitu, mungkin lo mikit Gita ngedeketin Adrian. Tapi dari sisi Adrian, mungkin dia cuma mau ngebantuin temennya."
"Tapi, gue gak ngerasa gitu."
"Udah, lo jangan mikir yang aneh-aneh. Percaya sama Adrian, karena yang paling tahu 'kan lo."
Aku terdiam mendengar setiap nasihat dari Bian, aku mulai berpikiran terbuka setelah mendengar banyak saran dari Bian.
"Makasih udah mau jadi tempat gue ngutarain pikiran gue," ucapku pada Bian.
Aku benar-benar bersyukur dengan Bian, mungkin jika bukan karena Bian aku masih bergelut dalam emosi yang entah kapan akan mereda.
"Udah hampir gelap, mau balik ga?"
"Ayo, tapi mampir makan dulu ya. Biar gue yang teraktir, anggep aja biaya konsultasi."
Bian tertawa melihat tingkahku, kami langsung memasang kembali sepatu yang tadi terlepas lalu berjalan kembali ke tempat motor terpakir.
"Pake jaket gue," ucap Bian menyerahkan jaketnya, aku menolak tapi Bian tetep bersikeras beralasan udara malam akan dingin.
Karena aku tidak memiliki alasan menolak lagi, akhirnya aku menerima dan memakai jaket Bian. Lalu, Bian mulai menjalankan motornya."Udah hampir gelap, mau balik ga?"
"Ayo, tapi mampir makan dulu ya. Biar gue yang teraktir, anggep aja biaya konsultasi."
Bian tertawa melihat tingkahku, kami langsung memasang kembali sepatu yang tadi terlepas lalu berjalan kembali ke tempat motor terpakir.
"Pake jaket gue," ucap Bian menyerahkan jaketnya, aku menolak tapi Bian tetep bersikeras beralasan udara malam akan dingin.
Karena aku tidak memiliki alasan menolak lagi, akhirnya aku menerima dan memakai jaket Bian. Lalu, Bian mulai menjalankan motornya.
***
Bian menghentikan motornya di alun-alun kota, ia mengajaku berkeliling dengan berjalan kaki. Aku suka dengan suasana di sini, ramai dan banyak pejalan kaki terlebih banyak penjual makanan yang biasanya aku temui saat masih sekolah dasar.
"Mie goreng mau?" tanya Bian sambil menatapku dari kaca spion.
"Boleh, udah lama gak makan itu."
Aku dan Bian masuk ke sebuah warung makan setelah memesan makanan. Kami menunggu pesanan kami datang.
Hampir 10 menit pesanan kami baru datang suasana ramai malam orang yang berwisata kuliner membuat alun-alun sangat ramai.
"Selamat makan," ucap Bian aku mengangguk dan mulai memakan makananku.
Aku tersenyum lebar menikmati mie goreng ini, aku bahkan terus-terusan mengatakan jika ini mie goreng gerenak yang pernah kumakan.
"Udah makan dulu, nanti keselek."
"Iya," ucapku menikmati setiao sendok mie yang masuk ke mulutku.
Tidak memerlukan waktu lama, mie di piring kami sudah bersih. Aku bahkan merasa jika sudah makan banyak hari ini, aku bahkan memesan mie untuk dibungkus untuk ayah.
Untungnya, mie pesananku dibuat dengan cepat.
"Pulang yuk, udah malam."
Bian menyetujui ucapanku, kami bersebelahan berjalan menuju area parkir. Bian membawa motornya dengan kecepatan yang agak cepat karena malam sudah mulai larut. Aku juga takut jika ayah mencariku.
Setelah 25 menit kemudian aku sampai di depan rumahku, di teras depan aku melihat ayah tengah duduk dengan secangkir kopi mungkin menungguku.
Ayah berjalan mendekat ke arah pagar saat mengenali jika aku yang berhenti.
"Jaketnya aku cuci dulu ya," ucapku pada Bian.
Saat ayah datang Bian langsung menyalami ayah dan meminta maaf karena mengantarku pulang malam.
"Gak apa-apa, kamu mau mampir dulu?"
"Gak usah Om, udah malam. Aku langsung pamit pulang ya, Om. Luna, gue balik ya," ucap Bian berpamitan lalu mencium tangan ayah lagi.
Setelah melihat Bian pergi aku dan ayah berjalan masuk ke dalam rumah.
"Kamu ke mana aja? Adrian tadi nyariin, kamu gak bilang emang?"
"Aku ke pantai," ucapku singkat.
Bibirku tersenyum senang mengingat indahnya pantai tadi, aku bahkan merasa ingin kembali ke tempat itu lagi dan lagi. Memang pantai itu tersembunyi, namun tidak kalah indah dengan pantai lainnya.
"Ya sudah, kamu istirahat dulu."
"Iya, Ayah. Ini, Luna beliin mie goreng. Ayah makan ya, Luna tadi udah makan sama Bian."
Ayah menerima bungkusan berisi mie yang kubawa, aku berpamitan karena akan langsung tidur setelah membersihkan tubuhku.